NovelToon NovelToon
Kemarau Menggigil

Kemarau Menggigil

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Berbaikan / Mengubah Takdir / Bullying dan Balas Dendam / Slice of Life
Popularitas:15.8k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Ayah, aku butuh selimut untuk tubuhku yang penuh keringat. Kipas angin tua milik bunda hanya mengirimkan flu rindu. Sebab sisa kehangatan karena pelukan raga gemuknya masih terasa. Tak termakan waktu. Aku tak menyalahkan siapa pun. Termasuk kau yang tidak dapat menampakkan secuil kasih sayang untukku. Setidaknya, aku hanya ingin melepuhkan rasa sakit. Di bawah terik. Menjelma gurun tanpa rintik gerimis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 10

Melihat wujudmu ketika baru bangun tidur adalah ketenangan tiada tara.

...----------------...

Masih musim kemarau. Namun aku malah terkena flu berat. Hanya karena tidur siang terlalu lama di depan kipas angin. Tidur pada jam satu, klau terbangun jam setengah enam. Aku seperti berada di dunia yang berbeda. Malam harinya, hidungku langsung merah dan bersin-bersin berkepanjangan. Sangat tidak nyaman. Aku berangkat sekolah dengan masker hitam, rambut panjang kubiarkan terurai hingga ke sedikit ke depan. Namun tidak kusut lagi. Sejak rambutku ditata indah dan lembut salon dekat rumah Rasen itu, aku mulau semangat untuk terus merawat rambut. Karena sangat menambah kenyamanan. Sekali pun ucapan sepupu Rasen yang bernama Adly itu tak akan pernah aku lupakan.

Walaupun demikian, aku sempat saling jambak dengan Flo di kelas. Beberapa menit sebelum pelajaran dimulai. Ia mengejek lantaran ulangan harian matematikaku nol sendiri. Bagaimana tidak, aku tidak mengikuti ujian itu dan tidak mengikuti ujian susulan juga. Perempuan satu itu memang sedang ingin mencari keributan denganku. Mungkin sebagai pelampiasan juga. Sebab aku dengar bahwa ia dan Rendra telah putus.

Ya, walaupun telah dijambak Flo. Rambutku masih lembut sekarang. Kalau bukan karena flu ini, maka aku sudah memberikan pelajaran yang lebih parah kepada Flo. Rendra bahkan tidak beraksi. Justru menyuruh Hanz, untuk menggantikannya melerai kami. Nada, seseorang yang paling netral dan lumayan dekat denganku. Walaupun dia punya sahabat yang benar-benar dekat. Namun, di antara semuanya aku memang paling dekat dengan Nada. Ia datar seperti robot. Tidak jua pernah ikut campur apa pun masalah yang aku perbuat, tidak jua ikut memusuhiku jika seluruh teman sekelas menjauh ketika kesalahan fatal aku perbuat. Ia terlihat hanya menontonku tanpa ekspresi.

Ah, wajah Flo masih terbayang. Itu akan terus terjadi jika aku belum puas menghajar seseorang yang ingin aku hajar. Giliran aku kurang sehat begini, baru dia berani melawan. pengecut!

Lama sekali manusia satu itu. Rasen memintaku untuk menunggunya di depan kelasnya. Sudah puluhan menit aku duduk menunggu di bangku panjang depan kelasnya, namun ia tak kunjung keluar. Aku tak bisa masuk karena ada guru di dalamnya. Rasen berkata bahwa ia harus berbicara sebentar dengan gurunya sebelum pulang. Sebentar darimananya?

Tidak biasanya aku menunggu Rasen. Biasanya, ialah yang langsung menghampiriku ke kelas saat hendak pulang. Hanya dalam hitungan jari aku pernah duduk di bangku panjang ini sambil menunggunya.

Dua orang siswi keluar dari kelas Rasen. Mereka terlihat bercakap-cakap dan duduk di bangku yang sama denganku. Aku menunduk dan menutup sebagian wajahku dengan rambut masker juga masih aku kenakan. Flu ini benar-benar tidak nyaman.

"Bu Fitya sama Rasen lama banget ngobrolnya. Sampai kita selesai piket. Kebiasaan tuh teman cowok kalau piket langsung pulang. Bukannya bantu-bantu, malah cuma menghapus papan tulis. dasar," celetuk siswi di dekatku yang aku ketahui bernama Nindy.

"Biasalah, bintang sekolah. Pasti ada aja obrolannya dengan guru. Ya, coba teman piket kita Rasen. Atau paling tidak Dhika dan Raka. Cowok yang rajin malah piket di hari yang berbeda dengan kita. Bisa-bisanya Riko dan Aby yang sama-sama malas itu malah piket samaan sama kita," ujar siswi satunya yang aku lupa namanya.

Dasar perempuan. Obrolannya tidak pernah jauh dari laki-laki. Lagipula, seenaknya saja membahas Rasen di hadapanku. Mereka pasti tidak mengenaliku karena masker dan rambut yang menutupi ini. Atau barangkali karena mereka tidak memperhatikan.

"Oh, iya. Rasen masih sama cewek di kelas sebelah itu, Anggi?" tanya Nindy yang membuatku mengingat nama siswi satunya. Benar saja, mereka tidak menyadari keberadaanku. Apakah aku sudah mengaktifkan jurus menghilang sekarang?

"Dainty? Nggak tahu. Aku nggak merhatiin, sih. Biarpun sering mikir. Kok bisa Rasen sama dia. Bukan apa-apa, sih. Masalahnya, aku dengar kalau alpanya sudah hampir dua puluh. Padahal, kita baru beberapa bulan di semester ini. Dulu juga waktu kita masih kelas sepuluh, alpanya tiga puluh lima. Kok bisa naik kelas, ya. Curiga, deh." Anggi berkata.

