Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Istri Kecil CEO
Setelah konfrontasi di dinding kamar tidur yang membuka tabir obsesi Arka, hubungan Alya dan Arka memasuki fase baru yang aneh. Arka tidak lagi menggunakan paksaan fisik yang kasar. Sebaliknya, ia meluncurkan operasi 'pengembangan istri' yang terperinci. Ini adalah jenis dominasi yang lebih kejam: ia membentuk Alya, sedikit demi sedikit, menjadi Nyonya Darendra yang ia impikan.
Arka tidak membiarkan Alya lari dari kebenaran yang baru ditemukannya. Dia tahu Alya tahu, dan itulah senjatanya. Arka kini tidak perlu menekan Alya; Alya sendirilah yang tertekan oleh pengetahuan bahwa ia adalah target.
Etika Meja Makan dan Pelajaran Rasa
Pelatihan dimulai di meja makan. Makan malam bukan lagi hanya kewajiban sosial, tetapi sesi pelatihan pribadi yang intens.
“Caramu memotong makanan masih terlalu tergesa-gesa, Alya. Kau memotong daging ayam seolah-olah kau sedang mengiris kertas. Pisau itu adalah alat, bukan pedang,” tegur Arka suatu malam, suaranya tenang, tetapi membuat Alya merinding.
Arka kemudian mengambil garpu Alya dan memegang tangan Alya. Sentuhannya terasa seperti sengatan listrik.
“Pegangan seperti ini. Stabil. Jangan biarkan sendi pergelangan tanganmu mengendur. Seorang Nyonya Darendra harus makan dengan anggun, seolah setiap suap adalah sebuah pernyataan,” bisik Arka, bibirnya sangat dekat dengan telinga Alya.
Alya merasakan pipinya memanas. Sentuhan ini—mengajarinya etika dengan sentuhan fisik yang begitu dekat—membuatnya salah tingkah. Itu bukan sentuhan gairah, tetapi sentuhan penguasaan, yang secara halus menyampaikan: Aku mengendalikan caramu bernapas, caramu makan, bahkan caramu memegang garpu.
Selain etika, Arka mulai mengontrol menu Alya. Dia membuang semua makanan cepat saji atau makanan manis dari dapur.
“Tubuhmu adalah asetku, Alya. Kau harus menjaganya. Kau harus makan dengan benar. Tidak ada gula berlebihan. Tidak ada makanan olahan,” perintah Arka, suatu pagi, saat Alya merindukan semangkuk sereal favoritnya.
Alya memprotes, “Saya masih remaja, Tuan Arka. Saya butuh energi.”
“Energi yang bersih. Aku tidak ingin kau terlihat seperti gadis sekolah lain. Kau akan menjadi istri dari salah satu pria paling berkuasa di Asia. Kau harus memancarkan disiplin,” balas Arka.
Pelatihan Sikap dan Suara
Pelatihan berlanjut pada cara Alya bergerak dan berbicara.
“Kau berjalan seperti tikus yang ketakutan, Alya,” kritik Arka, saat mereka berjalan berdampingan menuju mobil.
“Saya memang takut pada Anda, Tuan Arka,” balas Alya jujur.
Arka berhenti. Dia berbalik dan menatap Alya. “Aku tidak ingin kau takut. Aku ingin kau menghormatiku. Ada perbedaan. Angkat dagumu. Pandanganmu harus lurus. Saat kau berjalan, kau harus menunjukkan bahwa kau tahu ke mana kau pergi, meskipun kau tidak tahu.”
Arka memaksa Alya untuk berjalan bolak-balik di koridor villa, memperhatikannya dengan mata elangnya. Setiap gerakan Alya, mulai dari ayunan tangan hingga kecepatan langkah, dikoreksi.
“Pelan. Anggun. Jangan tergesa-gesa. Kau bukan lagi gadis yang berlari di lorong sekolah. Kau adalah Nyonya Darendra. Tinggalkan aura tergesa-gesa itu,” Arka menginstruksikan.
Lalu ada pelatihan suara.
“Suaramu terlalu tinggi dan bergetar saat kau berbicara dengan orang dewasa. Kau harus berbicara dengan intonasi rendah, stabil, dan setiap kata harus dipertimbangkan,” Arka menjelaskan. “Coba, ulangi: Aku ingin air putih, tolong.”
Alya mengulanginya dengan suara remajanya. “Aku ingin air putih, tolong.”
Arka menggeleng. “Tidak. Ulangi. Lebih lambat. Lebih dalam. Tarik napas dari diafragma, bukan dari dada.”
Arka meletakkan tangannya di perut Alya, di bawah tulang rusuknya. Sensasi sentuhan itu membuat Alya tersentak.
“Di sini. Rasakan paru-parumu terisi. Sekarang, bicaralah.”
“Aku… ingin… air putih… tolong,” ulang Alya, kali ini suaranya lebih stabil dan sedikit lebih rendah.
“Bagus,” Arka memuji, senyum tipis—hampir tulus—tersungging di bibirnya. “Suara yang stabil menunjukkan kekuasaan, Alya. Suara yang bergetar menunjukkan kelemahan. Jangan pernah tunjukkan kelemahanmu di depan siapa pun.”
Grooming Dominan-Subtle
Yang paling mengganggu Alya adalah sesi grooming (pembentukan penampilan) yang dilakukan Arka.
Suatu malam, Arka memergoki Alya sedang membaca buku di ranjang. Rambut Alya acak-acakan, kacamata bertengger di hidungnya.
Arka mengambil buku Alya, menutupnya, dan menyingkirkan kacamatanya.
“Kau punya penglihatan yang sempurna. Kacamata itu hanya membuatmu terlihat seperti kutu buku yang rentan,” kata Arka, suaranya mengandung kritik.
Alya memprotes, “Tapi saya suka kacamata saya!”
“Aku tidak peduli,” balas Arka, nada suaranya tegas. “Aku sudah membelikanmu lensa kontak. Pakai itu. Kau harus terlihat tajam, Alya.”
Dia membuka kotak lensa kontak, mengambil satu, dan dengan hati-hati meletakkannya di telapak tangan Alya. Arka mengawasi Alya saat Alya berusaha memasangnya.
“Jangan gemetar. Fokus. Jika kau tidak bisa mengendalikan tanganmu, bagaimana kau bisa mengendalikan hidupmu?” Arka mendesaknya.
Setelah Alya berhasil memasang lensa kontak, Arka menatapnya. Dia memiringkan kepala Alya, mengamati wajah Alya.
“Jauh lebih baik,” gumam Arka.
Kemudian, Arka meraih sisir dari meja rias dan mulai menyisir rambut Alya. Sentuhan Arka di rambut Alya lembut dan hati-hati, sebuah tindakan yang bertentangan dengan dominasinya.
“Rambutmu terlalu kusut, Alya. Aku sudah menyuruh Jeevan untuk menjadwalkan salon. Tapi saat di rumah, sisirlah sendiri. Kau harus merawat dirimu. Jangan pernah lupa bahwa kau mewakili diriku. Kecantikanmu adalah refleksi dari kekuasaanku.”
Saat Arka menyisir, Alya merasakan sensasi yang membingungkan. Ini adalah tindakan kelembutan, tetapi itu adalah kelembutan yang dipaksakan. Arka tidak peduli pada kenyamanan Alya, dia peduli pada kesempurnaan Alya sesuai standarnya.
Alya menemukan dirinya menikmati keintiman fisik yang sangat dekat, tetapi tidak berbahaya ini. Dia menikmati fokus Arka, perhatian Arka, dan sentuhan Arka yang stabil dan kuat. Kebenciannya terhadap Arka mulai tergerus oleh rasa hormat, dan yang lebih berbahaya, oleh ketertarikan yang baru tumbuh.
Arka tidak hanya melatihnya, dia merayu Alya, bukan dengan kata-kata cinta, tetapi dengan kendali yang tak tertandingi dan janji akan kesempurnaan.
Alya mulai merasa, bahwa menjadi Nyonya Darendra yang sempurna adalah satu-satunya cara untuk bertahan. Jika ia sempurna, Arka akan lebih longgar, dan ia bisa mencari celah untuk melarikan diri. Namun, jauh di lubuk hatinya, Alya mulai takut: bagaimana jika ia menjadi terlalu sempurna, dan Arka tidak akan pernah membiarkannya pergi?
Di penghujung minggu itu, Alya sudah berubah. Dia berjalan lebih anggun, berbicara lebih stabil, dan secara fisik, dia tampak lebih tajam dan terawat. Ia benar-benar menjadi Istri Kecil CEO, sebuah mahakarya di bawah kendali seorang maestro yang obsesif.
Tetapi ia harus sangat waspada, karena semua ‘kelembutan’ Arka ini hanyalah cara untuk memastikan, Alya akan jatuh cinta pada sangkarnya sendiri.