“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Menjebak
Sherin tersenyum miring, penuh arti. Dalam hatinya, dendam kecil itu kembali menyala.
"Andai kau tahu kau hanya mengidap vaginismus, Kak..." pikirnya sinis. "Kau pasti sudah memilih lari bersama Bayu sejak dulu. Bukan menikah dengan pria itu."
Ia menggigit ujung kukunya pelan, menahan geli melihat wajah Laras yang murung. Sherin tak suka melihat Laras bahagia—terutama setelah ia dijadikan alat oleh Edward untuk mendapatkan wanita itu.
"Kalau aku harus menderita, kau juga harus. Kau harus merasa cacat. Harus merasa tak layak dicintai. Harus terus tinggal bersama pria yang kau benci, tapi juga tak cukup berani pergi dengan pria yang kau cinta."
Sherin mengerling ke arah Laras. Senyumnya makin lebar. Ia tahu—penderitaan batin seperti itu jauh lebih menyakitkan daripada luka fisik mana pun. Dan ia akan pastikan, Laras tak akan pernah benar-benar merasa utuh.
Edward menggertakkan gigi. Wajahnya gelap menahan emosi yang bahkan tak bisa ia definisikan.
"Sial... Kenapa aku benci sekali melihat pria itu? Aku tidak mencintai Laras... Tapi aku benci kehilangan sesuatu yang kuanggap milikku," batinnya masih menyangkal bahwa ia mulai mencintai Laras.
Darma dan Wati hanya diam. Tapi mata mereka... menyaksikan segalanya. Menyadari cinta yang masih bersemayam di mata Bayu dan betapa tajamnya kebencian Edward pada apa yang tak bisa ia miliki seutuhnya.
Bayu menutup pintu mobilnya perlahan. Sekilas ia menoleh ke rumah yang baru saja ia tinggalkan—tempat yang dulu memberinya harapan, kini hanya menyisakan luka. Mesin mobil menyala, tapi Bayu tak langsung menginjak gas. Matanya kosong menatap ke depan, rahangnya mengeras menahan getir yang merambat pelan ke dadanya.
Suara Boni membuatnya menoleh, wajah sahabatnya itu diliputi rasa bersalah.
“Gue...gue minta maaf, Bay,” ucap Boni dengan suara rendah. “Kalau bukan karena gue, lo nggak bakal dipermalukan kayak tadi. Gue nggak nyangka mereka bakal sejahat itu…”
Bayu menghela napas panjang, matanya menatap langit sejenak sebelum kembali menatap Boni.
“Bukan salah lo, Bon,” jawabnya pelan tapi tegas. “Lo cuma pengen bantu gue. Lagipula, mungkin emang harus gini... Biar gue bisa berhenti berharap.”
Boni mengepalkan tangannya, menunduk. Bayu melirik ke arah rumah Laras sekali lagi sebelum menekan gas perlahan.
“Aku benar-benar mencintainya... tapi aku juga harus tahu kapan harus pergi," katanya, nyaris berbisik.
Mobil itu perlahan melaju menjauh, meninggalkan debu dan kenangan yang tak sempat menjadi kenyataan. Sementara Boni hanya bisa diam, menyaksikan sosok pria baik itu pergi dengan hati yang patah.
***
Edward duduk di seberang meja dokter wanita paruh baya yang mengenakan jas putih bersih. Senyum profesional sang dokter tidak mampu meredam ketidaksabaran yang tergurat jelas di wajah Edward.
“Jadi… sampai kapan saya harus terus bersabar, Dok?” tanyanya dingin, kedua tangannya bersedekap, suara terdengar tenang tapi penuh tekanan. “Saya sudah menikahi Laras selama berbulan-bulan. Dan saya bahkan belum bisa menyentuh istri saya sendiri.”
Dokter menarik napas pelan, lalu menjawab dengan nada sabar, “Pemulihan vaginismus tidak bisa dipaksakan, Pak Edward. Ini bukan sekadar masalah fisik, tapi trauma psikis yang mendalam. Istri Anda butuh dukungan, bukan tekanan.”
Mata Edward menyipit. Ia mencondongkan tubuh ke depan, menahan emosi dengan senyum miring yang nyaris sinis.
“Dukungan? Saya sudah memberinya rumah mewah, nama keluarga terpandang, dan status sosial. Dia hanya perlu... menjadi istri saya seutuhnya. Apakah itu terlalu sulit?”
Dokter menahan diri untuk tidak bereaksi, tetapi sorot matanya mulai menegang. “Tapi Anda menikahinya bukan sekadar untuk status, bukan?”
Edward menatap tajam, lalu berdiri. “Saya menikahinya karena dia milik saya. Dan saya tidak suka memiliki sesuatu yang tidak bisa saya sentuh.”
Sebelum sang dokter bisa menanggapi, Edward sudah berbalik dan melangkah keluar dari ruang konsultasi. Pintu tertutup dengan dentuman halus, meninggalkan ruang itu dengan udara berat.
***
Lampu-lampu redup klub malam berpendar di atas kepala Edward. Musik menghentak, dentingan gelas dan tawa lepas tamu membaur jadi satu, tapi Edward hanya duduk diam di sudut ruang VIP, menatap kosong ke gelas kristal berisi whiskey di tangannya.
