Seorang perempuan bernama Zainab Rahayu Fadillah memutuskan menikah dengan seorang pria bernama Hasan Bahri. Dia menerima pinangan itu, dikarenakan keluarga sang suami adalah keluarga dari turunan turunan seorang tuan guru di sebuah kota.
Zainab dan keluarga, jika mereka adalah dari keturunan baik, maka sikapnya juga akan baik. Namun kenyataannya bertolak belakang. Dunia telah menghukum Zainab dalam sebuah pernikahan yang penuh neraka.
Tidak seperti yang mereka pikirkan, justru suami selalu membuat huru hara. Mereka hampir setiap hari bertengkar. Zainab selalu dipandang rendah oleh keluarga suami. Suami tidak mau bekerja, kerjanya makan tidur dirumah. Namun penderitaan itu belum selesai, adik ipar dan juga ponakannya juga sering numpang makan di rumah mereka, tanpa mau membantu dari segi uang dan tenaga. Zainab harus berjuang sendiri mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miftahur Rahmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta anak pertama perempuan
Permasalahan pertengkaran Hasan dan Zainab itu dipicu oleh Hasan melihat Pak Rino memberi ikan asin pada Zainab dan Zainab tersenyum padanya, dan dibalas senyum juga oleh Pak Rino.
“Kau memang suka kan diberi ikan asin sama Rino itu... Apa kau tidak malu menerima bantuan dari orang lain hah?” bentak Hasan memegang parang panjang.
Ia baru saja menebas rumput disamping rumah. Lebih tepatnya, hanya dua kali saja ia menebas rumput itu. Karena malas, ia berhenti dan lebih suka menjadi perkara pada sang istri. Karena dengan begitu, ia bisa malas-malasan tiduran seharian, tanpa mau mendengarkan ocehan sang istri.
Zainab menghela napas panjang. Hasan selalu saja mencari-cari masalah untuk bisa mencacinya.
“Ia hanya memberikan ikan asin. Apa salahnya, jika orang berbuat baik?” jawab Zainab dengan dingin.
“Halah, kau hanya mencari kesempatan untuk berdekatan dengannya kan?” tanya Hasan dengan sinis.
“Apa maksudmu? Saya hanya menerima apa yang ia berikan. Apa itu salah? Kamu yang salah telah membiarkan orang lain memberi bantuan pada istrimu. Jika kau bekerja dan bisa mencari uang, tentu saja aku tidak akan menerima ikan asin ini...” jawab Zainab dengan suara agak meninggi.
“Kau harusnya berkaca Hasan, kau yang menyebabkan orang-orang berbelas kasihan padaku. Kita miskin, dan itu penyebabnya karena kau...”
Wajah Hasan nampak memerah. Ia nampak emosi.
“Dasar manusia tidak tahu diuntung, manusia tidak berpendidikan... Kau bahkan tidak punya sopan santun pada suamimu sendiri...” teriak Hasan marah.
“Makanya bekerja, dan jadilah kepala rumah tangga yang bertanggungjawab. Jangan hanya di KK doang kamu kepala rumah tangga, nyatanya hanya tukang ngibul dan tukang tidur...”
Pertengkaran itu pun semakin memanas. Keduanya beradu mulut. Tidak ada yang mau mengalah. Zainab melewati Hasan dengan mulutnya masih saja mengomel. Hasan mendorong tubuh Zainab.
“Mau kemana kau hah. Suami bicara itu didengar, dasar istri durhaka...” teriaknya.
Zainab mengambil sebuah kapak. Bersamaan dengan itu, Fatur dan Mel datang dan mendapati kedua orang tuanya bertengkar.
Fatur berteriak saat Zainab mengambil kapak. Sedangkan Mel menarik sang ayah, agar tidak menyerang ibunya.
Namun kekuatannya tidak bisa menghalangi sang ayah. Ia terjatuh saat sang ayah, melepaskan tangan Mel dengan kasar.
“Mau apa kau hah? Mau membunuh aku hah? Mau cari mati kau?” teriak Hasan mendekati Zainab.
Namun ia tidak menyerang Zainab dengan parangnya. Hanya menunjukkan ia tidak takut dengan Zainab.
Sedangkan Fatur, tepat didepan pintu ia berteriak memanggil kakak kedua sang ayah.
“Makyung.... Makyung... Makyung, tolong...” teriak Fatur sambil terisak.
Matanya juga tidak lepas dari sang ibu yang memegang kapak.
Namun yang dipanggil tidak datang. Ia terus berteriak, berharap yang ia panggil segera datang.
Mendengar teriakan anaknya, bukannya kedua diam dan berhenti bertengkar, malah semakin menjadi-jadi.
Setelah beberapa saat, barulah beberapa tetangga datang melerai keduanya. Itu pun keduanya masih beradu mulut. Tidak ada yang mau kalah dari keduanya.
Setelah tidak berhasil menenangkan sang ayah, supaya berhenti tidak memaki ibunya. Akhirnya ia memilih beringsut duduk disudut ruangan. Ia memeluk lututnya. Ia terisak menangis dalam diam. Matanya penuh dengan tatapan ketakutan.
Seharusnya cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya.
Kini malah cinta pertama itu yang menggoreskan luka padanya. Adil kah dunia?
Dimana dunia saat kami sedang bersedih?
Dimana dunia saat kami butuh bantuan?
Adakah yang masih memiliki nurani pada kami?
