Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seseorang Dari Masa Lalu
Razka, itulah nama pria yang ada di depan Zanya saat ini. Dia adalah mantan pacar Zanya di semester awal semasa kuliah, pemuda yang pernah menghiasi hari-harinya selama setahun dan juga pria pertama yang pernah mengisi hati Zanya.
Namun, pria ini juga yang membuat Zanya tidak ingin lagi menjalin kasih, karena setahun menjadi pacar Razka terasa sangat menguras emosi dan pikiran Zanya. Razka yang ingin selalu dinomorsatukan, membuat Zanya kehilangan diri sendiri, kehilangan teman, dan prestasinya menurun.
"Hai, Zanya! Kamu kerja disini?" Sapa Razka.
"Um, iya. Bisa dibilang gitu." Jawab Zanya.
"Udah berapa lama? Di divisi mana, Za?" tanya Razka.
"Aku di sini baru setahun." Lanjutnya.
"Aku kerja di GA 4 bulan, tapi sekarang aku jadi asisten Pak Marlon." Jawab Zanya.
"Oh iya, Ka. Maaf, toilet ada di sebelah mana ya?" tanyanya kemudian.
"Dari sini kamu lurus aja, nanti mentok, terus belok kiri.". Jawab Razka.
"Terimakasih, Ka." Zanya langsung pergi menuju toilet.
Dari sekian banyak perusahaan di jakarta, kenapa Razka bekerja di perusahaan ini? Pikir zanya.
"Ya udah lah, toh gue sama dia beda divisi dan beda lantai, selama 4 bulan gue kerja disini aja baru sekarang ketemu dia. Itu artinya gue akan jarang ketemu dia." Bisik Zanya.
***
"Good job, Razka! Ide-ide kamu memang selalu cemerlang!" Puji Marlon.
Zanya menatap Marlon lalu beralih ke wajah Razka yang berbinar-binar karena dipuji sang CEO. Rupanya Razka adalah pegawai yang disukai oleh Marlon.
Meeting selesai, Marlon keluar dari ruangan, diikuti oleh kedua asistennya, mereka berjalan menuju lift ekslusif.
"Radit, jadwal pertemuan dengan tim produksi yang tadi sudah disepakati, sudah kamu masukkan ke agendaku?" tanya Marlon setelah mereka masuk lift.
"Sudah, Pak!" jawab Radit mengangguk.
"Tambahkan juga rencana makan siang bersama mereka hari selasa nanti." Titah Marlon.
"Siap, Pak!" Radit segera mengetik di tablet yang ia pegang.
"Di antara kalian berdua, siapa yang libur besok?" Tanya Marlon.
"Saya yang libur, Pak." Jawab Radit.
Marlon mengangguk-angguk, di bibirnya tersungging senyuman yang samar, nyaris tak terlihat.
"Berarti setelah selesai makan siang, kamu akan pulang?" Tanya Marlon.
"iya Pak, seperti yang tertulis di kontrak, sehari sebelum libur, boleh masuk setengah hari." Jawab Radit.
Lift terbuka di lantai 1, mereka keluar, lalu berjalan menuju kafetaria untuk makan siang.
***
Setelah pertemuan Marlon dengan Deddy selesai, Zanya pulang ke wisma pukul 5 sore. Ia segera mandi dan memakai baju tidur, lalu Zanya mencoba mencari diary tempat ia diam-diam menyimpan foto ayahnya tanpa pengetahuan sang ibu.
Zanya membuka halaman demi halaman, ia tersenyum melihat tulisannya semasa kecil. Tangan Zanya terhenti di sebuah halaman diary itu, di halaman itu ada sebuah tulisan 'Besok bertemu di toko dekat taman bermain.', lalu halaman berikutnya ada tulisan 'Dia gak datang, dia gak tepat janji.'
Zanya ingat tulisan itu adalah tentang Hendika, dulu setelah kelulusan sekolah, Hendika berjanji akan menemuinya, namun lelah Zanya menunggu, Hendika tak kunjung datang. Setelah itu pun Zanya tidak tahu lagi kabar tentang Hendika, karena rumah keluarga Hendika pun kosong dan tidak pernah ditempati lagi.
"Dia lupa sama janjinya, lalu muncul sebagai atasan gue dan gak ingat siapa gue." ujar Zanya sambil cemberut.
Zanya melanjutkan membalik halaman, dan menemukan apa yang ia cari, foto ayahnya semasa muda yang sempat disimpan ibunya.
Zanya menatap foto itu dalam-dalam. "Ayah, aku udah dewasa, aku tumbuh tanpa kehadiran ayah. Aku akan tunjukkan, aku gak akan pernah butuh ayah." Rahang Zanya mengeras.
Ponsel Zanya berdering, Zanya melihat nama Khaifa tertera di layar ponselnya, Zanya segera menekan tombol terima panggilan, kemudian memakai headset.
"Za! Besok libur kaan?" Khaifa setengah berteriak diseberang telepon.
