Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Tabah
Jam setengah 7 malam, motor matic Tabah terparkir di tepian jalan. Masih memakai baju seragam, Tabah tampak memesan martabak terang bulan di lapak langganannya. Dia teringat dengan putri semata wayangnya yang menyukai martabak terang bulan.
"Adonan pandan, toping cokelat kacang ya Mas," ucap Tabah memesan martabak. Penjualnya mengangguk sambil tersenyum ramah.
Tabah duduk menghadap jalanan sembari menunggu pesanan disiapkan. Dia menggulirkan layar handphone, melihat forum jual beli mobil bekas di aplikasi facebook. Putri Tabah sudah kelas 6 SD. Petugas kepolisian itu merasa perlu untuk membeli mobil. Karena sudah tidak mungkin jika ingin bepergian sekeluarga menggunakan motor.
Perhatian Tabah tertuju pada mobil lcgc warna merah dengan harga di bawah 100 juta. Dia hendak meninggalkan sebuah komentar di aplikasi, saat tiba-tiba dirinya merasa sedang diawasi. Seolah ada sepasang mata yang menatap tajam padanya. Tabah pun mengedarkan pandangan. Hingga akhirnya sudut mata Tabah menangkap sosok perempuan yang berdiri tegap di seberang jalan.
Sosok berambut panjang hitam legam, mengenakan kebaya putih berdiri mematung. Tabah tidak bisa melihat rupa wajah perempuan itu karena jarak mereka yang cukup jauh. Yang pasti, tatapan perempuan berkebaya putih mengarah pada Tabah.
"Pak, monggo martabaknya."
Ucapan penjual martabak mengagetkan Tabah. Dengan sedikit gelagapan petugas kepolisian itu menyodorkan beberapa lembar uang untuk membayar. Setelah itu Tabah meletakkan kantong plastik yang berisi martabak di bawah jok motor. Dia sempat mengamati seberang jalan sebelum menghidupkan motornya. Namun perempuan berkebaya putih tadi sudah lenyap, tidak ada di tempatnya.
Tabah kembali memacu motor. Dia ingin segera sampai di rumah dan berkumpul dengan keluarga kecilnya. Tabah berusaha menutupi perasaan tidak nyaman yang timbul setelah melihat perempuan berkebaya putih.
Tidak berselang lama, Tabah sudah sampai di sebuah rumah dengan toko kelontong di bagian teras. Istri Tabah bernama Mumainah atau biasa dipanggil Mumun tampak sedang melayani pembeli. Sedangkan putri kecilnya yang bernama Siska tengah memainkan boneka di depan toko. Kedatangan Tabah membuat Siska langsung berdiri dan berlari mendekat dengan wajah sumringah.
"Bapak bawa jajan?" tanya Siska manja.
"Nih, martabak terang bulan kesukaanmu," ucap Tabah seraya menyodorkan kresek berisi martabak pada putrinya.
Siska bersorak riang, menenteng martabak berlari masuk ke dalam rumah. Tabah tersenyum bahagia. Rasa lelah langsung lenyap seketika saat bertemu dengan keluarga. Tabah bersyukur di dalam hati, dikaruniai keluarga kecil yang sehat, saling mengisi dalam kesederhanaan.
Bagi Tabah rumah tidak harus megah. Sejatinya rumah bukanlah sekedar bangunan fisik melainkan bangunan hati. Tabah hanya menginginkan kebahagiaan bersama keluarganya saat ini. Baginya kehidupan yang sekarang sudah sangat sempurna.
"Pak e, Ibuk masak oseng kangkung tadi, sama kelek pitik goreng, kesukaanmu. Di dapur ya," ucap Mumun yang membuat wajah Tabah sumringah.
Tabah melepas sepatu, kemudian masuk ke dalam rumah. Di depan televisi terlihat Siska sedang menonton kartun dengan kresek wadah martabak yang sudah kosong. Sedangkan pipi dan mulut bocah kelas 6 SD itu tampak belepotan penuh selai cokelat.
"Sayang, martabaknya sudah habis?" tanya Tabah sedikit heran.
"Sudah Pak," jawab Siska tanpa menoleh. Pandangannya tertuju pada televisi. Tabah berjalan mendekati putrinya itu.
"Martabak sebanyak itu bagaimana bisa kamu menghabiskannya dalam sekejap?" tanya Tabah lagi. Siska hanya nyengir, tak menjawab. Tabah menghela napas.
"Yasudah, cuci tangan dan muka kalau gitu. Lihat tuh cemong semua. Anak cewek masak bedaknya pakai selai cokelat," protes Tabah. Siska berdiri dan berlari ke kamar mandi setelah melepaskan suara sendawa kencang dari mulutnya. Tabah semakin heran, dan hanya bisa geleng-geleng kepala.
Tabah melepas baju seragamnya. Dan memilih mengenakan kaos oblong cokelat yang longgar menutupi perut buncitnya. Kemudian dia ke dapur untuk makan. Siska tampak duduk mematung menatap televisi.
Saat Tabah asyik menyantap masakan istrinya, terdengar suara Siska tertawa nyaring. Tawa yang panjang dan tak berjeda. Tabah yang merasa hal itu tidak wajar, mengangkat piringnya dan mendekati putrinya itu.
"Apa yang kamu tertawakan?" tanya Tabah, semakin merasa aneh saat melihat layar televisi sedang menampilkan iklan shampoo. Tidak ada sesuatu yang lucu dari perempuan cantik yang mengibaskan rambut hitam dan panjangnya di depan kamera. Tawa Siska pun berhenti seketika.
"Bapak nih ganggu aja," protes Siska melotot.
"Nggak ada yang lucu tuh lihat. Iklan shampo. Dimana letak lucunya Siska?" balas Tabah menunjuk layar televisi.
"Bapak nggak ngerti ih!" Siska membentak. Semakin terkejut Tabah dibuatnya. Sangat jarang putri kecilnya itu membentak pada Tabah.
Pada saat itu Mumun masuk ke dalam rumah. Sepertinya dia merasa terganggu dengan perdebatan suami dan anaknya.
"Ada apa sih Pak?" tanya Mumun dengan menaikkan kedua alis.
"Ini lho anakmu. Lihat iklan shampo kok ketawa-ketawa sendiri," jawab Tabah. Siska terlihat tak peduli, kembali menatap layar televisi.
"Mbok ya biarin. Ben to yo ben. Yang paling penting aring gitu lho, nggak rewel," sergah Mumun. Tabah akhirnya memilih diam. Tentu saja dia menyadari daripada berdebat dengan perempuan lebih baik bertarung dengan seekor macan kumbang di hutan.
"Bukannya toko waktunya tutup Buk?" tanya Tabah mengalihkan pembicaraan. Mumun masih tampak cemberut.
"Iya, ini juga mau tutup. Tapi masih ada Mbak-mbak cantik yang beli garam. Kutinggal kesini gara-gara kalian berdebat," gerutu Mumun.
"Mbak-mbak cantik siapa?" Tabah mengerutkan kening.
"Heleh, kalau ada yang cantik cepetnya. . . langsung tanya-tanya," seloroh Mumun. Sambil berbicara mulutnya tampak manyun menggemaskan.
"Bukan begitu. Biasanya kalau tetangga sekitar yang beli kan kamu langsung sebut nama. Ini kok mbok sebut Mbak-mbak cantik tuh berarti bukan orang daerah sini pembelimu itu Buk," kilah Tabah.
"Iya sih. Orang asing memang. Aku nggak kenal. Tapi cantik banget pakai kebaya putih. Baunya harum pula," sambung Mumun.
Mata Tabah langsung membulat mendengar ucapan istrinya. Ciri-ciri perempuan yang disebutkan Mumun sama dengan perempuan yang mengawasinya dari seberang jalan tadi. Tabah langsung berlari keluar rumah.
Meski sekujur tubuhnya terasa dingin dan merinding, Tabah tetap mencari sosok yang disebutkan Mumun. Sambil menggenggam erat piring di tangannya, Tabah berjalan tergopoh-gopoh ke toko kelontong di teras depan. Langkah kakinya disusul Mumun yang terlihat kebingungan.
"Mana perempuan itu Buk?" tanya Tabah saat sampai di pelataran toko. Pada kenyataannya tidak ada siapapun disana.
"Ya ndak tahu, wong tadi dia berdiri disini kok. Mau beli garam katanya," jawab Mumun kesal.
"Lagian kenapa sih kamu Pak? Aneh? Se penasaran itu sama yang cantik-cantik? Iya? Aku ini sudah tidak terlihat cantik kah? Ingat anak, ingat perut tuh!" Mumun menyikut perut Tabah.
"Apaan sih Buk? Aku tadi pas beli martabak merasa ada yang ngikutin. Ciri-cirinya persis seperti yang kamu sebutkan. Perempuan berkebaya putih. Coba pikirkan, aneh nggak sih malam-malam begini pakai kebaya terus keluyuran?" sergah Tabah.
"Iya kah? Ibuk kok jadi merinding," seloroh Mumun sembari meraba lehernya.
"Eh, tapi bisa juga kan perempuan itu sedang ngonten? Kan banyak tuh jaman sekarang," lanjut Mumun.
"Ngawur. Sudah-sudah, tutup toko sekarang. Kita masuk rumah, istirahat," balas Tabah gusar. Ada ketakutan yang sulit dia jelaskan.