"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Cahaya di atas kuburan masal
Baskara melihat sebuah cahaya hijau yang sangat terang muncul dari balik gundukan tanah yang menyerupai kuburan masal. Cahaya itu berdenyut secara berulang-ulang seolah mengikuti detak jantung raksasa yang sedang tertidur lelap di dalam perut bumi.
Aroma tanah basah bercampur dengan bau busuk mayat yang baru saja membusuk menyeruak masuk ke dalam indera penciumannya. Ia mencoba menutup hidung namun tangannya yang tersisa tetap kaku dan tidak bisa digerakkan sama sekali karena pengaruh gaib.
Arini terus melayang mendekati gundukan tanah tersebut tanpa menunjukkan rasa takut sedikit pun di wajahnya yang terjahit rapat. Ia memberikan isyarat dengan jemarinya yang pucat agar Baskara segera mengikuti langkah kakinya yang tidak menapak tanah itu.
"Apa yang tersembunyi di balik tumpukan tanah yang sangat mengerikan ini, Arini?" tanya Baskara dengan suara yang gemetar hebat.
Arini tidak menoleh melainkan hanya menunjuk ke arah pusat cahaya hijau yang kini mulai memercikkan bunga api yang dingin. Suara bisikan ribuan orang yang meminta tolong terdengar sangat nyaring dari bawah tumpukan tulang belulang yang berserakan di sana.
"Bukalah matamu lebar-lebar dan lihatlah siapa yang telah kamu lupakan selama puluhan tahun ini," bisik Arini dengan suara yang bergema di dalam kepala Baskara.
Baskara merasa kakinya melangkah sendiri menaiki gundukan tanah yang lembek dan mengeluarkan cairan hitam kental setiap kali dipijak. Ia tersentak saat melihat sebuah tangan kecil yang memakai gelang manik-manik berwarna biru menyembul keluar dari dalam tanah tersebut.
Gelang itu sangat ia kenali sebagai milik adik perempuannya yang hilang secara misterius saat mereka sedang bermain di pinggir hutan dahulu kala. Rasa sedih yang teramat sangat mulai menghantam dadanya hingga ia sulit untuk sekadar menarik napas yang terasa sangat sesak.
"Kenapa tangan adikku bisa ada di tempat terkutuk seperti ini?" tanya Baskara sambil berusaha menjerit dengan sisa tenaganya yang ada.
Arini hanya terdiam dan mulai menggali tanah tersebut menggunakan kuku jarinya yang panjang dan sangat tajam secara terus-menerus. Ia mengeluarkan sebuah peti kayu tua yang sudah lapuk dan dipenuhi oleh ukiran wajah-wajah orang yang sedang menderita kesakitan.
Cahaya hijau itu ternyata terpancar dari sebuah batu mustika yang diletakkan di atas dahi mayat seorang gadis kecil di dalam peti tersebut. Gadis itu tampak sangat tenang seolah hanya sedang tidur lelap meskipun seluruh kulitnya sudah mengering dan membiru pekat.
"Ambillah batu itu jika kamu ingin mendapatkan kembali tangan kananmu yang telah hilang," ucap Arini sambil menatap Baskara dengan lubang matanya yang gelap.
Baskara ragu untuk menyentuh batu tersebut karena ia merasa ada hawa kematian yang sangat kuat terpancar dari benda gaib itu. Namun rasa sakit di pundaknya yang telah hancur memaksa logikanya untuk mengikuti saran dari sosok yang menyerupai rekan wanitanya tersebut.
Baru saja jemari Baskara menyentuh permukaan batu yang dingin itu, tanah di sekeliling mereka mendadak bergetar dengan sangat hebat secara berulang-ulang. Ratusan kerangka manusia mulai merangkak keluar dari dalam kuburan masal dan mencengkeram kaki Baskara dengan kekuatan yang luar biasa dahsyat.
"Jangan biarkan mereka menarikku masuk ke dalam lubang yang sangat gelap ini!" teriak Baskara sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tulang yang keras.
