Dara terkejut ketika mendapati dirinya bangun dalam keadaan tidak perawan. Seseorang telah menculiknya di malam pengantin dan membuat rumah tangganya yang masih berusia seumur jagung itu berada di ambang kehancuran.
Namun kebenaran pasti terungkap dan tidak ada yang lebih indah daripada itu. Sungguhpun Dara amat terkejut ketika mengetahui siapa pelakunya. Celakanya, di saat cinta perlahan sudah mulai hadir. Dan dia merasa terjebak dalam situasi ini.
“Apa maksudmu seperti ini?” sembur Dara pada sosok menawan di hadapannya.
“Tidak ada cara lebih baik yang bisa kulakukan untuk mendapatkanmu.”
“Kau benar-benar SAMPAH!?”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon meliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlakuan Kurang Menyenangkan
“Ciri-ciri orangnya seperti apa?” tanya Dara kepada salah seorang perawat, mengenai laki-laki yang membayar tagihannya tersebut. Dara kecelakaan tunggal, akibat karena kelalaiannya sendiri—mustahil jika ada orang yang berbaik hati membayarkannya.
“Tinggi, putih, perkiraan usia 30 tahunanlah. Dia memakai jaket hitam dan celana jeans. Tapi kalau ciri-ciri wajahnya saya kurang memperhatikan.”
“Apa dia mengatakan identitasnya?”
“Dia hanya bilang saudaranya, itu saja.”
‘Suruhan Mas Chandra bukan, ya? Tapi tahu dari mana aku kecelakaan?’
“Ya sudah, terima kasih.” Dara mencukupkan interogasinya lantaran si perawat sepertinya sedang tidak mempunyai banyak waktu untuk meladeni rentetan pertanyaannya.
Beberapa menit kemudian, Dara memutuskan untuk pulang. Namun dia meringis tatkala mencoba untuk berjalan keluar dari klinik. Lututnya luar biasa nyeri sehingga ia memutuskan untuk menaiki taksi. Sementara motornya yang sedikit cedera, dibiarkan tergeletak di tempat parkir. Lama sebelum dia keluar, dia telah menghubungi Razka untuk mengambilnya. Beruntung anak itu sudah pulang sekolah sehingga bisa dimintai tolong.
“Kok, Mbak bisa jatuh di daerah sana?” tanya Razka ketika keduanya sudah sampai di rumah. “Memangnya Mbak mau ke mana?”
“Ehm, itu ...” Dara kesulitan menjawab karena jika ia mengatakan terus terang—akan bisa menjadi buntut persoalan yang panjang. “.... Mbak lagi mau cari perabotan, Dek. Soalnya dapur Mbak masih belum lengkap,” ujarnya menemukan alasan yang cukup masuk akal.
“Memangnya di sekitar sini tidak ada, Mbak? Toko perabotan kan banyak.”
“Mbak ingin cari di sana sekalian jalan-jalan. Di rumah terus suntuk.”
“Lain kali kalau mau pergi sama Mas Chandra saja, jadi kalau ada apa-apa ada laki-laki. Coba tadi kalau tidak ada orang baik hati yang mau menolong, tidak tahu nasib Mbak gimana. Mana pakai pingsan segala lagi.”
“Iya-iya, Adek bawelku. Tengkyu sudah bantu Mbak, ya ...” Dara mengusap rambut lebat Razka dengan gemas.
“Mas sudah dihubungi?”
“Mas Chandra kan lagi kerja. Takut mengganggu.”
“Tidak seperti itu konsepnya, Mbak. Laki-laki akan lebih memprioritaskan istrinya daripada pekerjaannya.”
“Aduh, Adek dah macam seperti orang dewasa saja ngomongnya!”
“Aku memang sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Jangan salah ya? Razka sekarang sudah punya pacar.”
“Masih kecil sudah pacaran, kuota sama bensin saja masih minta sama ibu.”
“Nanti aku ganti kalau sudah kerja.”
“Sekolah dulu yang benar, nanti lanjut kuliah biar bisa punya pekerjaan lebih baik.”
“Iya, Mbak ... sekarang telepon ibu sama suami Mbak dulu, kabari mereka.”
“Oke, Oke ....”
‘Aku hubungi ibu saja, Mas Chandra pasti sedang sibuk.’
Mengambil telepon genggam, Dara menghubungi ibu Ratna, dia mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya baik-baik saja dan hanya terkena luka ringan.
“Kenapa bisa kecelakaan sih, Nduk? Kamu mengantuk?”
“Iya, bisa jadi,” jawab Dara sekenanya. Nyatanya tidaklah demikian. Dia tidak fokus karena banyak pikiran. Bahkan sampai sekarang pun kepalanya masih dipenuhi dengan insiden mengerikan yang terjadi padanya di malam pertamanya. Seandainya nanti sore masih sanggup untuk datang ke sana (gedung tempatnya resepsi), maka Dara tidak akan menundanya lagi. Menurutnya lebih cepat, lebih baik.
“Owalah, pengantin baru. Makanya jangan terlalu banyak begadang!” kata Ibu Ratna beranggapan.
‘Jangankan begadang, Bu. Di sentuh pun tidak. Dara sudah kotor, gara-gara makhluk hulk itu.’
“Ya sudah, kalau kamu baik-baik saja, Ibu sudah tenang. Tadi ibu dengar dari Adek, katanya Mbak kecelakaan—jadi Ibu panik,” kata Ibu Ratna kemudian. “Bulan depan ibu ke sana lagi, tapi mudah-mudahan nanti kamu sudah hamil, ya, Nduk ....”
