Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: Petunjuk Terlarang
Risa merasakan darahnya mendidih. Amarah yang dingin dan tajam menusuknya, melampaui rasa takut yang biasa ia rasakan. Bibi Lastri masih berdiri di dekat jendela, memunggungi Risa, bahunya tegang seolah memikul beban berat—atau mungkin, menyimpan rahasia busuk. Bayangan wanita itu tampak memanjang dan menari-nari di dinding usang di bawah cahaya lampu yang berkelap-kelip. Risa mengamati punggung Bibi Lastri, mencoba mencari celah, retakan pada topeng keramahan yang sempurna itu. Tapi tidak ada. Hanya ketegangan yang membeku di udara, sepekat malam.
"Risa, Bibi akan keluar sebentar. Ada urusan mendadak," suara Bibi Lastri memecah keheningan. Nadanya datar, terlalu datar. "Kamu jaga rumah ya. Kalau Kevin sadar, minta dia istirahat. Bibi sudah siapkan makanan di meja."
Tanpa menunggu jawaban, Bibi Lastri berbalik. Senyumnya sudah kembali, tapi kali ini terasa seperti sayatan tipis di bibir Risa. Wanita itu melangkah keluar dari ruang tamu, langkahnya cepat dan tergesa-gesa. Pintu utama menutup dengan suara pelan, namun dentumannya terasa memekakkan di telinga Risa.
Kepergian Bibi Lastri justru membuat ketegangan di ruangan itu menguap, digantikan oleh kelegaan yang hampa. Risa membuang napas panjang yang entah berapa lama ia tahan. Jantungnya masih berdegup kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar. Ia menatap kotak kayu di tangannya, lalu beralih ke Kevin yang masih terbaring tak sadarkan diri di sofa. Wajah Kevin pucat, tapi napasnya teratur. Syukurlah.
Risa bangkit, kotak itu ia dekap erat-erat. Kakinya melangkah hati-hati menuju kamar Kevin di lantai bawah, beruntung Bibi Lastri menempatkan kamar Kevin di sini, tak jauh dari ruang tamu. Perlahan, ia membuka pintu kamar Kevin. Suasana di dalamnya sama seperti kamar tamu kebanyakan, bersih dan teratur. Risa meletakkan kotak itu di nakas samping tempat tidur Kevin, di tempat yang aman dan mudah dijangkau jika ia butuh bantuan. Ia tidak bisa membuka kotak ini di dekat Bibi Lastri, dan sekarang adalah kesempatan terbaik.
Setelah memastikan Kevin aman, Risa kembali ke kamarnya di lantai atas. Setiap langkah menaiki tangga terasa berat, seolah ia membawa beban tak kasat mata di punggungnya. Bau apak dan lembap di rumah tua itu semakin menyengat, bercampur dengan aroma melati yang samar—aroma yang selalu muncul saat kehadiran tak kasat mata itu begitu dekat.
Di dalam kamarnya, Risa mengunci pintu. Jantungnya berdebar tidak karuan. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ini bukan lagi tentang rasa ingin tahu semata. Ini tentang kebenaran ibunya. Kebenaran yang selama ini terkubur dalam-dalam, tersembunyi di balik dinding-dinding usang rumah ini, dan di balik senyum palsu Bibi Lastri.
Risa duduk di tepi ranjang. Tangannya terulur meraih liontin kunci kecil yang selalu ia kenakan. Kunci itu dingin di ujung jarinya. Sebuah firasat melintas di benaknya, menggigit, mengganggu. Mungkinkah?
Dengan tangan gemetar, Risa mengambil kotak kayu berukir itu dari dalam tasnya. Ia meraba permukaannya yang halus, mengikuti lekukan ukiran bunga yang rumit. Kotak itu tidak memiliki engsel, tidak ada kait. Ia memutar-mutar kotak itu di tangannya, mencari celah, tombol rahasia, apa pun yang bisa membukanya. Kosong.
Keringat dingin membasahi pelipis Risa. Ia merasa putus asa. Apakah kotak ini hanya kotak biasa? Atau ada trik tersembunyi yang tidak ia ketahui?
Tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah lubang kecil di bagian atas kotak, tersembunyi di antara ukiran-ukiran. Lubang itu sangat kecil, hampir tidak terlihat. Jantung Risa berdegup kencang. Ia mengeluarkan liontin kuncinya, memegangnya sejajar dengan lubang itu.
Ini dia. Kunci ini.
