Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Percakapan Tak Terduga
Malam itu, kantor sudah sunyi. Hanya ada beberapa lampu yang masih menyala di lantai tempat Adara bekerja sebagai sekretaris pribadi Arga Pratama. Ia tengah menyelesaikan laporan bulanan yang diminta bosnya untuk diserahkan esok pagi. Rasanya, pekerjaan malam ini lebih berat dari biasanya. Bukan karena sulit, tapi karena pikirannya kacau. Ada sesuatu yang terus mengganggu fokusnya—rasa penasaran pada sosok dingin yang menjadi atasannya.
Adara sebenarnya sudah sering mendengar nama Arga Pratama sejak ia bergabung di perusahaan ini. Arga dikenal sebagai seorang CEO muda yang sukses, tetapi juga penuh misteri dan jarang membuka diri kepada siapa pun. Ia selalu menjaga jarak, baik dengan karyawannya maupun rekan bisnis. Dalam setiap interaksi mereka, Arga selalu terlihat tenang, profesional, dan nyaris tak berperasaan. Ia memberikan kesan bahwa urusan pribadi bukanlah sesuatu yang layak dibicarakan di tempat kerja, bahkan dengan sekretaris pribadinya.
Namun, malam itu suasana berbeda. Sekitar pukul delapan, Adara masih duduk di ruangannya ketika pintu kaca di ruangan Arga berderit terbuka. Tanpa diduga, Arga muncul dan berjalan ke arahnya. Ia terlihat berbeda dari biasanya. Langkahnya tidak sekuat dan seangkuh biasanya, bahkan tampak sedikit lelah. Adara yang terkejut hanya bisa mengangguk sebagai tanda hormat, berusaha menutupi rasa terkejutnya dengan sikap profesional.
“Kamu masih di sini?” Arga bertanya sambil menatap Adara.
“Ya, Pak. Saya sedang menyelesaikan laporan bulanan. Besok pagi harus sudah siap,” jawab Adara, sambil memperlihatkan berkas-berkas di mejanya.
Arga mengangguk pelan. “Kerja keras, ya.”
Ada jeda yang canggung di antara mereka berdua. Biasanya, setelah pertanyaan seperti itu, Arga akan langsung kembali ke ruangannya tanpa memberikan perhatian lebih. Tapi malam ini, Arga justru berdiri di sana, seolah menunggu atau mencari sesuatu. Akhirnya, setelah beberapa saat, ia berkata, “Boleh kita bicara sebentar?”
Adara terdiam, terkejut dengan permintaan yang tak biasa itu. Arga tidak pernah mengajaknya berbicara di luar urusan pekerjaan, apalagi di luar jam kerja. Ia ragu-ragu, namun rasa penasaran membuatnya mengangguk.
“Tentu, Pak,” jawabnya. Arga menganggukkan kepala dan berjalan menuju ruang kerjanya, memberi isyarat agar Adara mengikutinya. Adara dengan perlahan bangkit dan mengikutinya masuk ke ruangan luas itu, tempat Arga sering menghabiskan waktu hingga larut malam.
Arga duduk di kursinya, sementara Adara berdiri ragu di hadapannya, menunggu ia membuka percakapan. Tapi, Arga tampak kesulitan untuk berbicara. Setelah beberapa detik hening yang terasa sangat lama, akhirnya ia berkata, “Duduklah, Adara.”
Adara menurut, duduk di kursi yang biasanya diperuntukkan untuk tamu atau klien penting. Ia bisa melihat raut wajah Arga yang tampak lebih lembut malam itu, meskipun tatapan matanya tetap tajam.
“Adara, bagaimana menurutmu… tentang pekerjaan di sini?” tanya Arga tiba-tiba, membuat Adara tersentak.
“Saya… menikmati pekerjaan ini, Pak. Menjadi bagian dari perusahaan besar seperti ini adalah impian saya,” jawabnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.
Arga mengangguk, tapi raut wajahnya tampak berubah. Ada sesuatu yang menyiratkan kekhawatiran dalam sorot matanya. Setelah beberapa saat, Arga melanjutkan, “Kadang, saya merasa seperti hidup ini… kosong, tidak ada yang benar-benar berarti.”
Adara menatap Arga dengan kaget. Kalimat yang diucapkan Arga terdengar seperti pengakuan yang sangat pribadi, bahkan rapuh. Selama ini ia selalu mengira bosnya adalah seseorang yang kuat dan tak tergoyahkan. Namun, di balik sikap dinginnya, ternyata ada sisi lain yang tersembunyi, sisi yang jarang atau mungkin tak pernah dilihat orang lain.
