Alana Adhisty dan Darel Arya adalah dua siswa terpintar di SMA Angkasa yang selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik. Alana, gadis ambisius yang tak pernah kalah, merasa dunianya jungkir balik ketika Darel akhirnya merebut posisi peringkat satu darinya. Persaingan mereka semakin memanas ketika keduanya dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah.
Di balik gengsi dan sikap saling menantang, Alana mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam hubungannya dengan Darel. Apakah ini masih tentang persaingan, atau ada perasaan lain yang diam-diam tumbuh di antara mereka?
Saat gengsi bertarung dengan cinta, siapa yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my pinkys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AWAL DARI SEGALANYA
Suara lonceng sekolah berdentang, menandakan dimulainya jam pertama di SMA Angkasa. Siswa-siswi berjalan memasuki gerbang dengan berbagai ekspresi—ada yang ceria, ada yang malas, dan ada juga yang masih mengantuk. Bagi kebanyakan siswa, hari Senin adalah awal minggu yang membosankan, mana ada ya kan anak sekolah yang senang pada jika hari senin tiba.
Namun, bagi Alana Adhisty, hari ini bukan sekadar hari biasa. Hari ini adalah pengumuman hasil ujian semester.
Alana duduk di bangkunya, mengetukkan jarinya ke meja dengan tidak sabar. Kelas sudah mulai terisi oleh teman-temannya, tetapi matanya hanya tertuju ke papan tulis, menunggu guru masuk dan menempelkan daftar nilai.
“Lana, kamu yakin bakal tetap jadi nomor satu?” tanya Sasha, sahabatnya sejak ia memasuki bangku dasar kanak-kanak,yang duduk di sebelah.
“Tentu saja,” jawab Alana cepat. “Aku sudah belajar mati-matian. Sudah aku jamin,aku akan jadi peringkat pertama.”
Sasha tertawa kecil melihat semangat membara sangat sahabat yang penuh keyakinna. “Tapi Darel juga sama pintarnya. Jangan lupa, dia sering hampir menyaingimu dalam nilai,walau...beda beberapa angka.”
Alana mendengus pelan. Nama Darel Arya sudah terlalu sering ia dengar dalam hidupnya. Cowok itu adalah satu-satunya orang di sekolah yang bisa menyaingi dirinya dalam hal akademik. Mereka selalu bersaing untuk posisi teratas, dan selama ini, Alana selalu menang.
Tapi entah kenapa, kali ini dia merasa sedikit gugup, Ah Alana harus berfikir positif.
Tak lama, Bu Rina, wali kelas mereka, masuk sambil membawa beberapa lembar kertas. Kelas langsung hening. Semua menunggu dengan tegang saat guru mereka mulai menempelkan hasil ujian di papan pengumuman.
Alana langsung berdiri dan berjalan cepat ke depan kelas. Matanya langsung menyusuri daftar itu, mencari namanya. Namun, alih-alih melihat namanya di peringkat pertama, dia justru menemukan sesuatu yang membuatnya terdiam. Tidakkkk sialan Daren! 'batin Alana berteriak'
Darel Arya – 98,7
Alana Adhisty – 98,5
Selisih 0,2 poin.
Hanya 0,2 poin.
Tapi itu cukup untuk membuat Alana kehilangan gelarnya sebagai peringkat pertama.
Dari belakang, suara seseorang terdengar santai. “Kelihatannya ada yang turun peringkat nih.”
Alana menoleh dengan kesal. Seperti yang sudah ia duga, Darel berdiri di sana dengan ekspresi santai dan sedikit smirk di wajahnya. Itu sangat menyebalkan.
“Jangan terlalu bangga, Darel,” kata Alana dengan nada tajam. “Aku akan merebut kembali posisiku di ujian berikutnya.Awas saja kau Darel”
Darel mengangkat bahu, masih dengan senyum menyebalkan itu. “Kita lihat saja, Alana cantik.”
"Idih cantik-cantik, eh Terima kasih Darel Monyet" balas Alana lalu pergi dengan terbahak-bahak
Gadis itu mengepalkan tangannya, menahan rasa jengkel yang membara di dadanya. Ini pertama kalinya dia kalah dari Darel, dan dia tidak menyukainya sama sekali.
Namun, bukannya marah atau kecewa, ada sesuatu yang lebih kuat yang ia rasakan.
Motivasi.
Dia tidak akan membiarkan Darel menang lagi.
___
Setelah bel istirahat berbunyi, Alana dan Sasha berjalan menuju kantin. Alana masih kesal, tetapi ia berusaha menyembunyikan emosinya. Ia harus makan, itu penting untuk hidup nya saat ini selain tentang Nilai yang tinggi.
“Lo yakin Lana? makan bakso pedes kamu jadi merasa lebih baik,” kata Sasha sambil menggandeng tangannya.
Alana menjawab dengan santai. “Yakin seratus ribu persen Sasha.”
Saat mereka berjalan melewati lapangan basket, suara sorakan terdengar dari sekelompok siswa yang sedang berkumpul. Alana menoleh, dan matanya langsung menangkap sosok yang sedang menjadi pusat perhatian.
Darel. Malas sekali rasanya melihat muka monyet Darel huhu.