Dengan napas tertahan, Risa memasukkan liontin kunci itu ke dalam lubang. Kunci itu pas, seolah memang dirancang untuk itu. Ia memutar liontin itu perlahan, searah jarum jam.
*Klik!*
Sebuah bunyi pelan terdengar. Tutup kotak itu terangkat sedikit, memperlihatkan celah sempit. Risa menarik napas tajam. Ia menyingkirkan liontinnya, lalu membuka kotak itu sepenuhnya.
Isinya... tidak seperti yang ia bayangkan. Tidak ada perhiasan berkilau, tidak ada uang, tidak ada surat-surat penting yang jelas-jelas berupa warisan. Yang ada hanyalah sebuah bundel kertas yang sudah menguning, diikat dengan pita sutra yang sudah usang. Di atas bundel itu, tergeletak sebuah kalung.
Kalung perak tua dengan liontin berbentuk bulan sabit yang dihiasi ukiran bintang-bintang kecil. Risa mengenal kalung itu. Kalung ibunya. Kalung yang selalu dipakai ibunya, bahkan di foto terakhir mereka bersama.
Air mata Risa menetes. Sentuhan kalung itu terasa dingin, namun menyimpan kehangatan memori. Ia mengambil kalung itu, memegangnya erat di telapak tangan. Lalu, ia meraih bundel kertas tersebut.
Ikatan pita sutra itu rapuh, mudah dilepaskan. Risa membuka gulungan kertas yang sudah lusuh. Itu bukan surat, bukan dokumen resmi. Itu adalah sebuah buku harian.
Buku harian ibunya.
Tulisan tangan ibunya yang rapi memenuhi setiap halaman yang menguning. Risa membalik halaman pertama dengan hati-hati. Tanggalnya sudah lama, jauh sebelum ia lahir. Namun, kalimat pertama yang ia baca membuat seluruh tubuhnya menegang.
"*15 Mei 1999. Aku takut. Ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini. Kakak iparku, Danu, terus-menerus mencoba memaksaku untuk menandatangani surat-surat warisan itu. Aku tahu dia dan Lastri menginginkan rumah ini, tapi ini adalah rumah ibuku, warisan yang harusnya aku jaga untuk anak-anakku kelak.*"
Rasa dingin menusuk tulang Risa. Danu. Nama ayahnya. Kakak iparnya. Berarti ayah Risa adalah kakak dari ibu Risa? Tunggu, bukan. Kakak ipar itu adalah suami dari saudarinya. Lastri, adik tiri mendiang ibunya. Danu, ayah Risa. Berarti Bibi Lastri adalah adik tiri ibunya, dan ayah Risa adalah suaminya. Kenapa ayah Risa yang disebut kakak ipar? Risa bingung. Ini rumit, atau ada yang salah.
Ia membaca lagi, kali ini lebih lambat. Ya, benar. Kakak ipar. Berarti, ibu Risa menulis itu tentang suaminya, ayah Risa. Dan ia dan Lastri menginginkan rumah ini.
Pikiran Risa berputar liar. Ayahnya? Ayahnya terlibat? Tidak mungkin. Ayahnya sangat mencintai ibunya.
Namun, kalimat berikutnya menghantamnya seperti palu godam.
"*Lastri semakin aneh. Dia sering mondar-mandir di loteng, dan aku kadang mendengar bisikan-bisikan aneh dari kamarnya. Dia seperti punya rencana licik di balik senyum manisnya. Aku harus hati-hati. Aku merasa nyawaku terancam.*"
Napas Risa tercekat. Seluruh ruangan terasa berputar. Bibi Lastri. Loteng. Rencana licik. Nyawa terancam. Ini... ini bukan hanya tentang warisan. Ini adalah pengakuan, peringatan dari masa lalu yang tak pernah ia dengar.
Ia membalik halaman-halaman berikutnya dengan jari gemetar, membaca secara acak, ingin menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan semuanya.
"*20 Juni 1999. Aku menemukan sesuatu yang mengerikan di loteng. Sebuah ritual. Mantra-mantra aneh dan darah binatang. Aku yakin Lastri terlibat dalam praktik ilmu hitam. Dia ingin rumah ini dan kekuatannya. Dia ingin... mengorbankan aku.*"
Buku harian itu jatuh dari tangan Risa. Ia menutup mulutnya, menahan jeritan yang ingin lolos dari tenggorokannya. Ritual? Ilmu hitam? Pengorbanan?
Pertanyaan-pertanyaan membanjiri benaknya. Apakah kematian ibunya bukan kecelakaan? Apakah Bibi Lastri yang melakukannya? Dan ayahnya... apakah ayahnya tahu? Apakah ayahnya terlibat dalam 'menginginkan rumah ini' seperti yang ditulis ibunya?
