Ratih yang tidak terima karena anaknya meningal atas kekerasan kembali menuntut balas pada mereka.
Ia menuntut keadilan pada hukum namun tidak di dengar alhasil ia Kembali menganut ilmu hitam, saat para warga kembali mengolok-olok dirinya. Ditambah kematian Rarasati anaknya.
"Hutang nyawa harus dibayar nyawa.." Teriak Ratih dalam kemarahan itu...
Kisah lanjutan Santet Pitung Dino...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom young, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Ratih kerasukan
Untuk sesaat, tubuh Ratih masih menegang. Bahkan sekarang Ratih malah mengerang seperti macan yang hendak mencengkeram.
Ratih mengumamkan, bahasa sunda yang tidak Sati ketahui. "Ibu, ibu jangan begini ... Ibu ngomong apa, Sati ngak ngerti..." Sati menangis ia masih mengosok telapak tangan ibunya.
"Ibu, ibu sadar bu," Sati membaca doa yang ia bisa. Tatapi ibunya masih belum sadar
Akhirnya jam sebelas malam, ia terpaksa harus berlari meminta bantuan pada Bude Sukma, meskipun perutnya begitu kram karena, ia berlari.
"Bude, Bude tolong bude." Berkali-kali Sati mengetuk pintu rumah Bude Sukma, dengan keras.
Usaha tidak menghianati hasil, Bude Sukma, membukakan pintu untuk Sati. "Ada-apa, Nduk, malam-malam begini kamu datang kemari? kamu kenapa?" Bude Sukma, tampak khawatir melihat Sati meringis memegangi perutnya.
"Ibu, Bude, ibu kerasukan." Sati langsung menarik tangan Bude Sukma, membawanya kerumah.
Karena dirumah Sati meningalkan ibunya dalam kondisi tangan dan kaki yang sengaja ia ikat, sebelum Sati tingalkan tadi tubuh Ratih sempat mengeliat bahkan dengan lenturnya kayang seperti pemain akrobat.
Sesampainya tiba dirumah, Sati berjalan membuntut di balik tubuh budenya, cahaya damar diruang utama berkedip-kedip, seolah yang tak kasat mata menyambut kedatangan Sati dan Sukma.
"Ratih... Ratih..." Pangil Bude Sukma pelan, senter ditanganya sampai goyah.
Cahaya damar meredup tertiup hempasan angin, yang memasuki celah rumah berbahan dasar bambu.
"Bude, ibu ada dikamar," ucap Sati, suaranya lirih seolah berbisik.
Bude Sukma segera menuju ke kamar, diikuti oleh Sati yang masih terlihat khawatir. Saat mereka masuk ke kamar, mereka melihat Ratih masih dalam keadaan terikat, tubuhnya masih menegang dan matanya terpejam.
"Bismillah... Bismillah..." Bude Sukma membacakan doa, sambil mengusap-usap tubuh Ratih dengan lembut.
Sati memandang ibunya dengan mata yang penuh air mata, ia tidak tahu apa yang terjadi dengan ibunya. "Ibu... Ibu sadar bu," katanya, suaranya lembut.
Bude Sukma terus membacakan doa, sambil mengusap-usap tubuh Ratih. Perlahan-lahan, tubuh Ratih mulai melemas, dan matanya terbuka.
"Ratih... Ratih, kamu kenapa?" Bude Sukma bertanya, suaranya lembut.
Ratih memandang Bude Sukma, lalu memandang Sati. Ia mencoba berbicara, tetapi suaranya tidak keluar.
"Bude... Tolong... Tolong aku," Ratih akhirnya berhasil berbicara, suaranya lembut dan penuh air mata.
Bude Sukma memeluk Ratih, mencoba menenangkannya. "Kamu tidak sendirian, Ratih. Aku ada di sini, dan Sati juga ada di sini," katanya, suaranya lembut.
Nafas Ratih tersenggal-senggal, wajahnya nampak pucat pasi. Ia begitu takut atas kejadian yang baru saja menimpa, bayangan sosok mengerikan masih saja membekas dalam ingatannya.
"Jangan seperti itu lagi, aku takut ibu, aku takut." Sati kembali mendekap ibunya erat.
Ratih terseyum simpul, ia juga tidak mau membagi kejadian buruknya pada Sati ataupun Bude Sukma.
"Kamu sudah lebih baik Tih?" Bude Sukma, mengusap pungung Ratih.
"Sudah Mba, terimakasih karena aku banyak merepotkanmu." Ratih merasa tidak enak hati, karena terus merepotkan Bude Sukma.
Bude Sukma kemudian pulang karena hari juga sudah larut terlalu malam.
.
.
Matahri menyingsing Ratih segera beranjak dari kasurnya ia nampak bersiap hendak kembali bekerja keladang.
