Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 10
...***...
Agenda Melody pada pagi berikutnya adalah mengajak Kaal untuk sarapan di luar. Ia meyakinkan lelaki yang tidak terbiasa untuk bangun pagi pada hari Minggu itu untuk beranjak dari ranjang.
Melody dengan antusias memilihkan baju untuk Kaal, mendorong lelaki yang memiliki tinggi badan diatas rata-rata itu menuju ke kamar mandi hingga akhirnya mereka berhasil sampai ke restoran yang berjarak tidak jauh dari apartemen.
Perubahan suasana nyatanya adalah suatu kebutuhan atau mungkin itu hanya imajinasi Melody semata karena ia merasa ia menangkap Kaal berkali-kali memperhatikannya dengan tatapan yang sedikit berbeda dari biasanya
Ada afeksi, ada kehangatan, ada kesedihan yang bergumul menjadi satu dalam pandangan dari lelaki itu selagi ia berceloteh mengenai apa saja yang mampir di pikirannya.
Dan Melody tidak berencana untuk berhenti bicara, paling tidak sampai—tiba-tiba, begitu mendadak, ia mendengar Kaal menggumam rendah sekali.
"Kau cantik sekali hari ini Melody." ungkapan lelaki itu merupakan sesuatu yang impulsif—tidak sengaja, di luar pengaruh refleks, serta bisik yang tidak diniatkan untuk terdengar, Melody mengerti.
Namun hal itu cukup untuk membuat bibirnya menganga, sementara Kaal setelah mengucapkan hal yang diluar kendalinya kini terlihat sibuk mengalihkan penglihatan seakan apa yang baru saja lelaki itu ucapkan tidak pernah terjadi.
Mencoba menghargai Kaal, Melody kemudian tersenyum tipis.
"Terima kasih Kaal," jawabnya, tetapi kecanggungan masih enggan berlayar sehingga ia kembali menambahkan dengan canda
"Aku terlahir cantik, kenapa kau baru menyadarinya sekarang."
Di luar dugaan, tawa pelan Kaal masuk ke pendengarannya.
Melody menatap Kaal, ia melihat bagaimana lelaki itu menyembunyikan wajah dengan menatap ke bawah. Namun bahu lelaki itu sedikit berguncang dan Melody menyambar
"Apa kau sedang menertawakanku?"
Kaal tampak menelan gelaknya, lelaki itu lantas mengangkat kepala seraya menyahut
"Tidak, tentu saja tidak."
"Oh, Tuhan kau jelas-jelas menertawakanku!" seru Melody geram.
Atau mungkin tidak sepenuhnya, karena detik berikutnya lelaki itu tertawa lepas dan Melody jelas tidak memiliki kekuatan untuk menuntaskan amarahnya.
Ia tidak akan melewatkan apa yang ada di hadapannya.
Kaal yang tertawa seperti ini—tawa tanpa sindiran atau pulas sarkasme. Tawa yang tulus, tawa yang mendadak menghadirkan aroma rumput, tanah lembab, deterjen berlebihan di celana, serta cinta yang naif.
Dua korneanya tidak berpindah, pendengaran menajam menikmati tawa Kaal yang membuat hatinya kembali jatuh tenggelam, menyelam hingga dasar.
Di perjalanan pulang, Melody memberanikan diri untuk mengenggam tangan Kaal. Senyum yang menghiasi bibirnya masih enggan luruh.
Mereka berjalan berdampingan hingga mencapai apartemen, lalu menghabiskan waktu bersama di luar balkon. Menyeduh siang yang bergulung dengan percakapan yang masih tetap didominasi oleh Melody dan hembus asap rokok Kaal yang secara ajaib tidak mengganggunya.
Mungkin ia terlampau bahagia.
Mungkin pengharapannya perlahan menjadi sumbu yang lebih besar, yang lebih menerangkan.
Saat malam menjemput dan Melody bersarang nyaman di kedua lengan Kaal, ia segera memutuskan bahwa hari ini adalah hari yang indah.
Namun selayaknya sebuah pertanda berbasis ilmu pasti, burung cenderung terbang lebih tinggi ketika cuaca cerah, bulan dikelilingi cincin ketika ia ingin mengingatkan bahwa hujan akan turun dalam waktu dekat.
Dan tahu apa yang terjadi sebelum badai dahsyat menyerang?
Hari yang tenang.
Langit merah menghipnotis, wangi bunga mendadak semerbak pahitnya, penipu ulung selalu paham bagaimana cara mengelabui resah.
...***...
Badai bagi Melody tidak datang dalam bentuk hujan besar, gulungan awan hitam berkelompok, atau banjir bandang yang menghanyutkan. Badai bagi gadis itu sederhana. Sungguh.
