Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Perbedaan
Laras melipat tangannya di dada. "Kenapa seorang atasan begitu peduli pada bawahan yang baru dipromosikannya? Sampai mengundang makan malam, bahkan mengulanginya lagi hanya karena merasa tidak sopan?"
Darma menatap putrinya dengan heran. "Laras, jangan berpikiran buruk. Pak Edward hanya ingin menjalin hubungan baik dengan bawahannya."
"Tapi ini bukan hanya hubungan profesional, Yah. Ini sudah dua kali. Mana ada atasan yang melakukan ini hanya karena promosi jabatan?" Laras menyipitkan mata, mencurigai sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Namun, sebelum ia bisa membahasnya lebih lanjut, Wati sudah bersuara. "Pokoknya kita harus datang. Ini kesempatan bagus untuk mengenal Pak Edward lebih baik."
Darma menatap Laras dengan ekspresi tegas. "Laras, kau juga harus ikut. Ayah tidak menerima penolakan. Pak Edward ingin kita sekeluarga datang," ujarnya dengan nada yang tak memberi ruang untuk bantahan.
Laras ingin menolak. Ada sesuatu tentang Edward yang terasa… janggal. Tapi melihat tatapan antusias ayahnya, ia tahu, membantah hanya akan memicu perdebatan panjang yang tak ada gunanya.
Dengan helaan napas pelan, Laras akhirnya mengangguk. "Baiklah…"
Di sisi lain, Sherin diam-diam menggertakkan giginya, menyembunyikan kekesalan yang mendidih di hatinya. "Sial! Kenapa dia harus ikut, sih?" batinnya penuh geram. "Kalau begitu, malam ini aku harus tampil lebih menarik dari sebelumnya. Aku tidak boleh kalah dari Laras."
Wati pun menyimpan ketidaksukaannya, meski ia tak berani membantah keputusan suaminya. Ia hanya melirik Laras sekilas dengan pandangan yang sulit diartikan sebelum kembali berfokus pada persiapan mereka.
Sementara itu, Laras menggigit bibirnya, perasaan tidak nyaman semakin mengusik hatinya. Seolah-olah makan malam ini bukan sekadar makan malam biasa. Seolah ada sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang mungkin tidak akan ia sukai.
***
Restoran mewah itu dipenuhi cahaya lampu gantung yang berkilauan, memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan.
Keluarga Darma sudah lebih dulu tiba. Sherin tampak cantik dan anggun dengan gaun elegan yang membalut tubuhnya, riasan wajahnya sempurna, menonjolkan pesona yang ia harap bisa menarik perhatian Edward. Wati pun tak kalah, mengenakan pakaian yang rapi dengan aksesori yang dipilih dengan hati-hati. Darma, dengan jas rapi yang biasanya hanya ia kenakan di acara-acara penting, duduk dengan bangga, merasa dihargai oleh undangan dari atasannya.
Di antara mereka, Laras tampil sederhana. Gaunnya tidak mencolok, tidak ada riasan berlebihan di wajahnya, tetapi justru itulah yang membuatnya terlihat menonjol dengan caranya sendiri. Keanggunan alaminya begitu lembut, menenangkan, berbeda dengan pesona Sherin yang terkesan penuh usaha.
Sherin meliriknya sekilas, kegelisahan muncul di matanya. "Kenapa dia tetap terlihat menarik bahkan tanpa usaha?" pikirnya dengan kesal.
Wati pun merasakan hal yang sama. "Semoga Edward tidak terpikat padanya," batinnya penuh harap, karena ia jauh lebih suka jika Edward memerhatikan Sherin daripada Laras.
Beberapa menit kemudian, pintu restoran terbuka, dan sosok Edward melangkah masuk dengan percaya diri. Mengenakan setelan mahal yang tampak sempurna di tubuhnya, auranya segera menarik perhatian. Darma segera berdiri, menyambutnya dengan senyuman lebar.
"Pak Edward, selamat malam! Terima kasih sudah mengundang kami," ujar Darma dengan nada penuh penghormatan.
Wati dan Sherin juga langsung memasang ekspresi senang, sementara Sherin diam-diam merapikan rambutnya, memastikan dirinya terlihat sebaik mungkin.
Namun, hanya Laras yang bereaksi berbeda. Begitu melihat Edward, keningnya langsung berkerut. Rasanya ia tidak salah mengenali pria itu.
Saat Edward mendekat, matanya pun bertemu dengan Laras. Ia berpura-pura terkejut, padahal sebenarnya ini adalah momen yang sudah ia rencanakan.
"Bukankah kamu yang tadi sore tak sengaja aku serempet?" tanyanya dengan nada seolah benar-benar baru menyadarinya.
Darma, Wati, dan Sherin langsung menoleh ke arah Laras, wajah mereka dipenuhi keterkejutan.
"Apa?!" Sherin dan Wati berseru hampir bersamaan.
Laras tetap diam, menatap Edward dengan penuh selidik. Nalurinya semakin kuat mengatakan bahwa ada sesuatu yang aneh. Namun, sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Darma sudah tertawa canggung.
"Wah, dunia memang sempit! Laras, kenapa tidak bilang kalau kau bertemu Pak Edward tadi?" ujar Darma, menganggap kejadian itu hanya kebetulan belaka.
Edward hanya tersenyum tipis. "Saya juga tidak menyangka akan bertemu lagi di sini."
Tatapan Sherin semakin waspada. Ia menggenggam erat ponsel di tangannya, hatinya penuh kekhawatiran. "Jangan bilang Edward benar-benar tertarik pada Laras…"
Sementara itu, Laras hanya bisa merasakan firasat buruk yang semakin menguat.
