Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 – Aral di Simpang Tiga
Pagi itu Kampuang Binuang berkabut lebih tebal dari biasanya. Matahari enggan menampakkan wajahnya. Di jalan menuju Simpang Tiga—tempat tiga jalur kampung bertemu—beberapa warga melihat asap mengepul dari tanah kering. Bukan karena api, tapi dari satu titik tertentu, di mana dulu konon ada bangkai kerbau yang dikubur hidup-hidup sebagai tumbal.
Di warung Mak Jaleha, obrolan pagi menjadi heboh.
“Si Jon pulang dari ladang, katanya lihat bayangan hitam berdiri di simpang, diam aja. Nggak ngomong, nggak gerak,” kata Mak Jaleha sambil menuangkan kopi ke cangkir Ajo.
Ucup yang sedang duduk di kursi panjang menyahut, “Bayangan lagi... jangan-jangan itu ‘penunggu simpang’ yang dulu sering disebut orang-orang tua.”
Reno menggigit roti goreng sambil berpikir. “Kalau betul, berarti ini bukan sekadar gangguan. Bisa jadi... ada sesuatu yang sengaja ditaruh di simpang itu buat buka jalan.”
Bahri datang belakangan, membawa buku tua warisan kakeknya. Ia membuka lembaran yang sudah lapuk.
“Di sini tertulis, di Simpang Tiga pernah dilakukan perjanjian antara dukun lama dan roh penjaga tanah. Syaratnya, harus ditanam hewan hidup setiap tiga windu. Terakhir dilakukan... hampir dua puluh empat tahun lalu.”
Ajo menoleh cepat. “Itu artinya waktu tumbal itu udah lewat. Dan kalau tak diperpanjang, ‘ia’ datang menagih?”
Bahri mengangguk. “Dan biasanya, penagihan tidak dilakukan diam-diam. Ia akan mengganggu, sampai diberi apa yang diminta.”
Sore harinya mereka berempat menuju Simpang Tiga. Kabut masih belum menipis. Aroma tanah basah bercampur dengan bau seperti belerang.
“Tempat ini... aneh. Dingin tapi ada hawa panas dari bawah tanah,” kata Reno sambil menyapu tanah dengan tongkat kayu.
Di tengah simpang, mereka menemukan bekas lingkaran tanah gosong, seperti sisa api unggun. Tapi tak ada batang kayu terbakar. Di sekelilingnya tertancap tiga batang ilalang berwarna merah.
“Ini tanda. Seseorang melakukan pemanggilan. Tapi tidak sempurna,” ujar Bahri.
Ucup mengambil kamera dari tas. “Aku dokumentasikan dulu. Buat dicocokkan sama lambang-lambang di buku Bahri.”
Saat itu, suara tawa kecil terdengar. Mereka menoleh bersamaan.
Sosok hitam berdiri tak jauh, di balik semak. Tubuhnya tinggi, tanpa wajah, dan kedua tangannya panjang menjuntai sampai lutut.
“Aku... sudah menunggu. Mana hakku?”
Bahri melangkah maju. “Kami tak punya hak apapun yang kau maksud. Tapi kami tahu... seseorang membangunkanmu. Siapa?”
Makhluk itu diam. Lalu menunjuk ke arah selatan.
“Perempuan. Bukan dari kampung ini. Tapi punya darah tua.”
Ajo menatap Bahri. “Darah tua? Maksudnya... turunan dukun lama?”
Makhluk itu menghilang dalam kabut. Tinggal bau hangus yang tertinggal.
Malam itu mereka berkumpul di surau. Mak Tundun membawa kotak kayu kecil. Ia meletakkannya di tengah tikar.
“Ini milik ibuku, dukun perempuan terakhir di sini. Isinya simbol perjanjian lama. Tapi aku tak pernah membukanya.”
Bahri membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya, ada sehelai kain merah, seutas rambut yang dikepang, dan sebuah cincin batu.
“Kalau yang dipanggil oleh darah tua, maka yang bisa menghentikan... juga harus dari garis yang sama,” kata Mak Tundun pelan.
Reno bergumam, “Berarti... kita harus cari perempuan itu.”
Ucup menimpali, “Tapi siapa? Siapa perempuan dari luar kampung yang bisa punya garis darah tua?”
Ajo memicingkan mata. “Kalau bukan orang kampung... bisa jadi dia baru datang. Atau pernah tinggal sebentar, lalu pergi.”
Bahri menutup kotak itu. “Kita cari. Sebelum simpang itu berubah jadi gerbang yang tak bisa ditutup.”
