NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Wanita yang Menarik

“Bagaimana dengan Selene?”

Pertanyaan itu meluncur pelan namun tajam dari bibir Maxime, membuat Bastian yang hendak berbalik menghentikan langkahnya. Dahi sang jenderal sedikit berkerut.

Ia menatap punggung sahabatnya dengan sorot sulit dibaca. Nama itu… sejak dua minggu terakhir, terlalu sering terdengar dari mulut sang Kaisar.

“Dia baik-baik saja, Tuan,” jawab Bastian setelah jeda singkat.

Itu bohong. Bukan berarti Selene dalam bahaya, hanya saja—tak ada laporan apa pun tentang wanita itu sejak terakhir kali mereka meninggalkannya di barak belakang istana perbatasan. Dan Bastian, entah kenapa, merasa itu janggal.

Maxime membalas dengan gumaman pendek, lalu memerintahkan, “Perintahkan dua prajurit kepercayaanku untuk berjaga di sekitar Selene. Aku tak ingin mendengar kabar bahwa dia disakiti… oleh siapa pun.”

Suara itu tegas, dingin, mutlak. Bastian hanya mengangguk, meski benaknya dipenuhi tanya. Wanita itu… apa yang sebenarnya dia lakukan hingga bisa menembus benteng es yang selama ini mengelilingi hati Maxime?

Dua minggu lalu, di jalan berbatu menuju perbatasan barat yang beku oleh angin malam…

Pasukan Kekaisaran tengah bergerak menuju lokasi bentrokan ketika kereta mereka dihentikan oleh suara jeritan lirih dari hutan.

Di antara semak belukar dan dedaunan beku, ditemukanlah seorang wanita—Selene Lysandra Vexmont.

Tubuhnya penuh luka, bajunya compang-camping, dan kulitnya memar. Dia tampak seperti korban penyiksaan atau perampokan. Para prajurit ingin melewatinya begitu saja, menganggapnya hanya beban.

Tapi dia bersimpuh, memohon sambil menangis: “Tolong… aku hanya ingin hidup.”

Maxime awalnya bersikap acuh. Ia bahkan telah memberi isyarat agar pasukannya lanjut tanpa memperdulikannya.

Namun, tatapan wanita itu—campuran ketakutan, keberanian, dan keputusasaan—menghentikannya. Ia jarang melihat mata seperti itu, terutama dari seorang wanita biasa.

Dan saat itu juga, seperti ironi yang disusun oleh takdir, seekor kuda panik menghentak dan menyerempet bahu Maxime, menciptakan luka gores ringan.

Bagi Maxime, itu tak lebih dari calar kecil. Tapi Selene, yang baru saja diselamatkan, segera bersimpuh dan memohon izin untuk mengobatinya. Ia bersikeras dengan lembut, penuh hormat, dan… cerdas.

“Lukanya ringan, tapi jika tak dibersihkan dengan benar, bisa infeksi dalam cuaca seperti ini,” katanya tenang.

Maxime, entah mengapa, membiarkannya.

Selama seminggu mereka berada di satu perkemahan yang sama. Dalam waktu sesingkat itu, Maxime mendapati bahwa Selene bukan sekadar cantik dan lembut. Ia juga pintar. Terlalu pintar.

Ia tahu cara membaca peta kuno, tahu ilmu pengobatan dasar, dan selalu berbicara seolah tahu betul bagaimana menyenangkan hati seseorang tanpa berlebihan.

Dan di sanalah awal ketertarikan itu tumbuh. Perlahan… diam-diam.

Bastian menyadari perubahan itu lebih dulu. Maxime mulai sering menanyakan kabar Selene. Mulai memerintahkannya untuk tinggal di tempat yang lebih aman. Bahkan… membiarkan Selene duduk di satu meja makan dengannya saat para prajurit masih mengisi perut di luar tenda.

Tapi bagi Bastian, yang telah lama mengabdi pada kekaisaran—perasaan datang terlalu cepat sering kali mengandung racun.

——

Pagi menjelang, menyibak tirai malam yang perlahan menghilang.

Di dalam kamar megah berhias lukisan langit-langit dan pilar emas, Vanessa berdiri di hadapan cermin tinggi yang memantulkan sosok wanita tak asing namun terasa asing sekaligus.

Gaun berpotongan elegan membalut tubuh rampingnya, jatuh dengan sempurna mengikuti lekuk pinggang dan bahu Vivienne yang anggun. Warna biru muda pucat dengan benang emas menyulam ujung lengan dan bagian dada—gaun itu bukan sekadar pakaian, tapi simbol status, kekuasaan, dan… pengasingan.

Wajah cantik Vivienne terlihat menawan meski hanya dengan riasan tipis.

Kilau alami kulitnya, mata keemasan yang seperti bisa membakar atau membeku sekaligus, dan bibir merah muda yang terlihat halus—membuat Vanessa nyaris lupa bahwa wanita dalam cermin itu bukan dirinya.

“Vivienne… kau benar-benar cantik. Terlalu cantik. Tapi… kenapa Maxime bisa tak menyukaimu?” gumamnya lirih, setengah tak percaya.

Ia menyentuh pipinya sendiri. Lembut. Hidup. Tapi bukan miliknya.

“Vivienne memintaku mengubah takdirnya… tapi bagaimana caranya?”

Vanessa mendesah berat, rasa frustasi mencuat dari dadanya. Ia melirik sekilas ke arah jendela besar yang terbuka, membiarkan angin pagi menyelinap lembut ke dalam ruangan.

“Aku tidak mungkin bisa tiba-tiba keluar dari istana hanya karena ingin memulai hidup baru, kan?” katanya sambil mendongak, menatap langit-langit kamar yang tinggi.