Ia meneguk perlahan, membiarkan panas alkohol mengalir di tenggorokan. Tapi rasa itu tak menenangkan, hanya memperjelas suara yang terus menggaung di benaknya:
"Jika Anda dan Nona Laras memiliki keturunan, kemungkinan besar anak yang lahir akan mengidap penyakit genetik... kemungkinannya tinggi, bukan sekadar dugaan kecil."
Kata-kata dokter itu menusuk harga dirinya. Laras. Wanita yang ia miliki seutuhnya tapi tak bisa memberinya warisan—keturunan, masa depan, nama. Cinta? Mungkin. Tapi cinta tak cukup. Ia menginginkan lebih.
Edward menghela napas, menenggak minumannya. Tapi belum sempat ia menuang lagi, suara licin menyapanya.
"Aku tahu wajah haus kekuasaan saat melihatnya," ucap Sherin, duduk tanpa diundang. Gaun hitam ketat membalut tubuhnya, senyumnya tajam seperti pisau yang diselipkan di balik kemewahan.
Edward melirik malas. “Sherin. Apa lagi sekarang?”
"Aku cuma ingin bicara." Ia mengangkat gelas, menyeringai. “Tentang masa depanmu yang... seharusnya tak melibatkan Laras.”
Edward menajamkan tatapan. “Apa maksudmu?”
“Kau pria sehat, kaya, dominan. Tapi sayangnya, istrimu bahkan tak bisa memberimu satu hal terpenting—keturunan. Bukankah itu menyedihkan?"
Edward menyeringai kecut. "Kau datang ke sini menawarkan rahimmu? Sorry, aku nggak minat."
Sherin tertawa pelan. "Seburuk itukah aku di matamu? Aku hanya—memberi solusi."
Ia berdiri, perlahan melangkah mendekat. Tangannya lihai menuang whiskey, dan di tengah gerakan lembut itu, sebuah butir kecil jatuh dari jarinya ke dalam gelas Edward—tanpa suara, tanpa jejak. Ia mengaduknya dengan jari sebelum menyodorkannya.
“Minumlah,” bisiknya di telinga Edward. “Untuk keputusan terbaik dalam hidupmu: menikah lagi.”
Edward mengambil gelas, menatapnya tajam, lalu menenggak setengah isinya.
"Aku akan menikah lagi, ya. Tapi tidak dengan sembarang wanita. Dia harus lebih dari Laras. Lebih muda, lebih bersih... dan bisa dikendalikan."
Beberapa menit berlalu. Pandangannya mulai kabur. Kepala ringan, suara bising klub mendadak terdengar seperti gema jauh.
“Kau… kau taruh sesuatu di minuman ini,” gumamnya curiga.
Sherin menyentuh dadanya lembut. "Hanya sedikit pelunak suasana. Tak cukup membuatmu lupa... hanya cukup agar kau jujur pada dirimu sendiri."
Edward mencoba bangkit, tapi tubuhnya limbung. Napas berat, kesadarannya mengambang.
“Sialan kau…” desisnya pelan.
Sherin membantunya duduk kembali. "Kau masih sadar, Edward. Dan itu cukup."
***
Kamar hotel. Lampu temaram membentuk bayang-bayang di dinding. Edward terbaring, matanya terbuka tapi lemah. Tubuhnya tak sepenuhnya merespons, tapi ia tahu apa yang sedang terjadi.
Sherin menyentuh pipinya, menatap wajah itu seperti piala yang akhirnya ia rebut.
"Aku akan buat kau mengingat malam ini," bisiknya, bibir nyaris menyentuh. "Kau akan bertanggung jawab. Kau akan tunduk."
Pagi menjelang.
Seprai kusut. Edward duduk di tepi ranjang, wajahnya masam, tubuh pegal. Sherin masih berbaring santai, kemeja Edward membalut tubuhnya, menutupi hanya sebagian.
"Jadi sekarang kau puas?" tanya Edward dingin, mengenakan kembali bajunya.
Sherin bangkit perlahan, matanya menusuk tajam. “Kau merenggut kesucianku, Edward. Kau harus bertanggung jawab.”
Edward menoleh, tertawa pendek. “Kesucianmu? Jangan main drama. Kau tahu apa yang kau lakukan. Kau jebak aku.”
“Aku tidak!” bentak Sherin. “Kau pria dewasa. Kau bisa menolak.”
“Kau taruh obat di minuman. Itu pemerkosaan yang terselubung.”
“Kalau aku hamil, apa kau masih bisa bicara setegas itu?” tantang Sherin.
Edward menatap tajam. "Kalau kau hamil, pastikan anak itu tak pernah muncul di hadapanku. Atau aku akan pastikan ambisimu hancur.”
Sherin tertawa pahit. "Kau pikir kau masih menguasai permainan ini? Kau salah besar. Aku punya cukup untuk menjatuhkanmu."
Edward mendekat, wajahnya nyaris menyentuh wajah Sherin. “Coba saja. Tapi pastikan kau siap dengan konsekuensinya.”
Ia melangkah keluar, meninggalkan Sherin dengan senyum menggantung di bibirnya.
Sherin mengepal tangan, napasnya memburu.
“Tunggu saja, Edward... Aku akan membuatmu tunduk. Seperti kau membuat Laras tak berdaya.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka