NovelToon NovelToon
Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Cinta Beda Alam : Ternyata Istriku Jin

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Cinta Beda Dunia / Cinta Terlarang / Mata Batin / Romansa / Reinkarnasi
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17: Keputusan Sulit

Setelah pengakuan Wulan malam itu, Arsyan... nggak tau harus gimana.

Dia bilang dia masih cinta Wulan—itu benar. Dia bilang dia mau lindungi Wulan—itu juga benar. Tapi dalam hatinya... ada bagian yang masih... sakit.

Sakit karena dibohongi.

Sakit karena selama ini dia hidup dalam ilusi—ilusi bahwa dia punya istri yang normal, kehidupan yang normal, masa depan yang normal.

Ternyata semua itu... nggak normal.

Keesokan harinya, Arsyan bangun lebih pagi dari biasanya. Jam empat subuh dia udah duduk di teras—menatap langit yang masih gelap—mikir.

Wulan masih tidur di kamar. Atau pura-pura tidur—Arsyan nggak tau.

Dia ambil wudhu, shalat Subuh sendirian di mushola kecil belakang rumah. Pas sujud terakhir, dia bisik panjang dalam hati:

Ya Allah... aku bingung. Aku cinta dia. Tapi aku juga takut. Takut kehilangan dia. Takut ada bahaya. Takut... takut semua ini salah. Tunjukkan aku jalan yang benar, Allah. Aku... aku lemah.

Selesai shalat, dia duduk lama di sajadah—kepala tertunduk, napas berat.

Pas dia balik ke rumah, Wulan udah bangun—lagi masak di dapur. Gerakannya pelan, kayak robot. Matanya sembab—jelas banget dia abis nangis.

"Mas... mau sarapan?" tanya Wulan pelan—suaranya serak.

Arsyan diam sebentar. "Nggak. Aku... aku mau ke warung dulu."

"Oh... oke."

Arsyan ambil tas, pake sendal, terus jalan ke pintu. Tapi sebelum keluar, dia berhenti—nggak noleh—cuma diam di ambang pintu.

"Wulan..."

"Iya, Mas?"

"Aku... aku butuh waktu. Buat mikir."

Hening.

Lalu Wulan jawab pelan—suaranya hampir putus. "Aku... aku ngerti, Mas."

Arsyan keluar—nutup pintu pelan—ninggalin Wulan yang berdiri sendirian di dapur, air mata jatuh tanpa suara.

Tiga hari.

Tiga hari Arsyan kayak zombie.

Dia buka warung—jualan kayak biasa—tapi pikirannya kemana-mana. Pelanggan sering harus manggil dua-tiga kali baru dia sadar. Sotonya sering kemanisan atau keasinan—karena dia lupa takaran bumbu.

Bhaskara sama Dzaki notice langsung.

Hari pertama, Bhaskara dateng—duduk di bangku plastik, natap Arsyan lama.

"Gas... lo kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa."

"Bohong. Muka lo kayak orang abis ditinggal nikah."

Arsyan nggak jawab—cuma ngaduk kuah soto lebih keras dari biasanya.

Bhaskara menghela napas. "Gas... ini soal istri lo kan?"

Arsyan berhenti ngaduk. Tangannya diem di udara.

"Gas... gue tau lo lagi ada masalah. Dan gue... gue tau masalahnya nggak gampang. Tapi lo nggak bisa kayak gini terus. Lo harus—"

"Bhas." Suara Arsyan pelan—tapi tegas. "Aku butuh waktu sendiri. Tolong... jangan tanya dulu."

Bhaskara menatap Arsyan lama—lalu dia ngangguk pelan. "Oke. Tapi Gas... kalau lo butuh temen ngobrol... gue ada."

"Makasih, Bhas."

Hari kedua, Dzaki yang dateng—bawa tasbih kayak biasa, duduk diem-diem di samping gerobak.

"Mas Arsyan..." panggilnya pelan.

Arsyan nggak jawab—masih fokus motong daun bawang.

"Mas Arsyan... aku tau lo lagi berat. Aku... aku nggak tau pasti masalahnya apa. Tapi... aku mau ingetin satu hal."

Arsyan berhenti motong—natap Dzaki.

"Allah nggak akan kasih cobaan yang nggak bisa dijalanin sama hambanya. Apapun yang lo hadapin sekarang... pasti ada jalan keluarnya. Pasti."

Arsyan diam lama—lalu dia senyum tipis. "Makasih, Zak."

Dzaki ngangguk—lalu dia keluar tasbih, baca doa pelan. "Aku do'ain lo, Mas. Semoga dikasih jalan terbaik."

Hari ketiga, Arsyan pulang lebih cepat dari biasanya—jam empat sore.

Pas dia buka pintu rumah—rumahnya... sepi.

Sepi banget.

Nggak ada suara masakan di dapur. Nggak ada suara TV. Nggak ada... Wulan.

"Wulan?" panggil Arsyan—suaranya gema di rumah kecil itu.

Nggak ada jawaban.

Jantungnya langsung ngebut. Dia... dia pergi?

Arsyan cepet-cepet masuk kamar—lemari masih penuh baju Wulan. Kamar mandi—sabun sama shampo Wulan masih ada.

Dia nggak pergi. Terus... kemana?