Dunia terlalu sibuk untuk mendengarkan penderitaan kami.
Terlalu ramai, untuk mendengarkan suara tangisan kami...
Dunia hanya melihat kami saat tersenyum, tapi tidak disaat kami menangis.
Tidak, tidak...
Sekali lagi, tidak...
Tidak untuk kami...
Tidak untuk orang miskin seperti kami...
Fatur beringsut memeluk sang adik, sambil matanya tidak lepas dari ibunya yang terus saja berdebat dengan ayahnya. Mungkin malam, ini adalah malam yang panjang, untuk segera tidur. Karena akan banyak cerita dan makian yang akan menghiasi malam ini hingga pagi tiba.
“Apakah semua orang tua seperti ini? Kenapa terus berdebat, bahkan hendak saling membunuh hanya karena ingin mempertahankan pendapat masing-masing...”
“Kami tidak minta harta, tapi hanya ketenangan walaupun hanya sedetik saja...”
Ya, nyatanya terkadang ketenangan itu datang hanya per detik saja. Selebihnya, harus siapkan gendang telinga tebal-tebal untuk mendengarkan perdebatan tidak ada akhir, dan berakhir pada makian.
Seindah itu duniaku...
Tidak ada yang lebih indah lagi dari itu...
“Sudahlah Hasan... Sadar kau... Yang kau mau bunuh itu istrimu, dan anak-anakmu melihat ini semua. Apa kalian tidak memikirkan perasaannya?” tanya Pak Musa.
Hasan menoleh sebentar kearah Pak Musa. Matanya memerah, namun ia diam. Parangnya seketika terjatuh dengan sendirinya kelantai.
Suara itu terdengar nyaring, membuat para orang-orang yang datang terdiam.
Sedangkan Zainab amarahnya mulai reda. Ia mencampakkan kapak itu sembarangan, ia menatap Hasan tajam dan penuh kebencian.
Ia menyesal, telah memilih Hasan menjadi suaminya.
“Sudah, cukup. Malu dilihat orang...” bisik Bu Murni kepada Zainab.
Zainab hanya diam. Hasan duduk dilantai. Mata Zainab mengikuti pergerakan Hasan dengan tajam.
Hasan benci dimarahi oleh orang lain, apalagi seseorang itu menyudutkannya. Mungkin saja ia juga benci pada dirinya sendiri, karena sudah menjadi pria yang lemah dan tidak bertanggungjawab. Tapi, apakah pernah ia ucapkan? Atau berubah karena penyesalan? tidak.
Seumur hidup, perilakunya tidak pernah berubah, malah semakin menjadi-jadi. Bahkan tidak ada penyesalan, kata maaf yang keluar dari mulutnya, setelah apa yang telah ia perbuat.
Ia hanya berpikir, apa yang ia perbuat adalah benar. Ia tidak pernah salah. Ia tahu semuanya, bahkan orang belum tahu, ia sudah lebih dulu mengetahuinya.
Mereka tidak tahu, kejadian ini adalah awal dari salah satu luka, yang akan tumbuh menjadi trauma dan kebencian, yang semakin dalam.
Menjadi dendam yang terbungkus rapi dalam diam di jiwa anak-anak itu...
Mereka hanya tahu ego...
Mereka hanya tahu, mempertahankan pendapat mereka tanpa mau mengalah, dan memikirkan mental si anak untuk kedepannya.
Toh, mereka juga salah satu korban dari ketidakadilan orang tua mereka masing-masing.
Hasan Bahri, juga memiliki seorang ayah sama persis kelakuan sepertinya.
Seorang pemalas, suka bikin onar. Dirumah itu yang bekerja mencari uang adalah wanita, sesekali Hasan juga bekerja, namun semua uangnya habis membayar hutang ayahnya dikedai.
Mereka hanya bekerja, tanpa bisa mengambil upah. Karena upah mereka dipotong atau diminta oleh sang ayah, untuk membayar hutang-hutangnya di kedai.
Bahkan dulu, mereka sekeluarga pernah makan rebus pisang, disaat semua orang makan nasi.
Jadi, mungkin saja apa yang dilakukan Hasan sekarang pada istri dan anak-anaknya adalah ajang balas dendam, dari apa yang ia alami dulu.
Boleh, berdendam...
Tapi jangan pada orang lain lah...
Minimal, balas dendammu itu kepada ayahmu sendiri...
Kecuali dirimu pengecut, yang hanya bisa merusak mental istri dan anak-anaknya.
Bahkan berpuluh tahun lama, tidak ada terucap penyesalan dari bibirnya.
Lalu, bagaimana kami bisa memastikan kamu berubah wahai ayah, jika dari mulutmu tidak terucap kata maaf atau penyesalan, atau tindakanmu diubah.
Siapa yang bisa menduga dirimu akan menyesali apa yang terjadi, kita kamu tidak ucapkan...
Gimana?
Ayo, katakan! Jika tanpa diucapkan saja, seseorang bisa menyesali perbuatannya, dan alangkah baiknya, diiringi perubahan diri kan.
...****************...
Jangan lupa subscribe, like, komen, beri hadiah, dan vote bintang 5 ya teman-teman😘 sebelumnya, terimakasih udah mampir.
salam kenal ya, jgn lupa mampir di 'aku akan mencintaimu suamiku' 🤗🤗
aku akan datang kalo udh UP lagi 😉
jangan lupa untuk mampir juga yaaa makasihhh