Hanya dini hari sepi bersanding gelap harapannya yang padam saat ia melihat Kaal memasuki apartemen mereka dalam keadaan sepenuhnya mabuk. Bau alkohol tercium tajam, bercampur dengan pahit rokok dan parfum perempuan murahan.
Namun tidak ada satupun yang cukup kuat untuk meretakkan pertahanan Melody selain Kaal Vairav yang menyeringai kecil sembari mengutarakan
"Sudah puas? Bagaimana rasanya Melody?" Lelaki itu jelas sedang mengalamatkan keadaan hatinya—sudahkah kau patah?
"Ini yang akan terjadi ketika kita menjadi sepasang kekasih."
"Ini yang akan kau rasakan saat kau memilihku sebagai kekasihmu" Kaal melanjutkan, tidak mempedulikan Melody yang bahkan belum selamat dari kejatuhan sebelumnya.
"Aku sudah peringatkan bahwa kau akan menyesal menjalin hubungan asmara denganku"
Tidak.
Melody berani bersumpah ia tidak pernah menyesal. Kehilangan toleransi tidak selalu dapat diartikan sebagai penyesalan.
Hanya saja, ini sudah terlalu jauh.
Membuktikan suatu hipotesa tidak lantas mengizinkan seseorang untuk membuat orang lain merasa tidak berharga.
Membuktikan suatu hipotesa tidak lantas mengizinkan seseorang untuk menerbangkan orang lain dengan segala bualan manis hanya untuk dirampas sayapnya kemudian ketika jarak dirasa sudah cukup tinggi.
Terdapat sengat yang Melody rasakan dimana-mana dalam satu waktu di matanya yang basah tanpa perintah, di telinganya yang berdengung, di dadanya yang kini perih.
Gadis itu mendengus pelan, sedikit tertawa, atau mungkin justru menangis, ia tidak tahu, ia tidak tahu, semuanya sakit.
Seluruh bagian tubuhnya sakit.
Mencengkeram-cengkeram ujung lengan baju panjangnya, Melody berdiri di hadapan Kaal. Kepalanya mendongak tegak sebab Kaal butuh tahu dampak semacam apa yang telah lelaki itu perbuat.
"Ah, Kaal Vairav" Melody berkata dengan suara parau yang asing di pendengarannya sendiri.
"Kau benar-benar berusaha keras untuk membuatku muak, ya?"
Sepintas lara terbersit di mata Kaal sesaat setelah ia mengungkapkan itu. Melody menyadari bahwa bukan hanya dirinya, saat inipun Kaal juga tengah terluka.
Tetapi Melody tidak mau menjadi satu-satunya yang berupaya. Kaal juga harus mengerti, Kaal juga harus mengatasi kerumitan dirinya sendiri.
Maka dari itu, Melody berbalik untuk menyambar kunci apartemen yang tergantung di dekat pantry. Emosi yang menumpuk kian meninggi. Ia berusaha menahan tangis yang merebak sembari berjalan menuju pintu, bahunya menyenggol lengan Kaal kasar.
Sebuah trauma yang tidak seharusnya dibuka tiba-tiba menggantung berat di ujung lidah Melody.
"Asal kau tahu, Kaal."
Ia berharap, kalimat yang ia paparkan dapat menjadi salam perpisahan yang dramatis.
"Kau bukan Kaal, kau bukan dia lagi."
...***...
Pada sebuah pintu rumah yang lain, pemiliknya tidak habis pikir siapa gerangan yang bertamu pada jam tidak wajar seperti sekarang.
Mona segera membuka pintu dengan kesal, mulut bersiap memaki hanya untuk kemudian dibuat bungkam.
Sahabatnya menangis.
Gigi menggigit kepalan tangan sendiri demi meredam isak dan tubuhnya segera menerjang untuk memeluk ketika mereka bersipandang.
Gadis itu hanya dapat membalas pelukan tersebut, tangan dengan sabar mengusap punggung —menenangkan, sembari mendengarkan tangis pilu sahabatnya.
Di antara sesenggukan yang patah, ia menangkap Melody berbisik lirih
"Mona...."
"Aku lelah sekali."
...TBC...
Mari kita lihat, apakah chapter selanjutnya hubungan mereka bakal membaik?🙂↔️
Anyway terimaksih buat yang sudi membaca cerita rancu ini, dan maaf di cerita ini bukan pemain yang biasanya jadi cast di setiap cerita akun ini, ini cerita iseng.
Mohon reviewnya, saya sangat menghargai setiap review yang mampir di cerita saya, begitu pula untuk like dan follow, jadi jangan sungkan-sungkan untuk meninggalkan jejak, gratis kok, hitung-hitung dorongan agar saya lebih semangat lanjutin 🙂↔️🙂↔️