"Ih, lo budeg apa gimana sih? Ngomongnya kenceng banget!" protes Zanya sambil membuka bungkus snack. Lalu ia mengambil satu dan mulai mengunyah.
"Gue libur hari Minggunya 2 pekan sekali, besok giliran gue yang kerja, hari Senin baru libur..." Jawab Zanya dengan nada sedih.
"Kasian banget teman gue, hahaha...!" Ledek Khaifa.
"Huhuuu... Gimana caranya biar hari minggu gue bisa libur terus?" Zanya dengan nada sedih yang dibuat-buat.
"Caranya adalah dengan jadi istri CEO, jangankan hari minggu, hari-hari lainpun lo akan libur. Hahaha...!" Kelakar Khaifa.
"Eh, Fa. Kebetulan banget lu nelepon, gue mau cerita." Zanya teringat pertemuannya dengan Razka di kantor tadi.
"Gue ketemu Razka!" lanjutnya.
"What?? Razka si toxic itu? Dimana?" tanya Khaifa penuh penasaran.
"Di kantor, dan kemungkinan gue bakal sering ketemu dia. Ah, gue males banget." Keluh Zanya.
"Ya udah, nanti ceritain semuanya sama gue! Hari Senin nanti ke rumah ya! Gue praktek pagi sampe siang doang, lo tunggu aja di rumah. Udah dulu, ya! Gue mules!" Ujar Khaifa, lalu telepon di tutup. Zanya pun melepas headsetnya.
"Tok, tok, tok!" Suara pintu di ketuk keras-keras, membuat Zanya terkejut.
Siapa sih yang mengetuk pintu sekeras itu? Tanya zanya dalam hati. Ia berjalan menuju pintu, lalu membukanya.
Marlon berdiri di depan pintu dan tercengang melihat Zanya yang memakai baju tidur, bando kelinci, lengkap dengan sendal kamar berbentuk kelinci yang ia lihat beberapa hari yang lalu. Tampilan gadis-gadis yang sering ia lihat di majalah, di tivi, atau di iklan-iklan piyama, tapi belum pernah ia lihat secara langsung. Ternyata tampilan seperti ini memang menggemaskan, ujar Marlon dalam hati.
"Kamu tidur?" tanya Marlon singkat.
Zanya terperangah melihat penampilan Marlon yang terlihat santai memakai celana denim, kaos putih dengan luaran kemeja corduroy warna cokelat muda. Marlon terlihat sangat tampan, jika boleh jujur, Zanya ingin menjadi pasangannya, kemudian Zanya tersadar dan menggeleng dengan cepat. "Belum, Pak." Jawabnya
"Dari tadi aku telepon kamu, tapi gak tersambung terus, lalu aku ketuk-ketuk pintu juga gak dibuka dan gak ada jawaban." Ujar Marlon.
Zanya menggaruk kepalanya sambil cengar cengir. "Maaf, Pak, tadi saya teleponan sama teman pakai headset, jadi gak kedengeran. Panggilan bapak juga gak masuk karena saya sedang ada telepon." Jawabnya.
"Ayo, ikut aku!" ajak Marlon sambil berbalik badan.
Zanya menunduk dan melihat baju serta sendalnya.
"Pak, Pak...!" Panggilnya, Marlon pun menoleh.
"Pak, tolong kasih waktu saya ganti baju dulu..." Pinta Zanya.
"Oke! Tapi jangan lama-lama, pakai baju santai aja." Ujar Marlon sambil masuk ke kediaman Zanya.
Zanya membelalakkan matanya, lalu menghadang Marlon.
"Maaf, tapi ini kan tempat saya, Pak..."
"Kan kamu minta aku kasih waktu untuk ganti baju, jadi aku mau duduk dan nunggu kamu di dalam. Kamu gak bermaksud nyuruh aku nunggu di luar pintu kamu sambil berdiri kan?" Marlon terus masuk ke ruang tamu Zanya.
"T-tapi kan masih ada lobi..." Ujar Zanya lemah, namun sepertinya Marlon tidak mendengarnya.
Marlon duduk menyilangkan kaki di sofa ruang tamu Zanya.
"Ayo, cepat! Walau gak dikejar waktu, tapi jangan lama-lama ganti pakaiannya." Titah Marlon.
Zanya pum masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Tak lama ia keluar kamar dengan rok sebetis berwarna cokelat muda, dan baju kaos longgar berwarna putih, serta tas selempang kecil, rambutnya yang biasa ia ikat atau cepol kini ia uraikan.
Marlon terpana sejenak, bagaimana mungkin tampilan yang sangat sederhana itu justru membuat gadis didepannya itu terlihat bersinar.
"Kamu cocok pakai baju ini." Ujar Marlon. Walau terkesan cuek, namun kata-kata itu membuat Zanya merona. Ditambah lagi situasi ini membuat Zanya merasa seperti sedang diajak berkencan oleh pria yang ia sukai. Seandainya... Ucap Zanya dalam hati.
Kelamaan Up gua sedot Ubun² lu thor /Facepalm/