NovelToon NovelToon
Terpaksa Menikah Dengan Kakak Mantan

Terpaksa Menikah Dengan Kakak Mantan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Hamil di luar nikah / Pengantin Pengganti / Cinta Seiring Waktu / Menikah dengan Kerabat Mantan
Popularitas:314.8k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Ghina

Kekhilafan satu malam, membuat Shanum hamil. Ya, ia hamil setelah melakukan hal terlarang yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam agama sebelum ia dan kekasihnya menikah. Kekasihnya berhasil merayu hingga membuat Shanum terlena, dan berjanji akan menikahinya.

Namun sayangnya, di saat hari pernikahan tiba. Renaldi tidak datang, yang datang hanyalah Ervan—kakaknya. Yang mengatakan jika adiknya tidak bisa menikahinya dan memberikan uang 100 juta sebagai ganti rugi. Shanum marah dan kecewa!

Yang lebih menyakitkan lagi, ibu Shanum kena serangan jantung! Semakin sakit hati Shanum.

“Aku memang perempuan bodoh! Tapi aku akan tetap menuntut tanggung jawab dari anak majikan ayahku!”



Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28. Mari Bercerai

Shanum sudah memejamkan matanya saat Ervan bangkit dari sisi ranjang. Helaan napas panjang keluar dari mulut pria itu sebelum ia melangkah perlahan menuju sudut ruangan. Sekilas ia menoleh ke arah Bik Laras, yang berdiri kaku dengan tangan menggenggam tali tas kecilnya.

Bik Laras menatapnya ragu, seolah masih menanti kejelasan. Ervan tahu, kehadiran maid lama keluarga Wijatnako itu adalah perpanjangan tangan ayahnya—pengingat halus bahwa ia tidak sepenuhnya bebas malam ini.

“Ingin rasanya saya menyuruh Bibi pulang,” ujar Ervan pelan, setengah berbisik. “Tapi kalau saya lakukan, saya tahu Papa akan marah besar. Dan malam ini saya tidak ingin berdebat lagi.”

Bik Laras menunduk sedikit, seolah memberi hormat. “Saya paham, Tuan Ervan.”

“Silakan beristirahat di kamar kecil sebelah. Ada sofa lipat di dalamnya. Biar saya yang tidur di bed tambahan,” lanjutnya, menunjuk ranjang kecil di dekat tempat tidur utama Shanum.

Bik Laras menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Kalau begitu, saya pamit istirahat dulu, Tuan.”

Begitu pintu kecil itu tertutup dan ruangan kembali sunyi, Ervan menarik napas panjang. Ia melirik jam tangan. Hampir pukul sepuluh malam. Dari luar, suara deru kendaraan sesekali menyelinap lewat jendela kaca ganda, bercampur dengan desau pendingin ruangan yang menyebar aroma antiseptik samar dan lavender.

Ikhsan sudah pulang, hanya tinggal ia dan Bik Laras yang menemani Shanum.

Ervan duduk perlahan di bed tambahan. Matanya menatap langit-langit, lalu menoleh ke arah Shanum yang masih memejamkan mata, punggungnya membelakangi lampu kecil di nakas.

Ia merasa aneh.

Sungguh.

Menginap di rumah sakit demi seorang perempuan yang tak benar-benar ia kenal, seorang istri yang dinikahinya karena desakan situasi. Seorang perempuan yang kini tengah mengandung anak adiknya—calon keponakannya.

Bukannya ia tak peduli. Tapi ... semuanya terasa terlalu cepat. Terlalu kacau. Terlalu asing.

Dan yang paling aneh: mengapa ia tetap datang ke sini malam ini?

Ia bisa saja membiarkan Bik Laras berjaga. Bisa pulang ke apartemen, mandi air hangat, lalu tidur tanpa suara mesin infus atau aroma obat. Tapi tidak. Ia justru menyuruh Ikhsan menjemputnya dan menyiapkan segala keperluan. Ia bahkan berbohong pada Meidina—perempuan yang secara status masih menjadi tunangannya.

Ervan mengusap wajahnya.

Kacau.

“Bapak kenapa?” Suara Shanum mendadak terdengar lirih, meski matanya masih tertutup.

Ervan mengerjap. “Kamu belum tidur?”

Shanum membuka matanya perlahan, masih dalam posisi menyamping. “Sulit tidur kalau Bapak terus bolak-balik duduk seperti orang resah.”

Ervan menghela napas. “Saya memang resah.”

“Mungkin karena Bapak tahu seharusnya tidak di sini, pulanglah, tidak semestinya Bapak di sini,” ucap Shanum datar.

Ervan tidak menjawab.

Beberapa detik hening. Hanya suara monitor jantung dan tetesan infus yang mengisi udara di antara mereka.

“Saya di sini karena merasa bertanggung jawab,” katanya akhirnya. “Kamu hampir kehilangan bayi itu karena kejadian yang ... sebagian besar salah saya.”

Shanum menggeser tubuhnya sedikit, menatap Ervan dari sisi ranjang. “Kamu merasa bersalah, bukan berarti harus tidur di rumah sakit.”

“Ini bentuk tanggung jawab,” balas Ervan pelan. “Nggak lebih. Nggak kurang.”

Shanum mengangguk kecil, senyumnya miring. “Bagus. Karena Shanum memang tidak mengharapkan lebih.”

“Shanum—”

“Dengar, Pak Ervan,” potongnya, kali ini suaranya terdengar tenang namun tajam. “Shanum tidak berharap Pak Ervan mencintai, atau bahkan menyayangi Shanum. Shanum tahu dari awal  pernikahan ini karena keterpaksaan. Sama seperti Shanum.”

“Bukan ... terpaksa. Tapi—”

“Dipaksa keadaan, mungkin?” potongnya lagi. “Sama saja.”

Ervan tidak menyangkal. Ia hanya menatap lurus ke lantai.

“Shanum tidak ingin membuat malam ini makin melelahkan,” lanjut Shanum. “Tapi kalau boleh jujur ...  Shanum ingin kita bercerai saja secepatnya. Tidak perlu menunggu bayi ini lahir. Tidak ada gunanya bertahan dalam pernikahan yang bahkan sejak awal tidak punya fondasi apa pun. Maafkan Shanum jika waktu itu telah memaksa Pak Ervan, seharusnya Shanum tidak pernah memintanya.”

Pernyataan itu menghantam dada Ervan seperti palu godam. Bukan karena ia tidak memikirkan kemungkinan itu. Tapi mendengarnya langsung dari mulut Shanum—dengan nada yang begitu dingin dan mantap—membuat perasaannya berdenyut aneh.

Ia mengangguk pelan, seperti menerima takdir, tapi tiba-tiba terasa berat yang tidak ia mengerti. “Kalau itu yang kamu mau ... saya tidak akan menghalangi.”

“Bagus,” jawab Shanum cepat. “Lebih cepat, lebih baik. Dan tidak perlu drama. Setidaknya inilah yang diharapkan oleh Bapak.”

Ervan menyandarkan tubuhnya ke sandaran bed tambahan. Matanya menatap langit-langit, napasnya berat.

“Kenapa Pak Ervan tetap datang ke sini malam ini, Van?” tanya Shanum tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuat kepala Ervan menoleh. Mata mereka saling bertaut di bawah cahaya temaram lampu.

“Saya juga tidak tahu,” jawabnya jujur. “Mungkin karena ... saya terlalu takut kalau ada hal buruk terjadi dan saya tidak ada di sana.”

“Padahal Bapak nggak punya perasaan apa-apa ke Shanum?”

Ervan mengangguk. “Iya. Maaf ... tapi saya memang nggak punya. Dan saya nggak mau pura-pura.”

Shanum tersenyum kecut. “Setidaknya Bapak jujur.”

“Dan kamu?” balas Ervan hati-hati.

Shanum menggeleng. “Shanum bahkan tidak mengenal Bapak cukup dalam untuk bisa punya perasaan.”

Malam semakin larut. Suara di luar ruang rawat hampir lenyap sepenuhnya. Hanya suara mesin pernapasan dan detak jarum jam yang menemani.

Ervan bangkit dari bed tambahan, lalu berjalan pelan ke arah jendela besar. Lampu-lampu kota Jakarta tampak berkelip di kejauhan, seperti gugusan bintang yang kebetulan terjatuh ke bumi.

“Kita seperti orang asing yang dipaksa tinggal satu rumah dan berbagi hidup,” gumamnya.