Arsyan keluar rumah—liat ke halaman belakang—dan dia nemu Wulan.

Wulan duduk sendirian di bawah pohon mangga tua—memeluk lutut, kepala tertunduk, tubuh gemetar halus.

Dia nangis.

Nangis diam-diam—isak-isakan yang diredam—kayak dia nggak mau ada yang denger.

Arsyan jantungnya langsung nyesek.

Dia jalan pelan mendekat—langkahnya hati-hati—berhenti beberapa meter di belakang Wulan.

"Wulan..."

Wulan langsung kaget—cepet-cepet ngusap air matanya kasar—berdiri—nyoba senyum meskipun matanya merah banget.

"Mas—Mas pulang cepet—aku... aku belum masak—"

"Udah. Nggak usah masak." Arsyan jalan lebih deket. "Kamu... kamu nangis?"

"Nggak. Aku... aku cuma—"

"Wulan." Arsyan menatap istrinya—menatap mata yang penuh air mata—menatap wajah yang pucat dan kurus. "Jujur sama aku."

Wulan diam—bibir gemetar—lalu air matanya jatuh lagi. Dia nggak bisa nahan.

"Iya, Mas... aku nangis. Aku... aku nangis karena... karena aku takut."

"Takut apa?"

"Takut Mas... Mas bakal ninggalin aku." Suaranya pecah—isak-isakan makin keras. "Aku tau... aku tau Mas marah. Aku tau Mas kecewa. Dan aku... aku nggak tau harus gimana lagi buat minta maaf. Aku... aku cuma bisa nunggu. Nunggu Mas... nunggu Mas mutusin."

Arsyan dadanya sesak banget. Napasnya berat. Tangannya mengepal kuat di samping tubuh.

"Wulan... tiga hari ini... aku mikir terus. Nggak berhenti. Aku mikir... apakah aku bisa terima kamu yang sebenarnya? Apakah aku bisa hidup dengan semua... kebohongan ini?"

Wulan menunduk—tubuhnya gemetar—siap denger keputusan terburuk.

"Dan aku... aku dapet jawabannya."

Wulan dongak perlahan—mata penuh ketakutan.

Arsyan melangkah maju—berdiri tepat di depan Wulan—menatap matanya dalam.

"Jawabannya... aku masih cinta kamu."

Wulan napasnya tertahan—nggak percaya apa yang dia denger.

"Aku marah. Itu bener. Aku kecewa karena kamu bohong. Itu juga bener. Tapi..." Arsyan napas berat. "Tapi aku nggak bisa bohong sama perasaanku. Aku cinta kamu, Wulan. Sangat cinta. Dan tiga hari tanpa ngomong sama kamu... itu lebih sakit daripada tau kamu jin."

Wulan nangis—nangis keras—tangan nutup muka.

"Mas... Mas serius?"

"Serius. Aku... aku mau tetep sama kamu. Mau kamu jin, manusia, atau apapun—aku tetep mau jadi suami kamu."

Wulan menatap Arsyan—mata penuh air mata—penuh nggak percaya—penuh... lega.

"Tapi..." Arsyan pegang tangan Wulan—dingin, gemetar. "Aku mau kamu janji satu hal."

"Apa, Mas?"

"Nggak ada lagi rahasia. Nggak ada lagi bohong. Apapun yang terjadi... kita hadapin bareng. Oke?"

Wulan ngangguk cepat—air matanya makin deras. "Oke. Aku janji, Mas. Aku janji nggak akan bohong lagi."

"Oke." Arsyan senyum tipis—lalu dia buka tangannya. "Sekarang... peluk aku."

Wulan langsung peluk Arsyan—peluk sekuat tenaganya—nangis di bahu suaminya—ngeluarin semua beban yang dia pendam tiga hari ini.

"Maafin aku, Mas... maafin aku..." bisiknya di tengah tangisan.

"Udah. Udah nggak apa-apa." Arsyan balas peluk Wulan erat—meskipun tubuhnya dingin—meskipun dia tau istrinya bukan manusia—dia nggak peduli.

Karena yang dia rasain sekarang... cuma satu.

Cinta.

Cinta yang nggak peduli soal ras, soal alam, soal logika.

Cinta yang... lebih kuat dari apapun.

Malam itu, mereka duduk di teras—pake selimut tipis—ngobrol panjang tentang masa depan.

"Mas..." kata Wulan pelan—kepalanya bersandar di bahu Arsyan. "Aku... aku takut nanti ada masalah lagi. Takut... takut kerajaan bakal dateng lagi."

"Kalau mereka dateng... kita hadapin bareng."

"Tapi Mas bisa kenapa-kenapa—"

"Wulan." Arsyan menatap istrinya—menatap mata emas samar yang bersinar di bawah cahaya bulan. "Aku udah janji. Aku nggak akan ninggalin kamu. Apapun yang terjadi."

Wulan tersenyum—senyum yang genuine—pertama kalinya dalam tiga hari ini.

"Terima kasih, Mas. Terima kasih... udah nggak ninggalin aku."

"Sama-sama. Makasih juga... udah mau jujur."

Mereka duduk lama di sana—dipeluk kehangatan cinta yang baru saja diperkuat oleh cobaan.

Dan meskipun badai belum berakhir...

...setidaknya mereka tau...

...mereka nggak sendirian lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!