“Pak Arga, Anda terlihat sangat sukses dan kuat. Saya kira… Anda tidak memiliki masalah semacam itu,” kata Adara perlahan, berusaha untuk tetap sopan.
Arga tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak pernah dilihat Adara sebelumnya. “Itulah yang semua orang lihat. Mereka pikir menjadi CEO itu menyenangkan dan mudah. Tapi… tidak ada yang tahu betapa melelahkannya hidup ini kadang.”
Adara mendengarkan dengan penuh perhatian. Seolah ia tidak lagi berada di hadapan bosnya, melainkan seorang pria biasa yang sedang membutuhkan teman bicara. Ia sadar bahwa ini adalah kesempatan langka untuk mengenal Arga lebih dalam, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Kami semua tahu betapa keras Anda bekerja, Pak,” kata Adara akhirnya, dengan nada suara yang lebih lembut. “Tapi, saya rasa, mungkin Anda butuh sedikit waktu untuk diri sendiri, waktu untuk beristirahat dan menikmati hidup.”
Arga menggeleng pelan, tertawa kecil tanpa keceriaan. “Apa yang harus dinikmati ketika saya tidak punya siapa pun untuk berbagi itu semua? Hidup saya hanya diisi dengan pekerjaan dan… kesepian.”
Adara terdiam. Rasanya ia tak tahu harus berkata apa. Ia selalu berpikir bahwa kesuksesan yang dimiliki Arga adalah puncak dari segalanya, tapi ternyata kesuksesan itu datang dengan harga yang mahal—kesendirian.
Arga kembali menatap Adara, dan kali ini, sorot matanya seolah menyiratkan sebuah harapan. “Terkadang, Adara… saya merasa iri melihat orang lain yang bisa berbagi hidup dengan seseorang, bahkan dalam hal-hal yang sederhana. Saya ingin merasakan itu, tapi entah kenapa, selalu sulit untuk mempercayai seseorang.”
Adara mengangguk dengan penuh pengertian. Ia bisa merasakan betapa dalamnya luka yang mungkin selama ini disimpan Arga. Tanpa sadar, ia berkata dengan lembut, “Anda bukan satu-satunya yang merasakan hal itu, Pak. Banyak orang di luar sana yang mungkin merasakan kesepian, bahkan di tengah keramaian.”
Arga tampak terkejut mendengar kata-kata Adara. Ia terdiam sejenak, seolah merenungkan sesuatu. “Kamu benar, Adara,” gumamnya akhirnya. “Kita semua memiliki rasa kesepian masing-masing, ya?”
Adara tersenyum tipis. “Saya rasa, kesepian adalah bagian dari kehidupan yang kita alami. Tapi, mungkin dengan berbagi, kesepian itu bisa sedikit berkurang.”
Percakapan itu berlanjut lebih lama dari yang Adara duga. Malam itu, Arga membuka diri lebih banyak dari biasanya, menceritakan berbagai tekanan yang dirasakannya sebagai seorang pemimpin dan kebosanan yang terkadang menghantuinya. Adara mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan dukungan dalam bentuk yang paling sederhana—menjadi seorang pendengar yang baik.
Malam itu, Adara menyadari bahwa di balik sikap dingin dan profesional Arga, ada seseorang yang sama rapuhnya seperti orang lain, seseorang yang juga butuh ditemani dan dimengerti. Bagi Arga, Adara mungkin hanya seorang sekretaris. Namun, bagi Adara, malam ini membuatnya melihat Arga sebagai manusia biasa yang juga bisa merasa kehilangan arah dalam hidup.
Akhirnya, percakapan mereka berakhir saat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Adara bangkit dari tempat duduknya dan pamit, merasa bahwa malam itu sangat berarti bagi keduanya.
“Saya harap Anda bisa menemukan kebahagiaan yang Anda cari, Pak,” kata Adara sebelum meninggalkan ruangan.
Arga mengangguk pelan, menatap Adara dengan sorot mata yang berbeda—lebih hangat dan tulus. “Terima kasih, Adara. Sudah lama sekali saya tidak merasa… dihargai seperti ini. Mungkin, saya akan memikirkannya.”
Adara hanya tersenyum dan berlalu, meninggalkan ruangan dengan perasaan hangat yang tak biasa. Malam itu, ia menyadari bahwa terkadang, satu percakapan sederhana bisa mengubah pandangan seseorang, atau bahkan menyembuhkan luka yang lama tersembunyi.
Di tengah kesunyian kantor yang sudah sepi, percakapan mereka menjadi momen yang tak terlupakan, momen di mana dua orang yang saling terikat dalam hierarki kerja menemukan sisi kemanusiaan mereka.