“Karena memang begitu kenyataannya,” sahut Shanum dari ranjang. “Dan Shanum lelah menjadi bagian dari sandiwara ini.”

Ervan menoleh, matanya teduh dalam bayang-bayang lampu.

“Kalau begitu, begitu kamu keluar dari rumah sakit ini ... kita urus semuanya,” ujarnya tenang. “Perceraian. Hak asuh. Dan lain-lain.”

Shanum mengangguk. “Shanum akan siapkan semuanya.”

“Mungkin ini yang terbaik buat kita berdua, Nak. Maafkan Ibu ya, Nak. Ibu akan selalu ada untukmu dan sekaligus menjadi ayah untukmu,” batin Shanum.

Hening kembali menguasai ruangan. Tapi kali ini, bukan karena canggung atau amarah. Melainkan karena ada semacam kesepahaman diam-diam yang akhirnya tercapai.

Ervan kembali ke tempat tidur lipatnya. Ia merebahkan tubuh, menarik selimut tipis hingga dada, lalu menutup matanya.

Namun pikiran dalam kepalanya masih berisik.

Ia mencoba meyakinkan diri bahwa malam ini hanyalah bentuk tanggung jawab. Bahwa ia tidak merasa apa-apa terhadap Shanum. Bahwa semua ini hanya karena rasa bersalah dan etika.

Tapi entah kenapa, bagian kecil di hatinya mulai mempertanyakan: jika benar tidak ada rasa, mengapa ia merasa berat saat Shanum bilang ingin segera bercerai?

Dan Shanum, di balik mata terpejamnya, mencoba menahan air mata yang menggantung di pelupuk. Bukan karena cinta. Tapi karena rasa lelah—pada semuanya. Dan takut—bahwa semua ini akan terus meninggalkan luka yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.

Bersambung ... ✍️

1
K4RL4
akuh padamu papa mertua 😇
Nur
𝑠𝑖𝑎𝑝𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 🤔𝑎𝑝𝑎𝑘𝑎ℎ 𝐸𝑟𝑣𝑎𝑛 🤔🤔
𝑚𝑎𝑘𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑚𝑜𝑚𝑚𝑦
𝑙𝑎𝑛𝑗𝑢𝑡💪💪💪💪💪
Nur
𝑠𝑎𝑏𝑎𝑟 𝑏𝑎𝑛𝑔 𝐸𝑟𝑣𝑎𝑛, 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔𝑎𝑡
Rabiatul Addawiyah
Lanjut thor
Rabiatul Addawiyah
cieee awalnya jutek sekrang cari2 Shanum
hasatsk
jreng... jreng siapa gerangan yang datang membunyikan bel....
Piet Mayong
pasti itu Evan yg datang
Ma Em
Pak Aiman dan Bu Iffah akhirnya menyesal setelah Shanum pergi , orang tua yg seharusnya bisa melindungi anaknya yg lagi terpuruk Shanum malah diusir biarkan saja kedua orang tua Shanum menyesali segala perbuatannya pada Shanum itung2 kasih pelajaran .
🔵 ve spa
Ervan kah yang datang 🤔
☠ᵏᵋᶜᶟ🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🐝⃞⃟⃝𝕾𝕳ɳҽˢ⍣⃟ₛ♋
apakah yg masuk itu evan
Shee
bagus ceritanya nya, semangat kak
ir
kalo sudah tiada baru terasa, bahwa kehadiran nya sungguh terasa
Mulaini
Jangan-jangan pemilik toko roti atau si Ervan yang datang.
anonim
akhirnya kedua orang tua Shanum menyesali perbuatannya telah mengusir Shanum. Penyesalannya setelah pak Wijatnako ngomong banyak dan memberhentikan Aiman dari pekerjaannya. Sekarang baru merasakan sedih dengan segala penyesalan ketika tidak bisa menemukan Shanum
Herman Lim
sapa Ervan ato sapa ne yg DTG
mama
lnjt up lgi thor, 🥰
Mulaini
Ervan tenang saja Shanum baik² saja dan kamu tinggal ikutin kata² papa mu.
Kimmy Doankz
nyesel kn orang tua shanum,, sepertinya yg datang ervan
Noor hidayati
berlomba lomba cari shanum
Noor hidayati
di iyakan saja shanum,keinginan papa wijatnako,biar ga stres terus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!