INFO PENTING!!!
Novel ini punya dua cerita yang berbeda...
Sekuel Pertama (Bab 1-Bab 83)
Berkisah tentang Velicia Arista yang di vonis mengidap kanker serviks stadium III. Dokter mengatakan usianya hanya tinggal 90 hari. Mengetahui hal itu, membuat Velicia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan mendapatkan cinta dari suaminya. Karena selama 3 tahun pernikahan, suaminya malah mencintai wanita lain.
Sekuel Kedua (Bab 86-dst/ on going)
Berkisah tentang puteri adopsi Velicia, Claudia Arista Setyawan, yang terpaksa menikah dengan seorang pria yang sama sekali tak pernah dilihatnya, Adam Wijaya.
Selama 2 tahun keduanya hidup terpisah dan sama sekali tidak pernah mengenal wajah masing-masing. Saat Adam kembali, Claudia ingin bercerai. Adam pun memberikan syarat dalam 90 hari kedepan, Claudia harus bisa membuktikan kepada Adam bahwa ia akan berhasil dalam perkuliahannya. Maka dengan itu, Adam akan setuju untuk bercerai.
"90 Hari Mengejar Cinta Suamiku"
Follow IG: La-Rayya ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon La-Rayya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbedaan Arnold (Bab 10)
Aku benar-benar tak menyangka bahwa orang yang selama ini aku cintai dan selalu dalam ingatanku, tiba-tiba muncul di depan mataku.
Nafasku terasa tercekat, hingga aku sampai harus bernafas dengan hati-hati.
Dengan tangan yang bergetar aku kembali berusaha mengatur nafasku agar stabil kembali.
"Kau tinggal dimana gadis kecil?"
Lagi-lagi, suara baritonnya membuatku semakin merasa bahwa yang terjadi dihadapanku saat ini hanyalah sebuah mimpi.
Aku berdiri mematung, dan membuat dirinya menatap manik mataku semakin dalam.
"Villa keluarga Arista”. Jawabku sambil memalingkan muka.
"Ayo aku antar pulang." Ucapnya yang lagi-lagi membuatku tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi padaku saat ini.
Dia menarik tanganku dan dengan perlahan menuntunku untuk menuju mobilnya.
Aku sama sekali tidak menolak, kubiarkan semuanya berjalan begitu saja.
Hingga kami berdua berada dalam satu mobil, barulah aku menyadari bahwa aku sudah pergi meninggalkan Merry di konser musik tanpa berpamitan padanya lebih dulu.
'Ah Merry, kau pasti akan mengerti dengan apa yang aku lakukan saat ini.' ucapku dalam hati.
Sepanjang perjalanan ke rumah kami hanya terdiam. Tak ada ucapan apapun. Sepertinya kami berdua sama-sama tidak tahu harus berkata apa untuk membuka obrolan kami.
Setelah tiga puluh menit, akhirnya kami tiba di rumahku.
Dia dengan sopan dan romantis membukakan pintu mobilnya untukku.
Aku ingin sekali menghabiskan waktu lebih lama dengan dirinya. Hingga aku memberanikan diri untuk menawarinya untuk mampir.
"Apa kau mampir dulu? Kita bisa minum kopi atau teh bersama?" Ucapku tanpa memikirkan urat maluku lagi.
Namun, dari tatapan matanya aku sudah bisa membacanya bahwa dia menolak ajakan ku.
"Maaf gadis kecil, aku tidak bisa. Lain kali saja ya. Ini sudah larut, aku tidak mau nantinya orang akan salah paham. Aku pamit ya. Sampai ketemu lagi." Dia tersenyum lalu masuk ke dalam mobilnya.
Ia melambaikan tangannya kemudian melajukan mobilnya pergi meninggalkan halaman rumahku.
Aku merasa bahagia sekaligus bersedih dalam satu waktu. Sejujurnya aku merasa heran, kenapa Arnold yang dulu berbeda dengan Arnold yang sekarang? Aku tak tau kenapa pria yang selama ini ada dalam hatiku berbeda dengan pria yang menikahi ku.
Wajah mereka memang sama, namun mereka memiliki sifat yang berbeda. Arnold yang pertama kali aku kenal adalah pria yang lembut dan selalu bersikap baik padaku. Tapi kenapa dia kini berubah menjadi begitu dingin?
Apa ada yang salah dengannya? Atau aku yang salah mengenali orang?
Tapi, aku selalu mencintai Arnold-ku yang dulu dan tetap seperti itu sampai sekarang, meski ia memang sudah berubah.
Aku tahu Arnold mungkin memiliki perasaan yang sama denganku, hingga ia mau mengantarku pulang ke rumah. Tapi karena dia akan segera menikah sekarang, jadi wajar saja kalau dia menolak untuk singgah di rumahku.
Sudahlah, kepalaku jadi semakin pusing memikirkan semuanya. Lebih baik aku tidur saja, dan berharap hari esok akan lebih baik lagi.
*******
Pagi pun datang...
Kicauan burung yang bertengger di pohon cemara di depan rumah semakin menyemarakkan suasana pagi ini.
Aku terbangun dengan perasaan yang bahagia. Apa karena semalam Arnold sesaat berubah menjadi Arnold yang aku kenal dulu?
Aku kemudian bergegas mandi dan bersiap untuk memulai hariku. Berharap bisa bertemu dengan Arnold dengan sikapnya yang sama dengan semalam.
Ku lihat pantulan diriku di cermin besar yang ada di kamar. Tersenyum karena memiliki paras yang cantik. Bahkan bisa ku katakan, aku ini lebih cantik dari si Viona, wanita pujaan suamiku itu.
Suara panggilan telepon masuk di ponselku dan menampilkan nama Merry di layarnya. Segera ku geser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan itu.