Pagi di Kampuang Binuang disambut oleh kabar dari arah timur: seorang perempuan muda datang berjalan kaki dari arah Hulu Batang, membawa buntalan kain dan seekor ayam jantan dalam sangkar bambu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Marni, cucu dari dukun tua yang dulu sempat tinggal di kampung ini sebelum pindah ke hulu.
Warga langsung ribut. Nama keluarga itu masih melekat dalam ingatan orang-orang tua. Mereka percaya, keluarga Marni adalah penyimpan ilmu lama yang dulu pernah menyelamatkan kampung saat musim kolera.
Bahri, Reno, Ajo, dan Ucup segera menemui Marni di rumah kosong dekat surau yang ia sewa sementara.
“Maaf, kami tak bermaksud mengganggu,” sapa Bahri sopan.
Marni menatap mereka dengan tenang. “Kalian datang karena sesuatu yang sudah mulai bangun, ya?”
Ucup nyengir gugup. “Eh... bisa dibilang begitu, Mbak. Maksud saya... Mbaakkk Marni... eh... Nini Marni?”
Ajo menyikutnya. “Cukup, Cup.”
Bahri melanjutkan, “Kami butuh bantuanmu. Ada yang terusik di Simpang Tiga. Sosok yang muncul mengisyaratkan bahwa pemanggilnya memiliki darah tua.”
Marni menarik napas pelan. “Seseorang memang memanggil, tapi caranya keliru. Ia tak menyapa roh yang bersemayam dengan cara yang lembut. Ia meminta tanpa memberi.”
Reno menyahut, “Kau tahu siapa orang itu?”
“Aku tidak tahu pasti, tapi jejaknya terasa. Bekas bakaran, lilin berwarna, daun sirih yang disusun terbalik... semua itu bukan milik kampung ini. Itu milik orang yang belajar ilmu tanpa restu,” kata Marni sambil membuka buntalan kainnya.
Di dalamnya terdapat beberapa helai daun, cermin kecil, dan seikat rambut yang sudah mengering.
“Ini milik nenekku. Ia tinggalkan ini untuk saat dibutuhkan. Dan kurasa... waktunya sekarang.”
Sore harinya, Marni ikut ke Simpang Tiga. Ia berdiri diam, lalu duduk bersila di tanah.
“Bumi ini haus. Tapi bukan haus darah. Ia haus pengakuan,” gumam Marni.
Bahri meletakkan bunga tujuh rupa, sementara Reno dan Ajo menyalakan dupa dari kulit kayu.
Tiba-tiba, angin kencang bertiup dari arah selatan. Debu berputar membentuk pusaran kecil. Dari balik kabut tipis, muncul sosok perempuan tua, berambut putih panjang, matanya kosong.
“Siapa yang berani bawa keturunan Lam Baranak ke tempat ini?” suaranya berat dan bergema.
Marni bangkit perlahan. “Aku. Aku cucu dari Bunda Urai. Aku tak datang untuk mengganggu, tapi untuk meredakan yang kau simpan.”
Sosok itu maju selangkah. “Bunda Urai pernah menjanjikan ladang ini untukku. Tapi ia pergi sebelum janji ditepati.”
Marni mengangguk. “Maka izinkan aku mewakili. Apa yang kau butuhkan?”
Sosok itu tak menjawab. Ia memandang Reno.
“Lelaki ini... punya bayangan lama yang belum selesai. Ia bawa rasa takut dari masa kecil.”
Reno tertegun. “Aku...? Masa kecilku...”
Bahri menenangkan, “Tenang, Ren. Jangan goyah.”
Marni menunduk, mengambil sehelai daun dan meletakkannya di tangan Reno. “Pegang ini. Bayangan yang lama akan datang. Tapi jangan lawan. Biarkan lewat.”
Angin berhenti. Sosok tua itu perlahan memudar. Tapi aroma bunga layu masih tertinggal.
Malamnya di rumah Pak Din, keempat sahabat duduk bersama Marni.
Ucup menyeruput teh. “Eh, Marni... eh... Nini Marni... eh... pokoknya kamu. Kalau roh itu nuntut janji dari kakek-nenekmu, bisa nggak kau yakinkan dia pergi?”
Marni tersenyum samar. “Tak semua roh mau pergi. Kadang, mereka hanya ingin dikenang. Diberi tempat di cerita. Tidak dilupakan.”
Ajo mengangguk. “Berarti kita harus catat semua yang terjadi. Biar nanti generasi berikutnya tahu.”
Bahri menatap mereka satu per satu. “Kita sudah mulai jalan ini. Kita lanjutkan. Pelan-pelan. Satu per satu.”
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...