Semua ini masih terasa tak nyata. Dunia modernnya yang penuh logika dan kebebasan terasa seperti mimpi jauh yang perlahan memudar. Kini ia terjebak di dunia dengan hukum kerajaan, intrik istana, dan… cinta sepihak seorang wanita bernama Vivienne.

“Apa sebaiknya aku menjaga jarak saja dari Maxime? Jangan ikut campur, jangan terlalu dekat. Toh, semakin aku tidak terlihat, semakin besar kemungkinan dia menceraikanku, bukan?”

Senyum pelan terukir di wajahnya. Rasanya seperti rencana jenius.

Ya. Biarkan Maxime dan Selene mendekat. Biarkan mereka saling jatuh cinta.

Dan ketika waktunya tiba, Maxime pasti akan menceraikan Vivienne—dan Vanessa bisa pergi. Bebas. Hidup damai di pelosok kota, mungkin membuka klinik kecil, atau sekadar menjalani hari-hari tanpa istana dan darah biru.

Terdengar alami. Terdengar aman. Penulis tak akan curiga. Dan Vivienne… akan selamat.

Atau setidaknya, itulah yang Vanessa yakini.

Meski jauh di dalam dirinya, sesuatu terasa… belum seutuhnya benar.

——

Vanessa baru saja menyelesaikan sarapannya.

Hidangan di istana ini begitu menggoda—penuh pilihan dan disajikan dengan keanggunan khas kaum bangsawan. Aroma mentega, madu, dan roti panggang berpadu dengan rasa manis buah segar dan teh herbal yang menghangatkan tenggorokan.

Ia menyandarkan tubuhnya ringan ke sandaran kursi.

“Kalau saja perutku lebih besar, mungkin aku bisa mencoba semuanya…” gumamnya sambil menatap sisa-sisa hidangan yang menggoda tapi tak bisa lagi ia sentuh.

Di sampingnya, Sera berdiri tenang menunggu perintah seperti biasa.

“Sera, apa ada kegiatan yang bisa aku lakukan hari ini?”

Pertanyaan itu membuat Sera langsung menoleh, memandanginya dengan raut… aneh.

Vanessa mengernyit, merasa tatapan itu terlalu tajam untuk pertanyaan sesederhana itu.

“Kau kenapa memandangiku seperti itu? Apa ada yang salah dengan ucapanku?”

Sera buru-buru menunduk, tampak sedikit panik.

“Ampun, Yang Mulia! Tentu tidak ada. Hanya saja… rasanya aneh mendengar Anda bertanya seperti itu.”

“Aneh kenapa?”

“Biasanya, Anda paling tidak suka jika ada kegiatan yang mengganggu waktu tenang Anda. Saat Yang Mulia Kaisar sedang tak ada di istana, Anda lebih senang menghabiskan waktu seharian di kamar.”

Vanessa nyaris menghela napas keras.

“Vivienne, kau ini… pemalas juga rupanya,” batinnya getir.

Tak heran Maxime tidak tertarik. Cantik memang, tapi malas dan terlalu penuh drama. Kombinasi buruk.

“Lupakan kebiasaanku sebelumnya. Anggap saja aku… sedang ingin berubah. Jadi, ada kegiatan apa hari ini?”

Sera masih tampak ragu, namun menjawab sopan.

“Hari ini tidak ada agenda resmi, Yang Mulia. Tapi… bila berkenan, Anda bisa melakukan kegiatan kewanitaan seperti menyulam, merangkai bunga, atau membaca buku.”

Vanessa meringis dalam hati. Menyulam dan merangkai bunga? Jiwanya yang biasa menghadapi operasi kompleks di ruang steril langsung menolak gagasan itu.

“Apa di sini ada perpustakaan?” tanyanya cepat.

“Tentu saja ada. Anda ingin ke sana?”

“Ya. Bisa antar aku?”

Sera tersenyum kecil dan mengangguk, memberi isyarat agar Vanessa mengikutinya.

Mereka pun meninggalkan ruang makan, melewati lorong panjang berhiaskan ukiran kuno dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya pagi. Langkah Vanessa terasa ringan, namun pandangan orang-orang di sepanjang lorong tak sehangat cahaya matahari.

Pelayan yang mereka lewati menatap Vanessa dengan pandangan sinis, tajam, bahkan ada yang menunduk terlalu cepat seolah enggan bertemu mata.

Vanessa menahan desahannya.

“Sepertinya reputasi Vivienne di istana ini benar-benar menyedihkan…” pikirnya.

Seorang wanita yang dikenal angkuh, kasar, dan penuh sandiwara. Bukan tipe yang akan dipuji atau dibela. Bahkan pelayan pun tampaknya lebih senang membencinya diam-diam.

Tapi kini, Vanessa yang mengisi tubuh Vivienne, menatap dunia ini dari kacamata berbeda.

Dan ia tahu—kalau ingin mengubah takdir Vivienne, maka ia harus mulai dari cara pandang orang-orang ini terlebih dahulu.

1
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
shaqila.A
kak, lanjut yukk. semangat up nyaaa. aku siap marathon💃💃
Murni Dewita
mexsim terlalu egois
rohmatulrohim
critanya menarik di buat pnasan dg kelanjutannya.. yg semangat up nya thor.. moga sampai tamat ya karyanya dan bisa buat karya yg lain
Murni Dewita
tetep semangat thor
Murni Dewita
ratu di lawan ya k o lah
Murni Dewita
tetap semangat jangan lupa double up thor
Murni Dewita
dasar tak tau diri
Murni Dewita
pelayanan tak tau diri
ya udah cerai aja vanesa
Murni Dewita
double up thor
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!