Napasku mulai terdengar berat. Sialan. Wajah kalian sudah aku tandai dasar tukang gibah.

"Parah banget. Kok bisa si Rasen betah. Kenapa nggak sama aku aja, ya," ujar Nindy dengan gaya centil. Sial!

"Ngimpi, kali. Rasen terlalu perfect buat kamu yang hobinya cuma ngehalu," seru Anggi.

"Loh, masih mending aku daripada Dainty."

Tanganku sudah kukepalkan kuat-kuat. Terus saja tambah bahan bakar itu! Agar segera meledak dan kalian tahu bagaimana rasanya telah mengganggu ketentramanku.

"Anggi, Nindy! Kok bagian ujung kanan belum disapu?" tanya seorang siswi lainnya yang muncul dari jendela kelas. Ia pasti juga teman piket Nindy dan Anggi. Di tangannya ada sebuah kanebo untuk mengelap jendela. "Eh, ada Dainty. Nungguin Rasen, ya? Itu, dia lagi masukin buku ke tasnya."

Seketika, dua orang yang sedari tadi ngobrol tidak jelas itu menoleh dengan tegang ke arahku. Seorang guru ke luar dari kelas. Aku menunggu guru tersebut hilang dari pandangan. Setelah itu, tangan yang sejak tadi aku kepalkan itu berayun dan mengenai tubuh Nindy. Mereka berdua langsung mundur dan hendak kabur. Namun aku langsung menarik kerah seragam Nindy hingga terdengar bunyi robek. Anggi turut berhenti setelah mendapati langkah Nindy tidak bertambah.

Siswi yang memegang kanebo langsung keluar sambil berteriak, "RASEN!"

"TOLONG!" Nindy berteriak. Suasana sekitar kelas sudah sepi. Menyisakan para siswa yang piket dan yang masih di sekolah sudah menuju lokasi ekskul.

Rasen muncul dan menarik tanganku hingga lepas dari kerah baju seragam Nindy. Lantas menggenggam kedua tanganku dan mengajakku duduk. Tidak bisa. Aku tetap mengamuk dan berusaha melepas genggaman Rasen. Sekuat tenaga sampai akhirnya aku bisa lepas dan hendak mengejar Nindy dan Anggi yang sudah berlari itu.

"BERHENTI, PENGECUT!" ucapku sangar.

Sekali lagi Rasen berhasil mendekapku dan sekali lagi aku bisa lepas. Namun, itu sudah cukup menghalangi langkahku dan membuat Nindy dan Anggi menghilang dari pandangan.

"Sialan! Rasen bodoh! Menyingkir!" tegasku penuh amarah seraya mendorong Rasen hingga terjatuh.

"Tenanglah, Dain. Apa yang dilakukan Nindy dan Anggi terhadapmu?" Rasen bertanya setelah berdiri.

Siswi pemegang kanebo itu mematung. Belum mencerna apa yang terjadi. Sebab, pertama kali yang ia lihat adalah aku duduk tenang tanpa suara, dan tiba-tiba saja langsung menyerang Nindy.

Aku berteriak kencang seperti orang gila. Tidak peduli bagaimana pun jeleknya wajahku dengan ekspresi itu. Sebab Rasen tidak pernah menampakkan wajah jijik setiap kali aku melakukannya.

Selang beberapa menit. Rasen membiarkanku melampiaskan amarah sesuka hatiku. Hingga aku tenang dengan sendiri. Siswi kanebo itu juga tak berkutik. Mungkin ia sangat yakin bahwa ia tidak melakukan apa pun yang membuatku bisa menyakitinya.

Napasku tersengal. Seperti habis berlari keliling lapangan. Padahal, hanya karena luapan emosi.

"Aku tahu kamu tidak akan melakukan itu tanpa sebab. Tapi aku tak ingin kamu mendapatkan hukuman lagi sebab mereka. Sangat sulit membuatmu pada posisi yang dibela di sini. Bahkan mungkin di mana pun. Aku menjadi saksi itu. Tapi percayalah, kamu selalu mendapatkan tempat yang mengerti dirimu. Yang mengerti untuk apa sikapmu itu, yaitu aku. Dunia banyak menyakitimu. Tapi aku menciptakan sesuatu yang lingkupnya jauh lebih kecil dibanding dunia. Yakni menjadi ruangan untuk air mata dan amarahmu. Bahkan semua rasa. Baik bahagia mau pun duka. Kemarilah, jemariku jauh lebih lembut untuk menghapus air matamu dibandingkan tisu jenis apa pun." Rasen bertutur setelah aku tak mengeluarkan sedikit pun suara.

Siswi kanebo masih mematung. Mungkin terpukau dengan perkataan Rasen. Bagaimana denganku, yang perkataan itu memang ditujukan untukku.

"Alila, tolong jangan pernah sakiti Dainty-ku, ya. Dia sudah banyak terluka," ucap Rasen kepada si siswi kanebo yang dilanjutkan dengan tersenyum lebar ke arahku.

1
Selfi Azna
pada kemana yang lain
Selfi Azna
MasyaAllah
_capt.sonyn°°
kak ini beneran tamat ??? lanjut dong kakkkk novelnya bagus bangetttttt
Selfi Azna
mungkin bapaknya cerai sama ibunya,, truss jd pelampiasan
Chira Amaive: Bukan cerai, tp meninggal ibunya 😭
total 1 replies
melting_harmony
Luar biasa
Zackee syah
bagus banget kak novel nyaaa...
Chira Amaive: Thank youuuu
total 1 replies
Zackee syah
lanjut kak
🎀𝓘𝓬𝓱𝓲𝓷𝓸𝓼𝓮🎀
barter, aku like punya kamu, kamu like punya aku
Chira Amaive: okeyyyyy
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!