Ye Fan, pemuda 15 tahun dari Klan Ye—klan kelas tiga di Kota Pelangi—dikenal sebagai anak ajaib dalam seni pedang. Namun hidupnya hancur ketika klannya diserang oleh puluhan pendekar tingkat ahli yang mengincar pusaka mereka, Pedang Giok Langit.
Seluruh klan terbantai. Hanya Ye Fan yang selamat.
Dengan luka di jiwanya dan kemarahan yang membakar hatinya, ia bersumpah untuk menjadi lebih kuat, merebut kembali Pedang Giok Langit, dan membalaskan dendam Klan Ye yang telah musnah.
Ikuti perjalanan Ye Fan di PENDEKAR PEDANG Halilintar!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Tiba Di Ibukota
Saat itu, Ye Fan tidak tahu harus pergi kemana dan menemui siapa. Itu karena baru kali ini Ye Fan mendatangi Ibu Kota Kekaisaran Tang.
Oleh karena itu, Ye Fan memilih untuk mengisi perutnya terlebih dahulu sembari memikirkan cara yang paling cepat untuk mendapatkan informasi yang ia cari.
Akhirnya, Ye Fan menemukan sebuah restoran mewah di pusat kota yang menarik perhatiannya. Sebuah restoran dengan papan nama bertuliskan Restoran Melati Emas.
Begitu melangkah masuk ke dalam Restoran Melati Emas, Ye Fan merasakan gelombang kehidupan yang berbeda dari kota-kota kecil yang pernah ia lewati.
Lampion-lampion putih bergoyang lembut di langit-langit, memantulkan cahaya hangat yang menari di atas meja-meja kayu berukir. Aroma sup tulang rusa, daging panggang madu, dan teh bunga yang harum memenuhi ruangan—menciptakan dunia yang terasa jauh dari kesunyian dan penderitaan yang selama ini ia telan.
Namun, dari semua keramaian itu … justru dialah yang menjadi pusat perhatian.
Bisikan-bisikan terdengar dari beberapa meja:
“Anak itu … apa benar masih belasan tahun?”
“Tidak mungkin. Aura-nya terlalu tenang. Terlalu … matang.”
“Bisa jadi seorang ahli tua yang menyamarkan wujudnya.”
Bukan tanpa sebab, di dunia persilatan penampilan seseorang bisa saja menipu usia aslinya. Banyak pendekar tingkat tinggi yang sudah mencapai usia lanjut, tetapi memiliki penampilan yang terlihat tampak masih muda. Oleh karena itu, orang-orang menduga bahwa Ye Fan adalah salah satu pendekar tingkat tinggi.
Akan tetapi Ye Fan tidak peduli. Ia hanya ingin makan dan pergi melanjutkan pencariannya.
Jubah hitam. Pembantaian klan Ye.
Dan kedelapan pusaka penguasa yang kini menghantui pikirannya.
Ia duduk di sudut ruangan, memesan tiga hidangan sekaligus hanya untuk mengisi tenaga. Pelayan yang menunduk dalam-dalam mengira ia seorang pendekar besar yang menyamar—dan Ye Fan hanya mengangguk tanpa menjelaskan apa pun.
Saat ia makan, ia menyadari betapa asingnya kota ini.
Ia tidak mengenal siapa pun. Tidak tahu harus bertanya kepada siapa.
Ibukota Kekaisaran Tang terlalu besar, terlalu ramai—dan ia … hanyalah anak yang kehilangan segalanya.
“Aku harus mencari informasi tentang kelompok jubah hitam … apa pun caranya.”
Begitu selesai makan, ia meletakkan koin perak di meja dan melangkah menuju pintu keluar.
Namun tepat saat ia hendak melewati ambang pintu—
BRUKK!
Seseorang yang baru saja masuk menabraknya.
Ye Fan mundur setengah langkah. Tubuhnya stabil, napasnya tetap datar.
Sementara pria yang menabraknya itu terpental sedikit ke belakang dan hampir kehilangan keseimbangan sebelum ditahan oleh para pengawalnya.
