“Aku kecewa sama kamu, Mahira. Bisa-bisanya kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu, Mahira,” ucap Rangga dengan wajah menahan marah.
“Mas Rangga,” isak Mahira, “demi Tuhan aku tidak pernah memasukkan lelaki ke kamarku.”
“Jangan menyangkal, kamu, Mahira. Jangan-jangan bukan sekali saja kamu memasukkan lelaki ke kamar kamu,” tuduh Rukmini tajam.
“Tidak!” teriak Mahira. “Aku bukan wanita murahan seperti kamu,” bantah Mahira penuh amarah.
“Diam!” bentak Harsono, untuk kesekian kalinya membentak Mahira.
“Kamu mengecewakan Bapak, Mahira. Kenapa kamu melakukan ini di saat besok kamu mau menikah, Mahira?” Harsono tampak sangat kecewa.
“Bapak,” isak Mahira lirih, “Bapak mengenalku dengan baik. Bapak harusnya percaya sama aku, Pak. Bahkan aku pacaran sama Mas Rangga selama 5 tahun saja aku masih bisa jaga diri, Pak. Aku sangat mencintai Mas Rangga, aku tidak mungkin berkhianat.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MH 26
Doni menggigil hebat. Seluruh tubuhnya bergetar seperti kehilangan kendali. Napasnya pendek-pendek, terasa berat di dada.
Di depannya, Mahira ikut gemetar. Jari-jarinya dingin, napasnya tersengal, pikirannya berputar tanpa tahu harus melakukan apa.
“Mamah… tolong aku mah…” suara Doni pecah, hampir tidak terdengar, seperti anak kecil yang ketakutan.
Mahira menelan ludah. Kelopak matanya turun perlahan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia mencondongkan tubuh dengan ragu. Saat bibirnya menyentuh pipi Doni, hanya sebuah bunyi lirih keluar dari bibirnya.
“Emuah.”
Doni langsung menarik napas panjang dan tak beraturan, dada naik turun cepat, seakan sentuhan itu membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Satu lagi…” gumamnya pelan sambil memberikan pipi kiri.
Mahira membeku. “Kamu bohong…” suaranya pecah, bergetar antara takut dan bingung.
Tangan Doni terangkat. Ia meraih leher Mahira, bukan dengan kasar, tapi cukup kuat untuk mengarahkan wajahnya. Bibir Mahira kembali menempel di pipinya. Detik berjalan lambat. Satu, dua, tiga… hingga hampir lima belas detik, napas Mahira tertahan di antara kecanggungan dan kepasrahan.
“Lepaskan don…” bisiknya lirih.
Pegangan Doni melemah perlahan. Mahira mundur sedikit. Napasnya berhamburan keluar, tidak beraturan, seperti baru saja keluar dari kejutan besar.
Mahira menahan napas. Wajahnya panas, tengkuknya ikut meriang padahal udara malam terasa dingin. Jam sudah melewati tengah malam, namun tubuhnya justru terasa semakin tidak stabil.
Doni perlahan bangkit dari duduknya. Tanpa peringatan, ia memajukan tubuh dan menempelkan bibirnya ke bibir Mahira.
Mata Mahira langsung membesar. Otaknya menolak, berteriak keras agar ia mundur, tetapi tubuhnya tak bergerak. Lututnya lemas. Napasnya tersengal, seakan paru-parunya lupa cara bekerja.
Hampir dua menit Doni menahan ciuman itu sebelum akhirnya ia menjauh. Mahira menghirup udara seperti baru muncul dari dalam air, dada naik turun cepat.
Doni duduk kembali dengan wajah tenang, seolah tak terjadi apa pun.
Mahira masih terpaku berdiri. Ujung jarinya menyentuh bibir yang masih hangat, matanya berkaca-kaca.
“Kamu… kamu mencium aku…” suaranya pecah. Air mata jatuh tanpa ia tahan. “Kamu menodai aku…”
Isaknya semakin keras.
“Kamu lelaki pertama yang pernah mencium aku…” ucapnya dengan nada kesal campur malu.
Doni terperanjat. Lalu, tiba-tiba ia melompat kecil seperti anak yang menang undian.
“Yes…” gumamnya penuh kemenangan.
“Kenapa kamu begitu ha?” Mahira kesal, mengambil bantal dan melemparkannya ke dada Doni.
Doni menangkapnya sambil tertawa kecil.
“Karena aku juga pertama kali mencium perempuan.”
“Ih sebel dasar murid sialan…” gerutu Mahira sambil mengejar Doni.
Doni langsung lari mengitari meja ruang tamu. Mahira mengejarnya dari arah berlawanan, membuat mereka terus berputar seperti dua anak kecil berebut mainan.
“Doni berhenti!” seru Mahira dengan napas tersengal.
“Mau apa sih?” Doni malah tertawa sambil terus berlari.
“Berhenti. Aku mau menghajar kamu. Aku remukan tulang kamu terus aku lempar ke ikan piranha!”
“Yeh galak amat. Sini kalau berani, kejar…” ledek Doni sambil menjulurkan lidah.
Ruang tengah jadi kacau. Bantal terjatuh, meja bergeser sedikit, karpet terlipat. Suasana berubah jadi ribut dan penuh tawa.
Tiba-tiba…
“Bruk!”
Mahira terpeleset dan jatuh ke lantai.
“Sayang… kamu ga apa-apa?” Doni langsung panik dan menghampirinya.
“Aku jatuh. Masa ga apa-apa…” rintih Mahira sambil memegang lututnya yang memerah.