'Ada hal apa hingga membuat sahabatku itu sampai meneleponku sepagi ini?' pikirku.
"Halo Velicia, ada satu hal penting yang ingin aku ceritakan padamu." Ucap Merry bersemangat.
"Katakanlah. Sepertinya ini kabar baik, karena dari suaramu, kau terdengar begitu bersemangat." Timpal ku.
"Apa kau tahu, akhirnya aku telah menemukan Hansen Wijaya." Teriak Merry di seberang telepon.
'Hansen Wijaya! Bukannya dia sudah meninggal?' pikirku.
Hansen Wijaya adalah pria yang disukai Merry sejak dulu, Merry selalu merasa kalau pria ini belum meninggal. Aku ingat, saat kecelakaan itu terjadi, Merry yang sudah tidak bisa aku tenangkan saat itu, pergi ke tempat kecelakaan yang menimpa Hansen.
Merry sudah seperti orang gila mencari di puing-puing kendaraan yang hancur mencari dan berteriak memanggil nama Hansen. Namun, Merry tidak dapat menemukan jenazah Hansen di manapun, jadi dia selalu merasa kalau Hansen belum meninggal.
Merry sudah mencari Hansen selama hampir 8 tahun. Dan kini ia memberiku kabar bahwa ia sudah menemukan Hansen! Sungguh, kabar yang tak ku sangka.
"Apa kau yakin itu adalah Hansen yang sama?" Aku mencoba bertanya padanya. Siapa tahu Merry hanya saah orang.
"Aku tidak akan pernah salah dalam mengenali Hansen. Dan akhirnya setelah sekian lama mencarinya. Aku bisa menemukannya sekarang." Lagi-lagi suara Merry terdengar sangat bersemangat. "Hansen berada di rumah neneknya di desa, tapi....." Merry menjeda pembicaraannya. Kemudian dengan nada yang bergetar ia mengatakan, "Hansen kini menjadi orang cacat karena kecelakaan itu Veli."
Aku dapat merasakan bahwa Merry tengah terguncang. Dan, aku berusaha untuk menenangkan dirinya.
"Mer, akan lebih baik jika kau bisa untuk menenangkan dirimu terlebih dahulu sebelum pergi menemuinya." Ucapku.
Sekarang Hansen adalah orang cacat, aku hanya takut bahwa nantinya Merry akan sulit untuk melewati masalah psikologinya.
Setelah menutup telepon, aku kembali teringat dengan Arnold yang bersikap terlalu lembut padaku semalam.
Aku jadi lapar, sepertinya aku harus memasak makanan untuk diriku sendiri.
Belum selesai aku memasak, ponselku kembali berdering dan aku menerima panggilan telepon itu karena berasal dari Tuan Besar Setyawan yang memintaku untuk bertemu.
Setelah mengatakan 'iya', aku kembali menyelesaikan masakan ku perlahan-lahan, dan setelah selesai sarapan kemudian pergi ke kediaman Setyawan.
Tiba di kediaman Setyawan, mataku langsung tertuju pada Arnold yang sama sekali berbeda dengan yang aku temui tadi malam, tampangnya masih saja sangat dingin. Huh dasar!
Tuan Besar Setyawan meminta kami untuk duduk berdampingan.
"Dengarkan Papa. Papa ingin kalian berdua untuk berbaikan. Papa tidak akan mengizinkan Viona melangkahkan kaki ke dalam rumah ini apapun alasannya." Ucap Tuan Besar Setyawan penuh penekanan.
"Terserah Papa setuju atau tidak dengan keputusanku. Tapi, aku dan Velicia memang sudah sepakat untuk bercerai. Dan, secepatnya aku akan menikahi Viona dengan atau tanpa restu dari Papa." Ucap Arnold dengan begitu tegas.
Sudahlah, tidak apa-apa. Aku sudah pasrah dan tidak akan mencegah Arnold untuk melakukan apapun yang akan membuatnya bahagia.
"Pa, jika Papa hanya mengundangku kemari untuk membahas masalah ini. Jawabanku tetap sama, aku sudah tidak perduli lagi. Aku sudah merelakan Arnold untuk wanita yang memang sangat bisa membuatnya bahagia."
Setelah mengatakan hal itu, aku langsung berjalan keluar dari kediaman Setyawan. Mobilku pun berjalan perlahan meninggalkan parkiran, tiba-tiba aku dicegat oleh Arnold. Dia sedang merokok dengan santai, dan berkata ingin berbicara denganku.
Aku kembali teringat akan kejadian semalam saat berdua di dalam mobil bersamanya. Aku lalu bertanya apa yang ingin dia bicarakan denganku.
Namun Arnold hanya bertanya, “Kamu pengen banget pacaran?”
Bersambung....
kasian suami ya punya istri kayak kamu
apakah suamimu boking kamar dengan sahabat wanitanya, pangkuan, curhat, dan pelukan kau anggap hal normal juga
miris pola pikir yang tidak bermoral sampai hal menjijikan kayak gini kau benarkan
jiiik
persahabatan endra dan claudia
pesan kamar hotel, berduaan dikamar, curhat berduaan, duduk dipangkuan, peluk dari belakang, tidur berduaan di atas ranjang, kau anggap ini persahabatan yang normal, kau sehat kan thor
coba kau bayang suami baca novel ini, dia berarti boleh donk bersikap kayak endra, punya teman wanita, curhat curhatan, boking hotel, pangkuan, pelukan
miris sifat munafik wanita di bawa kedalam novel, suami perhatikan ponakan wanita saja udah salah, tapi dia sebagai istri kayak wanita murahan, dianggap hal biasa
miris kemunafikan yang tidak bermoral, menjijikan