NovelToon NovelToon
Teluk Narmada

Teluk Narmada

Status: tamat
Genre:Tamat / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Angin pagi selalu dingin. Ia bergerak. Menerbangkan apa pun yang sekiranya mampu tuk diterbangkan. Tampak sederhana. Namun ia juga menerbangkan sesuatu yang kuanggap kiprah memori. Di mana ia menerbangkan debu-debu di atas teras. Tempat di mana Yoru sering menapak, atau lebih tepatnya disebabkan tapak Yoru sendiri. Sebab lelaki nakal itu malas sekali memakai alas kaki. Tak ada kapoknya meskipun beberapa kali benda tak diinginkan melukainya, seperti pecahan kaca, duri hingga paku berkarat. Mengingatnya sudah membuatku merasakan perih itu.

Ini kisahku tentangku, dengan seorang lelaki nakal. Aku mendapatkan begitu banyak pelajaran darinya yang hidup tanpa kasih sayang. Juga diasingkan keluarganya. Dialah Yoru, lelaki aneh yang memberikanku enam cangkang kerang yang besar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 10

"Apa? Dia ke sini sudah hampir setiap hari dan kamu ngebiarin dia, gitu?" Niji memastikan dengan wajah tak menyangka.

Mulut Niji yang bak toa itu langsung aku bungkam dengan kuat. Tak ada bayang-bayang kepala Yoru yang terlihat dari gorden jendela yang tertutup. Dia pasti sudah pergi. Padahal, aku belum sempat membawakannya makanan masakan ibu. Dia juga belum sempat mencicipi masakan ibu. Baiklah, kenapa sekarang aku justru mempermasalahkan itu?

"Cine, dia itu Yoru. Yoru, loh. Manusia paling nakal sedunia."

"Lebay! Nggak sedunia juga kali," pungkasku.

"Cie, malah ngebela."

"Terserah. Males."

Niji tertawa puas.

"Baiklah, kamu mau ngapain pagi-pagi buta ke sini?" Aku bertanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Gadis tinggi yang sudah berteman denganku sejak TK itu merogoh kantong celananya. Lalu kudapati sebuah toples mini. Mini sekali hingga kuat di kantong celana.

"Apaan, tuh?"

"Minta manik-manikmu!"

Aku mempunyai banyak koleksi manik-manik dengan berbagai macam bentuk, warna serta ukuran. Itu karena ibu hobi sekali merangkai gelang dari manik-manik. Aku mencoba mengikuti hobi itu. Sangat menyenangkan, walaupun aku lebih sering malas melakukannya.

"Mau manik-manik apa?" tanyaku.

"Yang bagus."

"Ya, aku nggak tahu bagus menurutmu itu yang seperti apa. Lagipula, emang harus sepagi ini, ya?"

Aku membuka rak dan mengeluarkan seluruh kotak berisi manik-manik koleksiku. Lantas meletakkannya di atas kasur. Niji begitu antusias melihat satu persatu petak kotak itu. Lalu dirogohnya, diamati, serta ditunjuk-tunjuk.

Beberapa waktu berlalu tanpa komunikasi. Niji sangat fokus menatap manik-manik yang berkelap-kelip itu. Sesaat aku melihat jendela yang tertutup gorden. Ada bayangan kepala lelaki terlihat. Membuatku mengembuskan napas berat. Dia kembali. Entah datang lagi atau dia memang tidak pernah pergi.

Selagi Niji fokus memilih manik-manik, aku berjalan menuju jendela.

"Sudah hampir terbit matahari, Yoru. Pergilah sebelum ada yang melihatmu," bisikku tanpa menyingkap gorden.

"Kapan aku bisa makan?" tanya Yoru, suaranya terdengar hingga tempat Niji berada.

Tentu saja, fokusnya langsung hilang dan segera menyusulku untuk bersiap melontarkan kalimat kepada Yoru.

"Heh, kalau mau makan itu usaha. Bukan minta-minta. Kayak pengemis aja," ketus Niji.

"Niji!" seruku karena kalimat Niji terdengar kurang sopan.

