NovelToon NovelToon
Ketika Malaikat Maut Jatuh Cinta

Ketika Malaikat Maut Jatuh Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cinta Terlarang / Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:297
Nilai: 5
Nama Author: Irnu R

Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.

Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.

Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.

Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Davin, Kunci dari Kelemahan Rheyan?

Alya menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan kosong. Pikirannya masih terjebak dalam kata-kata yang diucapkan Rheyan beberapa waktu lalu.

"Jika kamu jatuh cinta pada manusia lain, aku akan lenyap."

Saat itu, ia tidak terlalu memikirkannya. Terdengar seperti ucapan seorang malaikat yang cemburu, meskipun Rheyan selalu menyangkal bahwa ia memiliki emosi seperti manusia. Tapi sekarang, Alya mulai menyadari sesuatu yang mengganggunya.

Setiap kali ia merasa nyaman bersama Davin, Rheyan semakin sulit muncul.

Mungkin hanya kebetulan, atau mungkin hanya perasaannya saja. Tapi ada sesuatu yang berubah dalam dirinya, sesuatu yang samar namun cukup nyata untuk membuatnya gelisah.

Sore itu, Davin mengajaknya ke sebuah kafe kecil di dekat rumah sakit. Udara dingin membuat Alya merapatkan jaketnya, tapi saat duduk berhadapan dengan Davin, kehangatan aneh menjalar dalam dirinya.

"Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan," kata Davin tiba-tiba. Tatapan matanya tajam, penuh perhatian, namun tidak menghakimi. "Aku tidak tahu apa, tapi aku bisa merasakannya. Kamu bisa percaya padaku."

Alya meremas gelas kopinya, merasakan kehangatannya di telapak tangan yang mulai berkeringat. Kata-kata Davin menggantung di udara, menuntut jawaban yang sulit. Jika ia mengatakan yang sebenarnya, akankah pria itu percaya? Atau justru melihatnya sebagai seseorang yang kehilangan pegangan pada realitas?

Tapi lebih dari itu… jika ia mengatakan yang sebenarnya, apakah itu akan membuat Rheyan semakin jauh?

Davin akan menganggapnya gila.

"Ini bukan sesuatu yang mudah dijelaskan," ucapnya akhirnya.

Davin menghela napas. "Aku tidak memaksamu, Alya. Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku ada di sini."

Alya tersenyum kecil, tapi di dalam hatinya, ada pertanyaan yang terus mengganggunya. Jika Davin ada di sini, selalu siap menemaninya, lalu… mengapa ia tetap mencari keberadaan Rheyan?

Kata-kata itu seharusnya menenangkan, tetapi yang ada justru membuat hatinya semakin berat. Jika benar bahwa keberadaan Rheyan terancam setiap kali ia dekat dengan Davin, maka apa yang harus ia lakukan?

Malamnya, Alya mencoba memanggil Rheyan dalam mimpinya, seperti yang sudah beberapa kali ia lakukan sebelumnya. Biasanya, meskipun samar, ia akan menemukan Rheyan berdiri di antara cahaya dan bayangan, hadir dalam ruang yang tidak sepenuhnya nyata.

Tapi kali ini, yang datang hanya sunyi.

Udara di sekelilingnya terasa lebih dingin. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencoba mencari sosok itu, tapi yang ada hanya kegelapan yang semakin pekat. Lalu, sekelebat cahaya muncul. Sekilas ia melihat Rheyan, wajahnya pucat, matanya dipenuhi sesuatu yang sulit dijelaskan. Tapi sebelum Alya bisa berbicara, tubuhnya memudar begitu saja, seperti debu yang diterbangkan angin.

Alya tersentak bangun, dadanya naik-turun cepat. Nafasnya memburu, seolah paru-parunya menolak bekerja dengan baik. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, tapi yang lebih menusuk adalah rasa hampa di dadanya.

Rheyan memudar.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa... benar-benar kehilangan sesuatu yang tidak bisa digantikan.

Di tempat lain, jauh dari dunia manusia, Rheyan berdiri di hadapan para malaikat pengawas. Cahaya putih keperakan menyelimuti ruangan itu, tapi tak ada kehangatan di sana. Hanya ada ketegasan yang dingin dan tak terbantahkan.

Seorang malaikat berjubah putih dengan sayap hitam menatapnya tanpa ekspresi.

"Jika manusia itu memilih pria lain, kamu akan lenyap tanpa sisa."

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang ingin diakui Rheyan. Ia tahu itu, ia bisa merasakannya dalam dirinya sendiri.

Semakin lama Alya bersama Davin, semakin lemah keberadaannya.

Tangannya bergetar saat ia mengepalkan jari. Saat ia menunduk, samar-samar ia melihat ujung jubahnya mulai memudar, tidak lagi sepadat sebelumnya. Bahkan saat ia menggerakkan tangannya, perasaan itu ada. Seolah ia bukan lagi bagian yang sepenuhnya utuh di dunia ini.

Rheyan mengangkat kepalanya, menatap malaikat pengawas di depannya. Ia tahu apa yang terjadi pada mereka yang lenyap seperti ini. Mereka tidak mati… mereka hanya menghilang, seakan tak pernah ada.

"Apakah tidak ada jalan lain?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.

Malaikat itu tetap diam sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan nada datar.

"Keseimbangan harus dijaga. Manusia yang seharusnya mati, jika tetap hidup, akan mengubah takdir. Dan sesuatu harus dikorbankan."

Rheyan mengepalkan tangannya. Harga yang harus dibayar… adalah dirinya.

"Alya tidak sadar bahwa setiap pilihannya akan berpengaruh padaku," katanya lirih.

"Maka lebih baik jika dia tidak pernah tahu."

Tapi lidahnya terasa pahit saat mengatakannya.

Ia bisa berbohong pada para malaikat pengawas, tapi tidak pada dirinya sendiri. Jika Alya tahu... jika Alya menyadari bahwa setiap pilihannya akan menghapus keberadaan Rheyan sedikit demi sedikit... apakah dia masih akan memilih pria lain?

Tapi bahkan saat ia mengucapkan itu, ada sesuatu di dalam dirinya yang berontak. Ia tidak ingin lenyap. Ia tidak ingin dilupakan. Tapi jika memilih antara keberadaannya dan kebahagiaan Alya... bukankah jawabannya sudah jelas?

Pernyataan itu seperti palu godam yang menghantam kesadarannya. Jika Alya tahu, akankah itu mengubah sesuatu? Akankah dia memilih untuk menjaga Rheyan tetap ada... atau memilih dunia yang lebih nyata bersama Davin?

Alya duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak bisa dijawab.

Jika ia semakin dekat dengan Davin, apakah itu berarti ia akan kehilangan Rheyan?

Bagaimana mungkin sesuatu yang nyata perlahan memudar begitu saja?

Tapi saat mengingat Davin, ia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ada kenyamanan di sana. Ada perasaan yang sulit ia abaikan.

Tangannya mengepal. Tidak ada pilihan yang mudah.

Dengan langkah lambat, Alya berjalan ke depan cermin. Udara di sekelilingnya terasa lebih berat, seolah ada sesuatu yang tak kasat mata sedang mengawasinya.

Dan saat ia menatap pantulan dirinya, tubuhnya membeku.

Pantulan di cermin tersenyum… tapi itu bukan miliknya.

Senyum itu lebih lebar, terlalu lebar, seperti seseorang yang menikmati rahasia gelap yang tidak boleh diketahui siapapun.

Dan matanya.

Hitam pekat. Tanpa cahaya.

Alya merasakan sesuatu merayap di tengkuknya. Bukan hanya sekadar ketakutan. Ini adalah peringatan.

Ada sesuatu di dalam bayangan.

Alya mundur selangkah, tapi kakinya terasa lemah. Dadanya naik-turun cepat, udara seolah berubah lebih berat, menekan paru-parunya hingga sulit bernapas. Tenggorokannya kering, jari-jarinya gemetar tanpa bisa ia kendalikan.

Tapi ia tidak bisa berpaling.

Pantulan itu masih tersenyum.

Lalu, perlahan… kepala dalam cermin itu miring ke samping.

Bukan dengan cara yang seharusnya.

Ada suara retakan halus, nyaris tak terdengar.

Seperti kaca yang mulai retak dari dalam.

Alya tidak berani bergerak. Napasnya tersangkut di tenggorokan. Tapi pantulan itu... pantulan itu masih menatapnya. Senyum lebar itu semakin membelah wajahnya, perlahan, terlalu perlahan, hingga tidak lagi menyerupai ekspresi manusia.

Alya mundur lagi, lututnya hampir goyah. Jantungnya berdentum keras di dada. Ini bukan hanya pantulan. Ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang sedang mengawasinya... dan menikmati ketakutannya.

1
Ngực lép
Aku suka banget sama karakter di dalam cerita ini, author jangan berhenti yaa!
Legato Bluesummers
Keren! 😍
°·`.Elliot.'·°
Bikin susah move-on, semoga cepat update lagi ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!