Doni buru-buru berlutut dan memeriksa lututnya. Mahira terdiam saat tangan Doni menyentuh kulitnya. Bukan karena sakitnya… tapi karena ini pertama kalinya ada laki-laki yang menyentuhnya begitu dekat.
“Aduh… sakit…” keluh Mahira, suaranya bergetar antara menahan nyeri dan kaget.
Air matanya keluar, sebagian karena rasa perih, sebagian karena syok.
Doni tanpa pikir panjang mengangkat tubuh Mahira ke dalam gendongannya.
Mahira terkejut melihat wajah Doni dari jarak begitu dekat. Napasnya sempat berhenti sepersekian detik.
Doni terlihat begitu jelas. Mata jernih, rahang tegas, tubuh atletis. Seolah cahaya lampu malam menegaskan semua detail itu.
“Tapi dia muridku…” batinnya berbisik, berusaha menahan degup yang terlalu cepat.
Doni membaringkan Mahira dengan perlahan di atas kasur.
“Nih tubuhmu kecil, tapi kok berat banget… makan apa sih?” keluh Doni sambil duduk di sampingnya.
Wajah Mahira langsung memanas. Ia buru-buru menarik selimut dan menutup kepalanya sampai hanya ujung rambut yang terlihat. Napasnya naik turun cepat, bukan karena lelah… tapi karena malu.
Perlahan ia mengintip dari balik selimut. Doni sudah berbaring miring menghadapnya, dan… sudah ngorok pelan.
“Ih nyebelin…” gumam Mahira. “Habis cium, pelukke..ini malah tidur seenaknya…”
Mahira akhirnya ikut merebahkan diri di sampingnya. Hening malam membuat detak jantungnya terdengar di telinganya sendiri. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat.
Ia menepuk pipinya pelan, mencoba memastikan.
“Aduh… sakit…” katanya lirih.
Mahira tersenyum lebih lebar.
“Berarti aku ga mimpi…” bisiknya sebelum matanya perlahan terpejam.
Pagi menyelinap masuk melalui celah jendela. Hembusan udara dingin membuat Mahira meringkuk. Ketika membuka mata, ia langsung terlonjak kecil. Tangan dan kakinya ternyata bersandar di tubuh Doni seperti gurita yang menempel.
“Astaga… posisi apa ini…” gumamnya panik, pipinya memanas.
Ia buru-buru mengangkat tangannya dari dada Doni. Namun baru sebentar terangkat, tangan itu kembali tertahan. Doni menggenggamnya dalam keadaan setengah tidur.
“Don…” panggil Mahira pelan.
Tak ada jawaban. Doni masih memegang tangan Mahira, bahkan mengusap dadanya sendiri sambil tetap memegang tangan itu, seolah mengira itu bantal atau sesuatu yang nyaman.
“Don…” ulang Mahira, lebih lirih, setengah kesal setengah malu.
Mata Doni akhirnya membuka. Pandangannya langsung jatuh pada Mahira yang wajahnya sudah merah semerah tomat.
“Bisa kah kita mulai pagi ini, sayang?” ucap Doni sambil menatapnya.
Jantung Mahira berdegup kencang.
“Mulai… apa?” tanyanya gugup, pikiran langsung melayang ke mana-mana.
Doni terkekeh.
“Mulai mandi, gosok gigi, terus sarapan. Weee…”
Mahira langsung menghembuskan napas panjang, lega sekaligus kesal. Bibirnya otomatis manyun.
Doni bangkit sambil tertawa, lalu berlari kecil menuju kamar mandi.
Di dalam kamar mandi Doni mengatur nafasnya bohong kalau dia tidak tergoda Mahira cantik sempurna sebagai seorang wanita
"Sabar don....sabar don..misi belum usai" Doni mengelus dadanya
"Hey Joni turunkan sikap kamu jangan tegak begitu" gerutu Doni pada area intinya.
..
Doni keluar dari kamar mandi sambil mengibaskan rambut basahnya. Mahira sudah berdiri di depan pintu kamar mandi, hanya berbalut handuk di tubuhnya, wajahnya kesal karena menunggu.
“Mandi kok lama banget. Kaya anak perawan baru pertama ke kamar mandi,” omel Mahira sambil mendengus.
Doni hanya nyengir lebar, persis seperti kuda yang senang dapat rumput segar.
“Cepat lah mandi. Udah siang ini,” sahut Doni sambil mengibaskan tangan, seakan ia yang lebih tua.
“Ih yang ngelamain siapa juga,” ketus Mahira sebelum menutup pintu kamar mandi dengan cepat.
Begitu pintu tertutup, Mahira bersandar sejenak. Ia mengusap bibirnya perlahan, refleks. Sentuhan itu membuat pipinya memerah. Ia melangkah ke depan cermin, menatap pantulan dirinya.
Senyum tipis muncul. Lalu hilang. Muncul lagi. Kemudian manyun.
“Dia murid kamu, Mahira…” bisiknya menyugesti diri sendiri. “Jangan terlalu berharap. Nanti kamu yang sakit.”
Namun sugesti itu sama sekali tidak membantu.
Alih-alih tenang, dadanya justru berdebar lebih kencang, sampai-sampai ia harus memegang dada sendiri untuk menenangkan napasnya.
“Kenapa malah makin kacau sih…” gumamnya, wajahnya semakin merah.
anak buah doni kah?
sama" cembukur teryata
tapi pakai hijab apa ga aneh