Ia menyingkap gorden dan melihat sosok lelaki yang menatap datar di balik kaca jendela. Yoru memeragakan tangannya seperti hendak dimasukkan ke mulut. Tanda ingin makan. Niji yang sudah naik darah itu langsung memukul kaca dengan keras.

"PERGI!"

"Siapa di sana?" Ibu bertanya, ia tiba-tiba sudah berada di bingkai pintu.

Aku tak mendengar suara gagang pintu yang terbuka karena sewaktu Niji masuk, ia tak menutupnya.

"Ini, Bu. Yoru," jawab Niji sambil menunjuk jendela.

Mendengar nama itu, ibu bergegas ke dekatku dan Niji dan alangkah terkejutnya ia melihat kepala lelaki itu masih menatap datar di sana.

Aku menepuk kening. Astaga, kenapa dia masih di sana? Harusnya dia kabur, bukan!?

"Mau ngapain kamu ngintip-ngintip kamar anak saya?" tanya ibu tegang setelah membuka jendela. Tangannya sudah meraih kerah kemeja lusuh Yoru.

Aku yang tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menggigit jari-jari. Ada sedikit kelegaan, mengingat bapak tidak ada di sini. Ia sedang di luar kota untuk rapat antarguru.

Lagi-lagi, makhluk aneh itu malah memperagakan diri sedang menyuap nasi.

"Hah? Kamu mau makan?" tanya ibu.

Yoru mengangguk.

❀❀❀

Satu lingkaran telur dadar ludes. Bakul nasi tersisa setengah. Sambal masih utuh. Sepertinya ia tidak suka pedas.

Tanggapan di luar prediksi. Ibu malah mengajak Yoru untuk masuk dan memberikannya sarapan. Kami bertiga menontonnya. Tak perlu waktu lama untuk menunggunya selesai sarapan. Ke mana perginya semua nasi itu?

"Bu, kenapa biarin dia masuk. Dia penjahat cilik nomor satu di desa ini. Bagaimana jika dia nyakitin kita. Kita semua perempuan, loh," bisik Niji kepada ibu.

Sedari tadi, aku hanya membisu. Otakku tak mampu mencerna suasana.

Kini, Yoru dengan menikmati kerupuk setelah ia tidak menambah nasi lagi.

"Seharusnya Ibu juga takut, Niji. Tapi, ekspresinya tadi cuma menggambarkan seseorang yang sedang kelaparan. Ibu jadi tidak tega," jawab ibu, masih sambil berbisik.

Ekspresi dari mana? Yang aku lihat darinya hanyalah tatapan kosong. Tanpa makna apa pun. Seperti robot.

Embusan napas Niji terdengar. Ia sebenarnya tegang. Mengingat betapa seringnya kenakalan yang telah Yoru perbuat.

"Kamu nggak pulang, Niji? Ibu bukan mengusir. Tapi, hari ini 'kan sekolah," ucap ibu.

"Gampang, Bu. Rumah Niji 'kan deket. Merem juga bakal nyampe. Niji mau di sini dulu sampai Yoru pergi. Takutnya, kalian kenapa-napa." Niji menjawab.

Toples kerupuk berukuran besar itu mungkin sudah ludes seperempatnya. Kemudian, Yoru menutup toples itu. Menyusun piring bekas nasi dan lauk yang telah kosong. Lalu mengintip pintu sebelah yang terlihat wastafelnya. Ia berjalan ke sana untuk mencuci piring-piring itu. Niji mencoba mencegah, tapi ibu menghadang. Setelah selesai mencuci piring, Yoru ke luar rumahku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kami yang melihatnya pun hanya bisa melongo.

"Makhluk apa itu?" tanya Niji tanpa berkedip.

Sebelum Niji pulang, aku sempatkan untuk menjelaskan hal-hal yang aku ketahui tentang Yoru kepala ibu dan Niji. Mulai dari keluarganya, sifatnya, hingga deritanya. Dia memang nakal. Tapi dia berhak bahagia.