Arini tidak bergerak untuk membantu dan justru mulai membacakan sebuah mantra kuno dalam bahasa yang tidak pernah didengar oleh telinga manusia mana pun. Setiap kata yang diucapkan oleh Arini membuat kerangka-kerangka tersebut semakin beringas dalam menarik tubuh Baskara ke dalam liang lahat.
"Darahmu adalah kunci untuk membuka gerbang yang telah lama terkunci oleh dosa-dosa leluhurmu sendiri," seru Arini dengan suara yang menggelegar di tengah hutan yang sunyi.
Baskara merasakan kuku-kuku kerangka itu mulai menyayat kulit kakinya hingga darah segar mengalir deras dan membasahi tanah yang haus akan nyawa manusia. Ia melihat batu mustika hijau itu perlahan mulai menyerap darahnya dan berubah warna menjadi merah pekat yang sangat menyilaukan mata.
Sesosok mahluk tanpa kepala yang membawa pedang karat tiba-tiba muncul dari balik kabut dan mengarahkan bilah senjatanya tepat ke leher Baskara. Baskara hanya bisa pasrah karena tubuhnya sudah terkunci rapat oleh ratusan tangan mayat yang tidak mau melepaskannya begitu saja.
"Silakan ambil nyawaku asalkan kamu melepaskan jiwa adikku dari penderitaan abadi ini!" tantang Baskara dengan suara yang penuh dengan keberanian terakhir.
Mahluk tanpa kepala itu berhenti mendadak saat mendengar ucapan Baskara yang tulus dan tidak memiliki rasa takut akan kematian sama sekali. Ia menurunkan pedangnya dan mulai mengeluarkan suara geraman yang sangat dalam seolah sedang berkomunikasi dengan entitas gaib yang lebih kuat.
Arini berhenti membaca mantra dan menatap mahluk tersebut dengan ekspresi yang sangat sulit untuk dijelaskan oleh kata-kata manusia biasa. Ia kemudian berjalan mendekati mahluk tanpa kepala itu dan membisikkan sesuatu yang membuat atmosfer di tempat itu menjadi sangat dingin.
"Waktunya belum tiba bagi dia untuk bergabung dengan barisan prajurit yang telah kehilangan jiwanya," kata Arini sambil menarik Baskara keluar dari tumpukan mayat.
Baskara terengah-engah dengan tubuh yang penuh dengan luka sayatan dan lumpur hitam yang berbau sangat busuk menyengat lubang hidung. Ia melihat batu mustika yang kini berwarna merah itu telah berpindah ke tangan Arini dan mulai berdenyut secara perlahan-lahan.
Cahaya hijau yang tadinya menerangi kuburan masal tersebut mendadak padam sepenuhnya dan menyisakan kegelapan yang sangat sunyi dan mencekam. Baskara merasa ada sesuatu yang merayap di dalam pundaknya yang hancur seolah-olah tulang dan dagingnya mulai tumbuh kembali secara tidak alami.
"Apakah tangan kananku benar-benar akan tumbuh kembali setelah semua kengerian ini terjadi?" tanya Baskara sambil memegangi pundaknya yang terasa sangat gatal.
Arini tidak memberikan jawaban pasti melainkan hanya menunjuk ke arah sebuah jembatan bambu tua yang melintang di atas sungai yang airnya tidak mengalir. Ia mulai berjalan menuju jembatan tersebut dengan gerakan yang sangat halus seolah kakinya sama sekali tidak menyentuh permukaan bumi.
Baskara terpaksa mengikuti langkah Arini karena ia merasa jiwanya kini telah terikat pada batu mustika merah yang dibawa oleh wanita tersebut. Mereka sampai di tengah jembatan bambu yang sudah mulai rapuh dan mengeluarkan suara berderit yang sangat nyaring setiap kali diinjak dengan keras.
Di bawah jembatan itu, Baskara melihat ribuan wajah manusia yang sedang menatap ke arahnya dengan tatapan mata yang penuh dengan rasa lapar dan haus. Mereka adalah jiwa-jiwa yang gagal menyeberang dan kini terperangkap selamanya di dalam aliran sungai yang penuh dengan air mata darah.
Salah satu wajah di dalam sungai itu tiba-tiba melompat keluar dan menggigit pergelangan kaki Baskara dengan sangat kencang.