Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengembalikan tanah guna-guna
"Assalamualaikum!"
Wulan meletakkan sendok dan piring yang sudah di cuci, kemudian segera ke depan melihat siapa yang datang.
"Wa'alaikum salam. Yanti? Kapan kamu pulang?" Wulan merasa senang sekaligus heran melihat anak tetangganya itu datang bertamu.
"Kemarin, bareng sama Sarinah. Bagaimana kabarmu Lan?" tanya Yanti.
"Baik Yan, Alhamdulillah. Mari masuk." ajak Wulan.
"Eh, aku mau ngajak kamu beli buburnya Mbah Kasimin yang enak itu. Nanti saja mampirnya." ajak Yanti.
"Oh. Baiklah." Wulan pun setuju, meraih sendal jepit miliknya lalu pergi bersama Yanti.
"Tiga tahun ini, aku kangen banget sama kampung kita ini." kata Yanti, kebetulan dia juga pergi mondok ke pesantren bersama Nia dan Sarinah.
Wulan hanya tersenyum menanggapinya.
"Oh iya Lan, ku dengar kamu tidak melanjutkan sekolah ya?" tanya Yanti pelan.
Wulan pun menoleh sambil tersenyum tipis. "Iya."
"Kenapa?" tanya Yanti penasaran, tatapannya pun tak lepaskan dari wajah ayu teman masa kecilnya itu.
"Nggak apa-apa, cuma ingin meringankan beban orang tua saja." jawab Wulan, tentu tidak di jelaskan semuanya.
Yanti mengangguk. Tapi kemudian ia mengingat sesuatu.
"Lan, mas Arif sudah selesai loh! Kemungkinan dia pulang kampung di tahun ini"
Sontak Wulan menoleh Yanti, mendengar nama Arif hatinya langsung bergetar bahagia. Tapi, mungkin Arif sudah lupa. "Syukurlah, pasti sekarang mas Arif sangat tampan dan berwibawa." Wulan tersenyum membayangkannya.
"Ya pasti lah! Bukankah Mas Arif sering mengirim surat dan foto buat kamu?" goda Yanti.
"Hah!" Wulan menoleh Yanti dengan heran. "Surat dan foto?" tanya Wulan.
"Heem." Yanti mengangguk. "Tidak perlu main rahasia-rahasiaan sama aku. Aku tahu semuanya." kata Yanti menepuk tangan Wulan.
"Tapi mas Arif Ndak pernah kirim surat apalagi foto Yan. Nggak ada."
Kini giliran Yanti yang terkejut, ia menatap wajah Wulan sambil menautkan keningnya. "Ndak ada bagaimana? Wong aku lihat dengan mata kepala ku sendiri kalau Arif rutin mengirim surat dan foto setiap kali Sarinah pulang. Bukankah Sarinah sepupumu itu yang paling sering pulang kampung karena budemu itu banyak duitnya!"
Wulan semakin tercengang mendengarnya.
Kalau benar Arif sering mengirim kabar, artinya Sarinah yang tidak menyampaikan kepada Wulan.
"Kamu nggak bohong Yan?" tanya Wulan lagi.
"Ya enggak! Ngapain bohong, dosa." jawab Yanti.
Sarinah! Ya, Sarinah..... Wulan sedang fokus pada satu nama.
"Yan, kamu pergi sendiri saja. Aku ada urusan." Wulan berbalik arah meninggalkan Yanti.
"Lho!" Yanti menatap Wulan dengan kecewa.
Entah mengapa rasanya begitu emosi mendengar surat-surat dari Arif tak pernah sampai, sungguh tega Sarinah melakukan hal itu kepadanya.
Wulan tersenyum sinis memikirkan Sarinah, bukankah sejak kecil memang dia ingin selalu dekat dengan Arif? Dan sekarang ini, bukan tidak mungkin Sarinah juga ingin merebut perhatian Arif.
"Kurang ajar sekali Mbak Sarinah!"
Wulan pulang sambil menahan segala amarah di dadanya. Dia harus tahu, harus memastikan sendiri apa yang diucapkan Yanti.
"Nduk!" Ratih memanggil Wulan, namun gadis itu tak menyahut, langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.
"Wulan?" Ratih memanggilnya lagi, heran akan sikap anaknya yang berbeda, tak seperti biasanya.
Tak lama kemudian, ia keluar dengan sebuah kantong plastik kecil, dan sebuah sendal jepit di tangannya.
"Ka_"
"Aku mau ke rumah Mbak Sar, ada perlu Buk." pamitnya.
"Heh! Kamu mau ngapain? Jangan aneh-aneh!" teriak Ratih.
"Enggak, cuma mau ngasih bibit undur-undur untuk obat reumatiknya bude." jawab Wulan setengah berteriak pula, ia berjalan begitu cepat.