Pandangan Risa jatuh pada kalung bulan sabit ibunya yang masih ia genggam. Sebuah kehangatan tiba-tiba menjalar dari liontin itu, seolah energi tak kasat mata menyentuh kulitnya. Dan kemudian, sebuah bisikan lirih, seolah angin berdesir di telinganya.
*Hati-hati, Nak... dia kembali... dia mengincarmu...*
Suara itu lembut, namun menusuk, seperti suara ibunya yang samar dalam ingatannya. Bulu kuduk Risa meremang. Ia menatap ke sekeliling kamar, tidak ada siapa pun. Tapi ia tahu, ia tidak sendirian. Arwah ibunya. Dia ada di sini.
Risa memejamkan mata, membiarkan air mata membasahi pipinya. Ibunya berusaha memperingatkannya. Selama ini, ingatan kabur dan mimpi buruk itu, bisikan-bisikan aneh... itu semua adalah pesan.
Ia membuka kembali buku harian itu, membaca halaman terakhir yang ditulis ibunya.
"*10 Juli 1999. Hari ini adalah ulang tahun Risa yang pertama. Aku sangat mencintaimu, Nak. Tapi aku tahu, waktuku tidak banyak. Lastri sudah berhasil mendekati Danu. Dia meracuni pikirannya. Aku harus menyembunyikan ini. Jika terjadi sesuatu padaku, cari liontin kunciku. Kunci itu akan membukakan jalan menuju kebenaran. Jangan pernah percaya siapa pun. Terutama Lastri. Selamatkan dirimu, Risa. Lindungi warisan ini. Lindungi rumah ini dari kegelapan...*".
Kalimat itu terputus. Tulisan itu berakhir di sana, dengan bercak noda samar yang entah itu tinta atau... darah.
Risa terisak. Semua yang selama ini ia rasakan, semua firasat buruk, semua keanehan di rumah ini, kini memiliki jawaban. Ibu tidak meninggal karena kecelakaan. Ibu dibunuh. Dan pembunuhnya... adalah Bibi Lastri, dengan kemungkinan keterlibatan ayahnya yang telah diracuni pikirannya.
Ia memeluk buku harian dan kalung ibunya erat-erat ke dadanya. Rasa takutnya kini berubah menjadi tekad yang membara. Ia harus mencari tahu lebih banyak. Ia harus membongkar semua rahasia ini. Demi ibunya. Demi dirinya.
Ketukan pelan di pintu kamarnya membuat Risa tersentak. Jantungnya melompat. Ia menyeka air matanya dengan cepat, menyembunyikan buku harian dan kalung ibunya di bawah bantal.
"Risa? Kamu sudah tidur?" Suara Kevin terdengar dari luar, serak dan lemah.
Risa menghela napas lega. Kevin sudah sadar. Ia bangkit, membuka pintu, mencoba menyembunyikan jejak air mata dan gejolak emosi di wajahnya.
Kevin berdiri di ambang pintu, bersandar lemas. Wajahnya masih pucat, tapi matanya yang tajam menatap Risa dengan khawatir. "Gue... ketiduran ya? Bibi Lastri mana?"
Risa menggeleng. "Udah keluar sebentar katanya. Lo... udah mendingan?"
Kevin mengangguk pelan. "Udah. Tapi kepala gue masih pusing dikit." Ia melihat tatapan mata Risa yang aneh. "Kenapa? Lo nangis?"
Risa menggeleng cepat. "Enggak, kok. Cuma... kelilipan." Ia mencoba tersenyum, tapi senyumnya terasa kaku.
Kevin tidak percaya. Matanya menyapu sekitar kamar Risa, seolah mencari sesuatu. "Kotak itu... lo udah buka?" tanyanya, suaranya pelan.
Risa menatap Kevin. Di matanya, ia melihat kekhawatiran dan dukungan. Mungkin ia tidak perlu menghadapi ini sendirian. Tidak sepenuhnya.
"Udah," bisik Risa, suaranya bergetar. "Dan isinya... Kevin, ini jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan." Ia menarik Kevin masuk, mengunci pintu, dan meraih buku harian ibunya dari bawah bantal. "Lo harus lihat ini."
Kevin menatap bundelan kertas lusuh itu dengan kening berkerut. "Apa ini?"
"Buku harian Ibu," jawab Risa. "Baca."
Kevin mengambil buku harian itu, tangannya sedikit gemetar. Ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi setiap baris tulisan tangan yang sudah menguning. Setiap kalimat yang ia baca, ekspresinya berubah. Dari bingung, menjadi terkejut, lalu kemarahan yang membara.
Ketika Kevin sampai di halaman terakhir, wajahnya sudah memerah padam. Ia mendongak menatap Risa, matanya berkilat marah. "Jadi... Bibi Lastri... dia membunuh Ibu lo? Dan bokap lo... terlibat?"
Risa mengangguk, air mata kembali membasahi pipinya. "Sepertinya begitu. Ibu menulis tentang ritual, ilmu hitam... pengorbanan."
Kevin membanting buku harian itu ke ranjang. "Brengsek! Dia berani-beraninya! Dan bokap lo... ini gila, Risa. Gila!" Ia mengepalkan tangannya. "Kita harus lapor polisi!"
Risa menggeleng. "Enggak semudah itu, Kevin. Ini sudah lebih dari sepuluh tahun. Lagi pula, ini hanya buku harian. Bisa dianggap karangan. Kita butuh bukti lain." Ia teringat bisikan arwah ibunya. "Dan Ibu juga bilang, ada sesuatu yang disembunyikan di rumah ini. Kekuatan. Katanya, Ibu Lastri menginginkan rumah ini dan kekuatannya."
Kevin menghela napas, mencoba menenangkan diri. Logikanya mulai bekerja. "Lo benar. Kita butuh lebih. Tapi ini sudah jadi titik terang yang besar. Loteng. Kita harus ke loteng, Risa."
Risa menatap Kevin, sedikit ragu. Loteng selalu memberinya firasat buruk.
"Lo enggak sendirian," kata Kevin, seolah membaca pikirannya. Ia meraih tangan Risa, menggenggamnya erat. Tangannya dingin, tapi genggamannya kuat. "Kita hadapi ini sama-sama."
Sesaat, rasa takut Risa sedikit mereda. Kekuatan Kevin, keberadaannya di sisinya, memberinya keberanian. Ia mengangguk. "Oke. Tapi sekarang sudah malam. Mungkin besok pagi?"
Kevin mengangguk setuju. "Oke. Besok pagi. Lebih aman juga. Sekarang lo istirahat. Tapi jangan lengah." Ia menatap buku harian itu lagi. "Ini... sangat berbahaya. Jangan sampai Bibi Lastri tahu kita sudah membukanya."
Risa mengangguk, lalu menunjuk ke kalung ibunya yang masih ia genggam. "Dan ini... Ibu juga bilang, kunci ini akan membukakan jalan menuju kebenaran. Mungkin ada hubungannya dengan kekuatan atau rahasia yang Ibu Lastri incar."
Kevin mengamati liontin bulan sabit itu. "Bulan sabit... dan bintang. Simbol kuno. Mungkin ada hubungannya dengan ritual yang disebut Ibu lo." Ia menghela napas. "Rumah ini menyimpan terlalu banyak rahasia. Kita harus hati-hati."
Tiba-tiba, sebuah suara *krak* yang pelan terdengar dari arah dinding di belakang lemari pakaian Risa. Seolah ada sesuatu yang bergerak. Atau seseorang yang mendengarkan.
Risa dan Kevin langsung terdiam, saling bertukar pandang. Ketegangan kembali menyelimuti mereka.
"Suara apa itu?" bisik Kevin.
Risa menggeleng, tangannya sudah memegang erat liontin kuncinya. Ia tahu suara itu. Bukan suara rumah yang berderit. Itu lebih dekat. Terlalu dekat.
"Risa..." Kevin mulai berdiri, matanya terpaku pada dinding di belakang lemari.
"Jangan bergerak," bisik Risa, matanya memicing. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk, disertai aroma melati yang kini begitu pekat, seolah ada entitas tak kasat mata yang berdiri tepat di antara mereka dan dinding itu. Jantungnya berdebar kencang, tapi kali ini bukan hanya karena takut. Ini adalah peringatan.
*Dia tahu. Dia mengawasi.*
Mereka berdua membeku di tempat, napas tertahan. Suara *krak* itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, seolah sesuatu sedang digeser. Dan kemudian, keheningan total. Sebuah keheningan yang lebih menakutkan daripada suara apa pun.
Siapa yang mengawasi mereka? Apakah Bibi Lastri sudah kembali? Atau... sesuatu yang lain? Sesuatu yang lebih tua, lebih gelap, dan bersembunyi di balik dinding-dinding rumah tua ini, menunggu saat yang tepat untuk menerkam.