Pria itu terlihat berusia sekitar dua puluh tahun. Wajahnya tampan, namun auranya … angkuh. Seolah dunia harus memberi jalan baginya.
Kain jubah mewah berwarna merah marun membalut tubuhnya—dan sebuah kipas giok tergantung di pinggangnya.
Sekilas saja, Ye Fan tahu pria ini bukan orang biasa.
Di belakangnya berdiri tiga pendekar pengawal, memancarkan tekanan halus dari tubuh mereka. Bukan tekanan kuat … tapi cukup untuk menunjukkan status tuan muda itu.
Ye Fan menundukkan kepala sedikit, sopan, tanpa niat menimbulkan masalah.
“Maaf,” hanya itu yang ia ucapkan.
Kemudian ia melangkah maju, berniat melewati pria tersebut.
Namun…
“Hei.”
Suara pria itu memanggilnya.
Tidak keras.
Namun ada keangkuhan yang menusuk, seolah panggilan itu adalah perintah.
Seluruh restoran langsung menjadi sunyi, seolah dunia menahan napasnya.
Ye Fan berhenti. Bahunya naik-turun perlahan—dingin, tapi tenang.
Ia memutar kepalanya sedikit, menatap pria itu dari sudut mata.
Tuan muda itu memasang senyum tipis yang tidak menyenangkan, mengipas pelan kipasnya.
“Saudara muda … kau tidak bermaksud pergi begitu saja setelah menabrak aku, bukan?”
Tatapan para pengunjung mulai berkumpul di antara mereka.
Beberapa berbisik:
“Itu … sepertinya Tuan Muda dari Klan Xu.”
“Sial … Tuan Muda itu mencari mati.”
Ye Fan tidak menjawab.
Wajahnya tetap dingin … namun di balik itu ada ketegangan yang perlahan tumbuh.
Bukan karena ia takut.
Melainkan karena ia muak menghadapi arogansi manusia setelah kehilangan segalanya.
Restoran Melati Emas kembali hening seketika. Semua mata tertuju pada Ye Fan dan pemuda arogan di depannya. Kipas giok merah marun di tangan pemuda itu bergetar sedikit—entah karena marah, atau gugup karena tatapan dingin Ye Fan yang menembus seperti bilah pedang.
Tuan muda itu mengangkat dagunya tinggi, hidungnya menukik seperti ingin menusuk langit.
“Apa kau tidak tahu siapa aku, hah?”
Ye Fan tidak bergerak.
Tidak menjawab.
Tidak menunjukkan rasa takut.
Ia hanya memandang … dengan ketenangan yang membuat orang lain justru semakin gugup.
Tatapan seorang anak yang sudah kehilangan segalanya.
Tatapan yang tidak bisa digertak oleh status, nama keluarga, atau kehormatan palsu.
Hal itu membuat wajah pemuda itu semakin memerah.
“Kau benar-benar berani ya…” Kipasnya terkunci di ujung jarinya. “Aku adalah tuan muda kedua dari Klan Xu, klan kelas dua di ibukota!”
Ye Fan menarik napas panjang, perlahan …
Dan menjawab dengan suara ringan, seolah yang bicara hanyalah angin lewat:
“Begitu ya.”
Tidak terkejut.
Tidak hormat.
Tidak takut.
Hanya … acuh tak acuh.
Jawaban itu seperti tamparan yang tak terlihat.
Wajah Xu Kun seketika menciut marah.
“Kurang ajar! Kau pikir siapa kau hah?!”
Ia memerintahkan sambil berteriak:
“Tarik bocah ini! Buat dia bersujud seperti anjing dan meminta maaf kepada tuan muda Xu Kun!”
Tiga pengawal di belakangnya langsung bergerak.
Tekanan dari tubuh mereka mengalir—mereka semua pendekar perak puncak, kekuatan yang akan ditakuti oleh orang biasa kebanyakan.
Namun saat mereka baru mengambil dua langkah...
BOOM!
Suara tekanan tak kasatmata menggema seperti gelegar di dada semua orang yang ada di ruangan.