‘Tidak, aku tidak mau mengaminkan benih haram ini. Kalaupun ada mungkin lebih baik aku gugurkan. Tentu saja aku jijik, aku tidak tahu siapa yang memperko saku.’
Dara tidak bisa membayangkan jika yang memperkosanya adalah kakek-kakek gempal berkepala botak. Hii ... sangat menjijikkan?!
‘Tapi kalau dari harum parfumnya, sepertinya bukan. Aku tahu itu parfum maskulin yang hanya dipakai oleh anak muda dan orang-orang mahal juga. Seperti aku mencium harum tubuh ... Alif. Ya—Alif.
Hah, mana mungkin dia?
Ah, kita memang pernah dekat. Tapi tidak pernah punya masalah apa pun. Kami baik-baik saja dan berteman akrab. Lagi pula Alif tidak mungkin melakukan hal sehina itu. Aku sangat tahu keluarganya. Dia berasal dari keluarga baik-baik.’
“Nduk? Nduk?”
“Eh, iya, Bu!” Dara gelagapan akibat melamun terlalu lama.
“Dipanggil sama Ibu dari tadi diam saja.”
“Mungkin lagi di luar jangkauan,” Dara menjawab asal.
“Ibu tutup teleponnya. Kamu cepat sembuh, ya.”
“Ok, Bu.”
Usai menelepon, Dara kembali duduk bergabung dengan Razka lagi. Mengobrol sembari memijat pelan bagian-bagian tubuhnya yang sakit. Kebetulan, Razka juga bersedia membantunya.
***
Sore harinya setelah Razka pulang, Dara membatalkan niatnya untuk pergi ke gedung itu lagi. Sebab keadaannya justru terasa bertambah parah. Padahal siang tadi belum terlalu terasa. Aneh?!
'Sepertinya sore ini aku batal pergi ke sana, kaki aku masih sakit.'
Bunyi roda mobil berhenti membuat Dara segera berdiri untuk membukakan garasi. Senyumnya merekah, tak sabar menyambut pria itu.
“Akhirnya kamu pulang juga. Aku merindukanmu,” ucap Dara langsung berhambur memeluk Chandra saat dia tiba di hadapannya. Meski tak ada balasan tangan yang melingkar, tetapi tak apa—minimal Chandra tidak menolaknya.
Dara merenggangkan pelukan, “Kamu mau minum apa, biar aku buatkan, ya?” ia berusaha tersenyum meski matanya menggenang menahan rasa sesak yang luar biasa.
“Apa saja yang ada,” jawab chandra singkat.
“Mas Chandra bersih-bersih dulu, nanti aku taruh di sini.” Tanpa memedulikan kakinya yang sakit, dia berjalan tertatih menuju ke dapur, membuatkan minum untuk suaminya. Di sana dia lekas-lekas menghapus jejak air matanya.
‘Dara, kamu tidak boleh lemah. Dara yang sebelumnya adalah Dara yang mandiri, Dara yang kuat! Ayo, Dara, semangat! Jangan menyerah! Apa pun jalannya pernikahan ini nanti, setidaknya kamu bisa membuktikan semua kebenarannya.’
Beberapa menit berlalu.
“Loh, kok belum bersih-bersih?” tanya Dara ketika dia kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan yang di atasnya berisi minuman hangat dan beberapa camilan ringan. Dia mendapati suaminya masih duduk memainkan ponselnya di sana.
Namun bukannya menjawab, Chandra justru menanyakan hal lain. “Kenapa dengan siku tangan dan kakimu?” dia menunjuk bagian tersebut.
“Aku kecelakaan," jawab Dara. "Aku pikir Mas Chandra sudah tahu, terus menyuruh orang untuk membayar tagihanku.”
“Membayar tagihanmu?” tanya Chandra keheranan. Matanya menyorot tajam Dara seolah tengah menilai-nilai. Entah kegilaan apalagi yang baru disebutkan oleh istrinya barusan. Benar-benar tak habis pikir.
“Iya,” kata Dara menanggapi. "Tadi ada yang membayarkan tagihanku di klinik."
“Aku bukan pengangguran yang terus memantaumu 24 jam ke mana pun kamu pergi. Jadi jelas bukan aku. Aku sibuk di Pabrik.”
“Lalu siapa kalau bukan kamu, Mas?”
“Ya, mana aku tahu! Tanyakan saja pada pengagum rahasiamu itu!”
Wajah Chandra berubah kesal. Di depan mata Dara persis, dia membalikkan cangkir teh yang baru dihidangkan olehnya sehingga membuat airnya bertumpahan.
Dara terperanjat mendapati perlakuan tak menyenangkan ini. Dia menangkup setengah wajahya dengan kedua telapak tangan. Matanya nanar melihat Chandra yang selama ini ia kenal penyayang—tega berbuat kasar.
***
To be continued.
**CATATAN :
Kayaknya gak cukup untuk 'pembaca baru' kalau hanya baca di sini. Ini sekuel, jadi mungkin gak terlalu nyambung kalau gak baca dari induknya "Tak Sanggup Berbagi"
Kalau pembaca lama sudah pasti paham. Jadi saran aku, pembaca baru ke sana dulu ya. Gak banyak kok, hanya 70 bab😚.