"Itulah sebabnya aku pernah spontan memintanya untuk menjadi temanku. Kamu ingat, Niji. Ketika kita study tour ke pantai Narmada, aku bertemu dengannya di sana. Secara kebetulan. Siapa sangka. Itulah mengapa ia sering menyebutku sebagai teman," jelasku.

"Dia tidak pernah menyakitimu? Mungkin melebihi apa yang dia lakukan ketika menginjak tanganmu waktu membelikan Ibu bahan-bahan di minimarket?" tanya ibu.

Aku mengangguk ragu. Enggan bercerita tentang kejadian di sungai. Sewaktu Yoru mencekikku. Karena itu pasti akan mengeruhkan suaranya dan Yoru bisa dalam bahaya jika ia nekat ke sini lagi.

"Kamu harus tetap berhati-hati. Ibu hanya tidak tega tadi. Jangan terlalu dekat dengannya. Bahkan, jangan dekat dengannya. Jika dia datang lagi, tutup jendela dan gordenmu, Cine," pinta ibu.

"Baik, Bu."

Niji menggaruk kepala. Ia masih ingin mendengar pembaharuan tentang Yoru. Mungkin ada rasa sesal dalam dirinya karena selalu lepas kendali setiap kali melontarkan kata-kata kepada Yoru. Kini, wajahnya seperti sedikit luluh setelah aku menceritakan semuanya. Ah, tidak semuanya. Tragedi di sungai, tentu saja tidak termasuk.

"Di mana dia sekolah?" Ibu bertanya.

"SMP 02," jawabku dan Niji serempak.

Kami tahu tempat ia bersekolah karena ia kerap kali menjadi perbincangan orang-orang. Ditambah kami tinggal di desa yang sama. Jadi, tidak sulit untuk mengetahui informasi-informasi penduduk tanpa harus mencari tahu. Cukup dengan ketidaksengajaan mendengar pembicaraan, atau sejenisnya.

"Jauh sekali. Jika jalan kaki, itu menempuh waktu setengah jam an. Bukankah ia ke mana-mana selalu jalan kaki?"

Aku dan Niji mengangguk serempak.

"Bagaimana mungkin dia bisa nyasar ke sini," ucap ibu.

"Di sini 'kan ada temannya, Bu. Ada Cine," seru Niji yang berhasil membuatku mendorongnya sampai terjatuh.

1
_capt.sonyn°°
ceritanya sangat menarik, pemilihan kata dan penyampaian cerita yang begitu harmonis...anda penulis hebat, saya berharap cerita ini dapat anda lanjutkan. sungguh sangat menginspirasi....semangat untuk membuat karya karya yang luar biasa nantinya
Chira Amaive: Thank you❤❤❤
total 1 replies
Dian Dian
mengingatkan Q sm novel semasa remaja dulu
Chira Amaive: Nostalgia dulu❤
total 1 replies
Fie_Hau
langsung mewek baca part terakhir ini 😭
cerita ini mengingatkan q dg teman SD q yg yatim piatu, yg selalu kasih q hadiah jaman itu... dia diusir karna dianggap mencuri (q percaya itu bukan dia),,
bertahun2 gk tau kabarnya,,, finally dia kembali menepati janjinya yg bakal nemuin q 10 tahun LG😭, kita sama2 lg nyusun skripsi waktu itu, kaget, seneng, haru..karna ternyata dia baik2 saja....
dia berjuang menghidupi dirinya sendiri sampai lulus S2,, masyaAllah sekarang sudah jd pak dosen....

lah kok jadi curhat 🤣🤦
Chira Amaive: keren kak. bisa mirip gitu sama ceritanya😭
Chira Amaive: Ya Allah😭😭
total 2 replies
Iif Rubae'ah Teh Iif
padahal ceritanya bagus sekali... ko udah tamat aza
Iif Rubae'ah Teh Iif
kenapa cerita seperti ini sepi komentar... padahal bagus lho
Chira Amaive: Thank youuuu🥰🤗
total 1 replies
Fie_Hau
the first part yg bikin penasaran.... karya sebagus ini harusnya si bnyak yg baca....
q kasih jempol 👍 n gift deh biar semangat nulisnya 💪💪💪
Chira Amaive: aaaa thank you🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!