Laki-laki itu sedang bermain basket bersama teman-temannya. Kaos seragam olahraganya sedikit basah oleh keringat, tetapi ia tetap terlihat tenang dan percaya diri. Dengan gerakan lincah, ia menggiring bola, melompati pemain lain, dan memasukkan bola ke dalam ring dengan sempurna.
Para penonton bersorak.
Alana hanya mendengus. “Kenapa sih dia selalu jadi pusat perhatian?”
Sasha terkikik. “Karena dia memang keren.”
“Hah, keren dari mana nya Sasha. Dia enggak ada bagian ‘keren’-nya kalo di lihat.”
Sasha meliriknya dengan senyum penuh arti. “Oh, ayolah, Lana. Aku tahu kamu selalu menganggap dia sebagai rival, tapi tidak mungkin kalau kamu tak melihat sisi kegantengan sang pangeran sekolah.”
Alana mengerutkan dahi. “Maksud kamu?”
Sasha mengedikkan dagunya ke arah lapangan. “Lihat aja sendiri. Darel itu bukan cuma pintar, tapi juga jago olahraga. Dan aku tahu semua cewek di sekolah ini suka sama dia,meskipun sudah punya pacar sekali pun .”
Alana melipat tangan di dada. “Lalu, kenapa aku harus peduli?”
Sasha menghela napas, lalu tersenyum jahil. “Mungkin karena kamu juga mulai tertarik?”
Alana langsung menoleh tajam. “Apa?! Jangan bercanda, Sasha! amit- amit deh Sa” Alana mengusap bahu nya yang terasa merinding
Sasha hanya tertawa dan menarik tangan Alana. “Ya sudah, ayo kita cari tempat duduk. Saat nya isi perut besty”
Meskipun sudah berusaha mengalihkan pikirannya, entah kenapa, bayangan Darel yang bermain basket masih terus ada di benaknya.
Dan itu mengganggunya lebih dari yang ia harapkan.
Ah kenapa ia jadi memikirkan Darel.
__
Setelah istirahat, pelajaran kembali dimulai. Namun, kali ini ada sedikit kejutan yang tidak diharapkan oleh Alana.
Saat ia masuk kelas, Bu Rina berdiri di depan dengan ekspresi serius. “Hari ini, kita akan melakukan proyek kelompok. Ibu sudah membagi kalian menjadi beberapa pasangan. Ibu harap kalian bisa bekerja sama dengan baik. Awas saja kalian kalo tidak bekerja sama,nilai kalian taruhan nya” ancam Bu Rina di akhir kalimat.
Alana menghela napas lega. Dia selalu suka proyek kelompok, terutama jika dia bisa memilih teman satu timnya sendiri.
Namun, harapannya langsung hancur ketika Bu Rina mulai membacakan daftar pasangan.
“Alana dan Darel.”
Alana terdiam.
Dia menoleh ke arah Darel yang duduk di seberang kelas. Cowok itu menatapnya dengan ekspresi datar, lalu mengangkat bahu seolah berkata, Mau bagaimana lagi?
Alana menutup matanya, berusaha menenangkan diri.
Kenapa harus dia?!
Setelah kelas bubar, Alana berjalan ke bangku Darel dengan ekspresi terpaksa.
“Kita harus menyelesaikan proyek ini dengan cepat,” katanya tanpa basa-basi.
Darel menatapnya dengan santai. “Tentu. Gue tidak mau lama-lama kerja sama,sama lo.”
Alana mendengus. “Bagus kalau kita sepaham.”
Darel tersenyum tipis. “Tapi Lo sadar kan, ini berarti kita harus sering bertemu setelah sekolah?”
Alana terdiam.
Astaga. Aku benar-benar sial hari ini.
__
Setelah sekolah, Alana dan Darel memutuskan untuk bertemu di perpustakaan untuk membahas proyek mereka. Meskipun mereka berdua pintar, ternyata bekerja sama bukan hal yang mudah.
“Lana, kita sebaiknya mulai dari pengumpulan data dulu,” kata Darel sambil membuka buku referensi.
“Aku tahu,” jawab Alana ketus.
Mereka duduk berhadapan, masing-masing fokus pada bahan yang mereka cari. Namun, setiap kali Alana mencoba menulis sesuatu, Darel selalu punya pendapat yang berbeda.
“Menurutku, ini bukan sumber terbaik,” kata Darel.
Alana mendengus. “Aku tahu cara memilih sumber, Darel.”
Darel hanya terkekeh. “Yakin?”
Alana menatapnya tajam. “Kenapa sih kamu selalu merasa lebih pintar dariku?”
Darel mengangkat alis. “Karena aku memang lebih pintar.”
Alana ingin membalas, tetapi dia tahu kalau mereka terus bertengkar, proyek ini tidak akan selesai.
Jadi, untuk pertama kalinya, dia memilih diam.
Darel menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Ternyata kamu bisa juga diam, ya?”
Alana hanya melotot padanya. “Jangan bikin aku berubah pikiran Darel.”
Darel terkekeh pelan. “Baiklah, baiklah. Ayo lanjut kerja.”
Dan meskipun mereka terus berdebat sepanjang sesi belajar itu, ada satu hal yang mulai terasa berbeda.
Alana menyadari bahwa untuk pertama kalinya, dia tidak hanya melihat Darel sebagai rival.
Ada sesuatu yang lain di sana.
Dan itu membuatnya semakin bingung.
Sebenarnya ia kenapa, dan saat bersama Darel ia bisa merasakan kehangatan.
To be continued…