Aura Ye Fan meledak.
Tekanan Pendekar Ahli Puncak.
Tajam. Berat. Beringas.
Seperti badai petir yang siap meremukkan siapa pun yang mendekat.
Tanpa sentuhan, tanpa gerakan tangan …
Ketiga pengawal Xu Kun langsung terjatuh berlutut.
Lutut mereka menghantam lantai kayu restoran, menimbulkan suara berat yang membuat tamu-tamu lain menahan napas.
Nafas para pengawal tersengal.
Urat di dahi mereka menonjol.
Wajah mereka memucat seperti baru melihat iblis.
Xu Kun terpaku di tempatnya.
Kipasnya jatuh dari tangannya dan berputar beberapa kali di lantai.
Ye Fan melangkah maju … perlahan … tapi setiap langkahnya mengandung ancaman kematian.
Tatapannya mengiris Xu Kun dari atas sampai bawah.
“Jika kau sudah tidak membutuhkan nyawamu…”
Ye Fan berhenti satu langkah di depannya.
Suara dinginnya mengiris tulang.
“…aku bisa mencabutnya sekarang juga.”
Xu Kun menelan ludah.
Lehernya bergerak naik turun.
Keringat dingin membasahi tengkuknya.
Bagaimana tidak?
Dihadapannya berdiri seorang remaja lima belas tahun…
Tapi kekuatannya—tekanannya—bagaikan langit dan bumi dibanding dirinya.
Secara spontan, tanpa berpikir panjang—
Xu Kun berlutut.
Bukan karena diserang,
tapi karena ketakutan yang menusuk hatinya sampai gemetar.
“Sa-saudara … aku … aku minta maaf!”
Wajahnya pucat pasi.
“S-saya yang salah! Saya yang lancang! Mohon ampuni saya!”
Semua mata membelalak melihatnya.
Tidak ada yang menyangka tuan muda yang arogan itu bisa jatuh secepat ini.
Ye Fan menatapnya lama.
Tidak berbicara.
Tidak tersenyum.
Tidak terlihat puas.
Hanya dingin.
Xu Kun gemetar semakin hebat karena ketenangan itu.
Lalu ia buru-buru melanjutkan:
“Sa-saudara … jika kau membutuhkan sesuatu, saya bersedia memberi! Apa pun! Asalkan … asalkan jangan bunuh saya!”
Seketika pikiran Ye Fan tergerak.
Ia memang membutuhkan sesuatu.
Informasi.
Ye Fan menurunkan sedikit tekanannya dan bertanya datar:
“Aku mencari tempat di mana informasi sulit bisa didapatkan.”
Xu Kun mengangguk tergesa, seperti ayam dipaksa mengangguk pakai pedang di lehernya.
“A-ada! Di ujung kota bagian timur!”
Napasnya memburu.
“Di sana ada komplek kecil … dan di bawahnya terdapat pasar bawah tanah yang menjual barang ilegal … termasuk informasi yang tidak bisa kau dapatkan di permukaan!”
Para pengunjung restoran saling berpandangan.
Pasar bawah tanah itu bukan tempat orang biasa … dan fakta bahwa Xu Kun membocorkannya artinya ia sangat takut mati.
Ye Fan menatapnya sejenak.
Lalu melangkah pergi tanpa melihatnya lagi.
Aura tekanannya langsung lenyap begitu ia keluar dari pintu restoran, meninggalkan Xu Kun yang jatuh terduduk dan pengawalnya yang masih gemetar.
Namun…
Tanpa Ye Fan sadari.
Di salah satu sudut restoran, seorang pria paruh baya dengan janggut tipis dan mata tajam seperti elang telah memperhatikannya sejak awal.
Tatapannya penuh ketertarikan.
Penuh perhitungan.
Seolah ia baru saja menemukan mutiara langka yang tak boleh dilewatkan.
Pria itu memiringkan kepalanya sedikit, lalu berbisik seperti berbicara pada dirinya sendiri:
“Anak itu … siapa sebenarnya kau?”
Dan sudut bibirnya perlahan terangkat.