Kebetulan saat hendak keladang Ratih melewati rumah megah itu, ia berjalan pelan. Di depan rumah itu, terlihat Pak lurah dan Sinta sedang berbincang.
Ternyata pagi-pagi sekali wanita ningrat itu sudah berada di kediaman rumah lama, meningalkan kota semarang demi menemui sang paman namun entah ada hal apa yang akan ia sampaikan.
"Itu yang namanya Ratih." Tutur Pak lurah lirih, wajahnya kentara memperkenalkan Sinta pada Ratih.
Sinta menengok sekilas Ratih yang berjalan mendekat kearah mereka.
Ratih yang merasa di bicarakan Ia menoleh keraha di Pak lurah dan Sinta, Ratih mengaguk dan terseyum simpul tanda ia premis numpang lewat.
Pak lurah membalas senyuman Ratih, namun Sinta nampaknya begitu acuh dan sinis, bahkan ia menatap begitu sangat tidak suka saat pamannya itu malah terseyum.
"Paman, paman kenapa malah senyum-senyum sendiri!" tegur Sinta sinis.
Pak lurah tersentak, tatapan Sinta yang penuh dengan intimidasi membuatnya menunduk kikuk.
"Paman menyukai wanita itu?" Sinta mengipaskan kipas di tanganya pelan.
Pak lurah langsung menggeleng. "Tidak Sinta, kau jangan berfikir begitu."
Sinta menarik nafas dalam, setelah perbincangan dengan pamanya selesai ia langsung menyuruh pamanya pergi.
Ia masuk kedalam rumah itu seorang diri, kali ini bahkan tampa kelima pengawalnya niat hati Sinta memang ingin pindah kedesa ini, karena bukan cuma suasananya saja yang masih asri, namun dibalik itu semua, ada niat yang terselubung.
"Kalau bukan karena Wanita itu kang mas! sudah pasti aku akan hamil. Tiga anak, selama 10 tahun ini." Sinta menyandarkan kapalnya pada kursi rotan, ia begitu sumpek dengan dunia ningrat yang mana selalu harus membahas masalah keturunan, dan saat itu juga suminya Tuan Zacky pasti akan langsung marah padanya.
Apalagi melihat wajah Ratih yang masih cantik dan awet muda sama persis seperti di foto bersama suaminya 14 tahun yang lalu, hatinya benar-benar remuk.
Ia memandang wajahnya di cermin besar di hadapanya.
Tanda penuaan mulai muncul, garis-garis harus di pipi dan keningnya juga sudah mulai terlihat, karena umurnya sudah memasuki kepala empat.
Namun ia merasa tersaingi karena melihat wajah Ratih masih cantik dan awet muda, timbulah rasa iri dan dengki di dalam hatinya.
"Kenapa harus Ratih! kenapa harus wanita itu!" Sinta mengepalkan tanganya erat, ia bukan hanya kalah saing soal rupa, tapi ia juga merasa kalah segalanya dengan Ratih.
Dah hal yang paling konyolnya ia berasumsi kalau dulu Ratih mungkin saja ada kaitan pernikahan dengan suaminya bukan hanya sekedar kekasih.
"Anakmu telah aku lukai, lihat saja Ratih, aku akan membalas semua ini begitu kejam bahkan kau tidak akan mungkin bisa membayangkan kekejaman ku!" Sinta terseyum jahat.
Ia menaiki kursi goyang, sambil menghentakan kakinya di lantai, tanganya mengepal kuat ia sudah nampak seperti Iblis berujud manusia.
.
.
Sementara itu, Ratih sedang menanam padi, tapi entah kenapa ia malah terus kepikiran wajah, Sinta yang sinis saat disapa olehnya.
"Apa-salahku? padahal kita sebelumnya tidak saling mengenal tapi kenapa saat disapa ia malah buang muka dan menatapku sinis?" Ratih kepikiran sendiri.
"Dengan perlakukan dia yang seperti itu, menambah kecurigaan ku saja." Ratih mendengus kesal, sambil kembali menancapkan padi kedalam tanah lumpur
Hatinya seolah di penuhi rasa curiga dengan Sinta dan pengawalnya, ia ingin sekali mengajak Sati dan menunjukan wajah kelima pengawal Ratih. 'Benarkah mereka adalah orangnya yang telah menodai Sati putrinya'
Bahkan ia ingin membongkar kebusukan, Pak lurah pada masayarakat Desa. Pengasingan, tapi apalah daya hanya ia yang beranani menentang tapi semua warga bungkam begitu saja.
pelan pelan aja berbasa-basi dulu, atau siksa dulu ank buah nya itu, klo mati cpt trlalu enk buat mereka, karena mereka sangat keji sm ankmu loh. 😥