Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Yang ada di pikiran.
"Saya sudah katakan padamu untuk bisa lebih menahan diri. Dinar baru delapan belas tahun, baru punya KTP, baru kuliah dan dia juga belum seratus persen dewasa. Saya tidak melarangmu menemui Dinar, hanya tolong rem hasrat dirimu sendiri..!! Tidak cukup kah saya memberi toleransi?????" Tegur Pak Navec.
Bang Ratanca menunduk lesu. Meskipun restu sudah di dapatkan, tapi Pak Navec begitu keras melarangnya untuk berdekatan terlalu dalam dengan putrinya.
"Saya paham dan saya tidak akan macam-macam."
"Apa katamu??? Saya ini juga laki-laki. Kamu jangan mengajari saya, Ran." Bentak Pak Navec.
Bang Ratanca ingin menjawabnya namun detak jantungnya seakan begitu menekannya. Ia meremas dadanya dan memilih untuk menenangkan diri.
"Sudahlah, kamu banyak istirahat. Jangan pikirkan Dinar dulu. Dia aman sama Ayah." Ucapnya kemudian pergi meninggalkan Bang Ratanca.
Pak Navec pun meninggalkan tempat. Bang Ratanca merebahkan diri dengan kasar, jemarinya mengepal kuat.
:
Dinar tidak melihat Ayahnya lagi di dalam kamar malah saat ini ada beberapa dokter memeriksa Bang Ratanca yang tiba-tiba sesak nafas hingga harus di bantu jalan nafasnya dengan oksigen.
"Om Ranca kenapa, Bang??" Tanya Dinar ikut panik melihatnya.
"Belum sehat saja. Kau harus banyak maklum, kami prajurit, dalam keadaan tidur pun terkadang masih bermimpi kerja. Beban mental dan fisik menyatu jadi satu." Jawab Bang Dalu menenangkan Dinar.
Dinar hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Terdengar Bang Ratanca terus mengigau memanggil namanya.
"Dinar, Ranca juga tidak buruk. Ada kalanya sikapnya memang kasar tapi Abang tau, dia bukan laki-laki yang sejahat itu. Abangmu ini kenal Ratanca lebih dari sepuluh tahun." Kata Bang Dalu. "Kau dengar, nama siapa yang di sebutnya?? Hanya namamu saja, Dinar. Seharusnya kamu paham apa artinya."
Pandang mata Dinar beralih pada Bang Dalu. "Tapi.. tapi Dinar takut tidak bisa mencintai nya."
"Tergantung niat dalam hatimu, dek..!!"
...
Bang Langkit membuang nafas berat. Batalyon sedang sibuk-sibuknya dan akhirnya proses pengajuan nikah harus sedikit tertunda.
Dirinya resah dan gelisah. Sebagai seorang pria jelas dirinya ingin segera menghalalkan gadis yang begitu ia cintai.
"Masih lama ya, Bang?" Tanya Nada.
"Iya, satu bulan ini Batalyon full kegiatan. Jadi kita pun harus menghadap petugas batalyon yang ada saja." Jawab Bang Langkit kemudian mengambil rokok dari saku bajunya.
"Abang kesal ya?"
"Yaaa.. mau bagaimana lagi. Menuju halal saja sulitnya setengah mati. Yang haram mah gampang, dek. Tinggal terobos, selesai dah." Jawab Bang Langkit.
"Kalau begitu, kita lihat rumah dinas saja. Bukankah kata Abang, kemarin sudah sempat di bersihkan??" Kata Nada memberikan idenya.
Bang Langkit mengangguk mendengarnya. "Benar juga. Ya sudah ayo kita lihat..!! Siapa tahu nanti ada perlengkapan yang kurang, bisa langsung kita beli."
...
Nada melihat dapur di rumah dinasnya kurang sesuai dengan selera nya. Apalagi warna hijaunya, seperti warna hijau jaman nenek moyang.
"Nada mau ganti warna dapurnya." Kata Nada.
"Warna apa? Nanti Abang bantu bilang sama Ditho."
"Om Ditho bantu Abang???" Kedua bola mata Nada membulat besar berbinar-binar.
"Apalah kau ini, sudah ada Abang masih saja kecentilan lihat yang lain." Tegur Bang Langkit kesal.
"Bukaaann.. Nada hanya senang saja lihat bentuk tubuh nya yang gagah, tegap, berwibawa. Om Ditho juga ganteng kan, Bang." Ucap Nada begitu ringan tanpa sadar sudah ada yang menatapnya dengan ubun-ubun nyaris pecah.
Bang Langkit mendorong Nada hingga ke sudut dapur. Ia menatap kedua bola mata Nada dengan lekat hingga kedua wajah nyaris beradu. "Enteng sekali itu mulut berbunyi. Kau baru lihat punya Ditho, belum lihat punya Abang."
"Ini.. Nada sudah lihat." Jawab Nada lirih.
Seringai senyum Bang Langkit tersungging tipis. Ia membuka kancing seragamnya lalu menarik kaosnya. Ditariknya tangan Nada dengan wajah masih ternganga untuk bisa menyentuh perut sixpack nya. "Mau di perjelas, Non." Ucapnya sekedar menggoda. Tangan Bang Langkit yang usil kemudian menarik cepol rambut Nada hingga rambut panjangnya terurai.
//
Dinar melongok sedari tadi memastikan bahwa pria di hadapannya sudah baik-baik saja.
"Sebenarnya apa yang kau lihat sejak tadi?" Tegur Bang Ratanca.
"Sekarang Abang tidak terlihat sakit. Lantas kenapa tadi sudah seperti.........."
"Orang mau mati????? Memangnya kenapa kalau saya mati???"
"Jangan..!! Dinar masih butuh Om Ran." Jawab Dinar dengan mata berkaca-kaca.
deg..
Bang Ratanca yang mendengarnya pun tak kalah tersentak, tapi entah kenapa rasa hatinya tak lantas percaya dengan ucap Dinar.
"Butuh apa?" Tanya Bang Ratanca.
"Butuh Om Ran pura-pura jadi pacar Dinar."
Benar saja, gadis sepolos Dinar belum tentu bisa merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya. Bang Ratanca membuang nafas berat.
"Apa kamu benar-benar pacaran sama Prada Untung Slamet??"
Dinar menggeleng, memang pada kenyataannya tidak pernah ada hubungan apapun antara dirinya dan Prada Untung Slamet.
"Lalu apa bagusnya Si Untung Slamet??"
"Seperti kebanyakan laki-laki yang melihat wanita. Tentu Om Sammy enak di pandang. Wanita mana yang tidak akan melirik gagahnya seorang tentara." Jawab Dinar jujur.
"Begitu kah??? Apa ini artinya Om Ran harus pakai seragam lengkap biar kamu bisa lihat siapa Om Ran??" Kata Bang Ratanca.
Dinar memalingkan wajahnya, seperti kata Ayahnya. Semua laki-laki adalah buaya. "Jangan coba merayu ya, Om. Dinar tidak akan tergoda."
"Oya??? Dinaaarr.. cantiiiiikk..!! Nanti malam jalan sama Om Ran, yuk..!!" Goda Bang Ratanca.
"Maaf ya, Dinar wanita mahal..!!" Jawab Dinar masih congkak.
"Mau strawberry cheesecake nggak??? Atau es krim strawberry??" Bujuk Bang Ratanca menyesuaikan dengan kepolosan seorang Dinar.
Dinar masih diam tapi nampak jelas gadis itu sudah mulai tergoda.
"Di tambah smoothies banana blackberry. Uughhh.. enaknyaaa..!!"
"Kalau bisa tambah bakso Mang Jajang sama duit dua puluh lima ribu sih, boleh lah sekali-kali Dinar ikut." Kata Dinar mulai terjerat alur mulus Bang Ratanca.
"Segerobaknya juga Om Ran angkut kalau Dinar mau plus uang yang Dinar minta." Jawab Bang Ratanca.
"Ya sudah deh kalau Om Ran memaksa."
Bang Ratanca terkikik menyembunyikan tawanya. "Benar-benar gadis polos yang tersesat." Gumam Bang Ratanca.
...
Sore hari tidak ada yang bisa mencegah Letnan Ratanca untuk keluar dari rumah sakit. Mengingat kondisi pria tersebut sudah fit. Maka dokter mengijinkan nya pergi.
Dengan kecepatan sedang, Bang Ratanca mengendarai mobilnya bersama Dinar. Mereka berdua sudah berada di cafe dan menikmati makanan manis kesukaan Dinar.
"Setelah ini jadi ke bakso Mang Jajang kan, Om??" Tanya Dinar memastikan.
"Iyaa...jadi."
"Kita lomba makan bakso pedas." Ajak Dinar.
"Jangan macam-macam. Makan itu untuk di nikmati, bukan untuk lomba." Jawab Bang Ratanca.
"Om Ran nggak berani ya???" Ledek Dinar.
Bang Ratanca menggeleng gemas menanggapi gadis kecilnya yang selalu mencari bahan keributan.
.
.
.
.