Makan malam dimulai dengan suasana yang canggung bagi Laras, tetapi penuh antusiasme bagi anggota keluarganya yang lain.
Pelayan datang menyajikan hidangan pembuka. Sherin dengan anggun mengambil garpu dan mulai menyantap makanannya dengan sikap yang dibuat-buat, berharap bisa menarik perhatian Edward. Wati juga sesekali menyisipkan pujian untuk Edward, berusaha membuat suasana lebih akrab.
Darma, yang sudah sangat nyaman dengan Edward setelah mendapatkan promosi darinya, berbincang dengan penuh semangat. "Pak Edward, sekali lagi saya berterima kasih atas kepercayaan Anda pada saya. Saya benar-benar tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan ini."
Edward tersenyum, meneguk anggur di gelasnya. "Pak Darma, Anda pantas mendapatkannya. Saya percaya pada kemampuan Bapak."
Laras hanya diam, sibuk mengaduk makanannya tanpa benar-benar berselera. Namun, ia bisa merasakan sesekali Edward melirik ke arahnya, seolah memerhatikannya dengan seksama.
Sherin, yang memperhatikan hal itu, langsung mencoba mengalihkan perhatian Edward. "Pak Edward, apakah Anda sering makan di tempat seperti ini? Sepertinya Anda sangat tahu restoran bagus."
Edward menoleh ke arah Sherin, tersenyum sopan. "Ya, saya cukup sering. Tapi makan malam seperti ini berbeda, karena saya bisa mengenal keluarga Pak Darma lebih dekat."
Sherin tersenyum penuh harap. "Kalau begitu, mungkin lain kali saya bisa merekomendasikan tempat lain untuk Anda."
Edward hanya menanggapi dengan anggukan kecil, lalu kembali menatap Laras. "Laras, kau tampak tidak begitu menikmati makanannya. Apa kau tidak suka menu di sini?" tanyanya tiba-tiba.
Laras terkejut sejenak, merasa semua perhatian kini tertuju padanya. Ia segera menggeleng. "Bukan begitu. Saya hanya tidak terlalu lapar."
Edward mengangguk paham, tetapi senyumnya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian biasa. "Kalau begitu, mungkin lain kali aku bisa mengajakmu makan di tempat yang lebih sesuai dengan seleramu."
Sherin hampir tersedak mendengar itu. Wati menegang. Sedangkan Darma hanya tertawa, menganggap itu sebagai basa-basi atasan pada anak bawahan. "Wah, Laras, itu kesempatan bagus. Kau harusnya bilang terima kasih."
Laras merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. Ada sesuatu dalam nada bicara Edward yang terasa terlalu pribadi, terlalu tertarik.
"Terima kasih, Pak Edward, tapi saya tidak ingin merepotkan," jawabnya sopan, tapi tegas.
Edward hanya tersenyum, tetapi matanya seolah mengatakan bahwa ia tidak akan menyerah semudah itu.
Sementara itu, Sherin semakin gelisah, meremas ujung serbet di pangkuannya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak akan membiarkan Laras mencuri perhatian Edward begitu saja.
Sedangkan Wati mengamati semuanya dengan saksama. Cara Edward berbicara, bagaimana nada suaranya berubah-ubah tergantung kepada siapa ia berbicara.
Saat berbicara dengannya, dengan Darma, bahkan dengan Sherin, pria itu terdengar begitu formal. Ia menggunakan sapaan saya dan Anda, menjaga nada suaranya tetap sopan dan berwibawa. Seorang atasan yang berbicara dengan bawahan dan keluarganya.
Tapi saat berbicara dengan Laras… semuanya berubah.
Edward tidak lagi terdengar seperti seorang atasan atau pria berjarak. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa lebih akrab, lebih hangat. Ia menggunakan aku dan kamu, seolah mereka sudah lama saling mengenal. Seolah Laras bukan hanya putri dari bawahannya, melainkan seseorang yang ingin ia dekati lebih dalam.
Wati mungkin sudah berumur, tapi ia tidak bodoh. Ia mengenali tatapan seperti itu. Tatapan seorang pria yang menginginkan sesuatu—atau seseorang.
Edward tertarik pada Laras.
Dan itu membuatnya gelisah.
Sebagai seorang ibu, nalurinya menuntunnya untuk waspada. Edward bukan pria biasa. Ia punya kuasa, punya pengaruh. Jika pria seperti itu menaruh minat pada putrinya, seharusnya itu adalah keberuntungan besar—jika saja yang ia inginkan adalah Sherin.
Wati menggigit bibir, perasaan tak suka mengusik hatinya. "Seharusnya Sherin yang menarik perhatian Edward, bukan Laras. Jika Sherin yang dipilih, ia bisa hidup enak, menikmati kenyamanan yang selama ini sulit kami raih."
Tapi Edward justru tertarik pada Laras.
Wati menekan perasaan kesalnya. "Aku tak bisa membiarkan ini terjadi. Aku harus mencari cara agar perhatian Edward beralih ke Sherin."
...🔸🔸🔸...
...Rasa suka tak bisa dipaksa, rasa benci sulit dihindari. ...
...Kita tak bisa memaksa hati untuk menyukai atau membenci. ...
...Tapi kita bisa berusaha berpikir positif dalam menghadapi segala situasi agar bisa mengontrol emosi. ...
...Meski kita tak bisa mengontrol orang lain untuk menghindari benci. ...
..."Dhanaa724"...
...🍁💦🍁...
.
To be continued