"Bibit undur-undur?" gumam Ratih heran.
Sesampainya di rumah Sarinah.
"Bude! Mbak Sar!" lantang suara Wulan memanggil.
Tak lama kemudian terdengar suara derit pintu di buka dari dalam. "Wulan?"
"Nggeh Bude, mbak Sar udah sampe to?" tanya Wulan dengan senyum manis seperti biasanya.
"Oh, udah, udah." Bude pun menyingkir, mempersilahkan Wulan masuk ke dalam rumahnya.
"Oh iya Bude, ini Wulan Nemu sendal jepit di bawah pohon singkong. Sepertinya punya bude ketinggalan ketika mengambil daun singkong kemarin itu." kata Wulan, memberikan sendal jepit itu kepada bude.
Wajah bude pun mendadak pias melihat sendal jepit yang hanya sebelah itu. "Sepertinya, ini bukan punya bude." ucapnya gugup.
"Oh, ya?" Wulan membolak-balik sendal tersebut. "Kalau begitu buang saja." Wulan pun melemparnya ke halaman begitu saja.
"Iya, iya. Tidak ada gunanya." Jawab bude gugup. Kemudian segera memanggil Sarinah untuk menutupi kegugupannya.
"Sar, ini ada adik mu lho!" teriaknya.
Semakin mengherankan saja, seumur-umur tidak pernah seramah itu menyebut Wulan adiknya Sarinah.
Tak lama kemudian munculah Sarinah dengan hijab panjang dan rok payung yang senada. Ciri khas seorang ustadzah muda jebolan pondok pesantren terkenal. Tapi tidak dengan akhlaqnya, belum mencerminkan sama sekali. Wulan tersenyum sinis.
"Wulan, apa kabar?" tanya Sarinah.
Wulan pun mengulurkan tangannya, mereka bersalaman sejenak. "Baik mbak, Alhamdulillah sehat wal Afiat." jawab Wulan, setiap kata penuh penekanan karena menahan emosi.
"Oh, syukurlah." Sarinah memberikan senyumnya yang manis, tapi palsu.
"Aku datang kesini mau mengambil titipan Mbak." kata Wulan.
Kening Sarinah berkerut. "Titipan apa?" tanya Sarinah bingung.
"Surat dari mas Arif."
Seketika wajah Sarinah menjadi tegang, tak hanya Sarinah tapi juga bude, sepertinya mereka sama-sama tahu.
"Arif?" tanya Sarinah masih ingin berkilah.
"Iya, dia juga titip pesan kepada Yanti, kalau tahun ini sudah selesai." tegas Wulan, semakin membuat Sarinah kelabakan.
"Oh... Iya, iya. Aku sampai lupa. Sebentar ya."
Sarinah beranjak dari duduknya, masuk ke dalam kamarnya mengambil sesuatu.
"Ini, aku hampir lupa." kata Sarinah, wajahnya tak bisa menyembunyikan rasa gugup.
"Terimakasih Mbak, kalau bukan karena mbak Sar, aku tidak akan mendapatkan surat dari mas Arif ini. Takutnya, kalau di titip sama orang lain malah tidak akan sampai ke pada Wulan."
"Eh. Iya." Sarinah mengangguk, sambil menelan ludahnya sendiri.
"Kalau begitu Wulan pamit. Soalnya tadi gak boleh lama." kata Wulan langsung berdiri.
"Main di rumah saudara kok Ndak boleh lama, heran ibumu." gerutu bude, berpura-pura baik.
Wulan tersenyum seperti biasa, berpura-pura tidak tahu saja. "Oh iya Bude, hampir saja lupa. Ini ada bibit undur-undur yang Wulan ambil dari samping pondokan di kebun sayur. Katanya undur-undur ini bagus untuk obat reumatik."
Wulan memberikan wadah kecil yang di bungkus kantong plastik itu kepada si bude.
"Wah, bude udah lama nyari undur-undur ini!" seru bude, mengamati butiran tanah kering yang di berikan Wulan, mencari-cari undur-undur yang dimaksud tapi belum menjumpai makhluk tersebut.
"Iya, bude letakkan saja tanah yang kering ini, di samping jendela yang tidak kena air hujan, supaya undur-undurnya bisa berkembang biak. Nanti kalau sudah banyak bisa di konsumsi. Kalau sekarang masih kecil banget, belum kelihatan." jelas Wulan.
"Begitu to?" Si bude pun langsung meletakkan tanah kering itu di bawah jendela yang memang belum di semen. Jadilah tanah itu menyatu dengan tanah di samping rumah bude.
Dia tidak tahu kalau sebenarnya tidak ada anak undur-undur di dalamnya, itu adalah tanah kuburan yang jatuh diatas kelambu Wulan, sekarang sudah kembali pada tempatnya.
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya