Arkan, seorang pria kaya dan berkuasa dengan kepribadian yang dingin dan suka mengontrol orang lain, terjebak dalam permainan cinta dengan Aisyah, seorang wanita muda yang cantik dan berani. Aisyah memiliki tujuan tertentu untuk Arkan, dan ia akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.
Arkan memiliki rencana untuk Aisyah, tetapi seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Aisyah. Ia mulai mempertanyakan perasaan dirinya sendiri dan mencoba untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam hatinya.
Aisyah sendiri juga memiliki rahasia yang tidak diketahui oleh Arkan. Ia memiliki tujuan untuk membalas dendam kepada orang yang telah menyakiti keluarganya, dan Arkan menjadi bagian dari rencananya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhamad Wirdan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 37
Arkan mengatur napasnya yang kacau, mencoba menjernihkan pikirannya walau suara langkah pria bertubuh besar itu makin mendekat—gemanya seperti memantul di dalam kepalanya sendiri.
Pilihan “kabur atau bertarung” terasa seperti dua pintu yang sama-sama berujung maut.
Namun kalimat terakhir Aisya masih membekas, menusuk keras di jantungnya:
"Arkan—lari!"
Itulah satu-satunya hal yang Darin dan Aisya setujui pada saat yang sama.
Arkan tidak boleh ditangkap.
Dan itu lebih menakutkan daripada pria yang kini menuruni anak tangga seperti seekor binatang buas.
“Jangan membuatku kejar dua kali,” suara pria itu menegang, setiap kata menggetarkan udara. Tangannya yang besar menekan pegangan tangga hingga besinya berderit.
Arkan memalingkan wajahnya sejenak—melirik pintu lantai bawah yang tinggal beberapa langkah lagi.
Dia bisa mencapainya.
Tapi apakah sempat?
Pria itu bergerak duluan.
TAP. TAP. TAP.
Langkahnya bukan lari… tapi pasti. Mengancam. Seolah dia paham bahwa Arkan sedang bimbang, dan celah sekecil apa pun adalah peluang.
Arkan menelan ludah. Tangan kirinya mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.
“Apa pun yang terjadi… aku harus keluar dari sini.”
Arkan mencondongkan tubuh, siap berlari ke pintu.
Namun pria itu mendengus pelan, seperti tahu.
“Kau pikir bisa kabur lagi?”
Dan tanpa peringatan—
DUARR!!
Pria itu melompat. Bukan sekadar melompat—dia menghantam anak tangga tepat di depannya, menghempaskan tubuhnya seperti proyektil. Lantai bergetar. Pecahan beton kecil terpental ke arah Arkan.
Arkan tertegun setengah detik—setengah detik terlalu lama.
Pria itu mengayunkan lengan tebalnya.
BUAKK!
Hembusan angin pukulannya saja membuat Arkan tersandung mundur, meski pukulan itu meleset hanya beberapa sentimeter dari wajahnya.
Arkan refleks menunduk—lalu berputar dan berlari sekuat tenaga ke pintu.
Tangan kanannya meraih gagang pintu—
“Tidak begitu cepat.”
Suara berat itu terdengar tepat di belakangnya.
Arkan memutar tubuh dan—
cekrak
Pagar tangga di sampingnya penyok seketika saat fist pria itu menghantamnya hanya beberapa sentimeter dari kepala Arkan.
Arkan merasakan serpihan besi kecil mengenai pipinya.
Pria itu mendekat, senyumnya makin lebar.
“Kau tahu kenapa Darin melarangmu kembali? Karena dia tahu aku akan menangkapmu cepat atau lambat.”
Arkan memundurkan diri sampai punggungnya menempel ke pintu.
“Dan Aisya meneleponmu tepat waktu...” lanjut pria itu sambil condong mendekat. “Untuk memastikan kau tidak membuat pilihan bodoh.”
Arkan mengerjap. Ada sesuatu yang aneh.
“Kau… tahu tentang Aisya?” suara Arkan pecah.
Pria itu tidak menjawab. Dia hanya menegakkan tubuhnya perlahan.
Lalu, sambil menatap Arkan tajam—
Dia melepas maskernya.l
Arkan menahan napas saat wajah itu terlihat jelas.
Wajah yang ia kenal.
Wajah yang dulu muncul dalam mimpi-mimpi buruk masa kecilnya. Wajah yang ia pikir sudah hilang dari hidupnya.
Jantung Arkan berdegup liar.
“Kau…” napasnya tercekat. “Kau masih hidup…?”
Pria itu mengangkat dagunya, matanya menyala dengan kepuasan dingin.
“Tentu saja aku masih hidup, Arkan.”
Ia mendekat lagi, suaranya merendah, menggetarkan.
“Dan aku datang untuk menjemputmu pulang.”
Arkan membeku.
Darahnya seperti berhenti mengalir saat menatap wajah pria itu—wajah yang seharusnya hanya tersisa di masa lalu, tersimpan rapat dalam ingatannya yang paling kelam.
“Tidak mungkin…” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau… seharusnya mati.”
Pria itu tersenyum kecil, namun senyuman itu tidak pernah mencapai matanya. Ada kegilaan yang tenang di sana. Seolah kematian pernah mengintipnya sangat dekat… lalu gagal menjemput.
“Kau berharap begitu.” Ia melangkah turun satu anak tangga. “Tapi aku tidak mati, Arkan. Justru kau lah yang kami cari selama ini.”
Arkan merasakan kakinya melemas. Tembok di belakangnya adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap tegak.
“Kenapa… sekarang?” Arkan memaksa suaranya keluar. “Setelah semua yang terjadi? Setelah bertahun-tahun… kenapa sekarang baru muncul?”
Pria itu memasukkan kedua tangannya ke saku hoodie-nya, langkahnya pelan namun stabil saat mendekat.
“Kau pikir kami tidak mencari?” Jawabnya. “Kami mencarimu setiap hari. Setiap bulan. Setiap tahun. Tapi kau hilang… menghilang begitu bersih sehingga kami mengira seseorang telah mengambilmu.”
Ia berhenti beberapa langkah di depan Arkan.
“Ternyata benar.”
Arkan membeku. Ia tahu ke mana arah pembicaraan itu.
“Darin…” bisiknya.
Pria itu mendecakkan lidah. “Anak itu terlalu mencampuri urusan yang bukan miliknya.”
Nada dingin itu menusuk lebih tajam daripada pukulannya.
Arkan menggigit bibirnya.
“Kalau kau sentuh dia—”
“Arkan.” Pria itu memotongnya dengan suara datar. “Kalau Darin tidak ingin kami membunuhmu waktu itu… kau sudah mati sejak kau berumur sembilan.”
Arkan terdiam. Dunia seperti menyempit—tinggal suara napas keduanya dan gema samar dari tangga darurat.
Pria itu mencondongkan tubuh sedikit.
“Sekarang… ikut aku dengan tenang. Kau tahu kau tidak bisa menang. Kau tidak seharusnya melawan takdirmu.”
Arkan menunduk. Kedua tangannya mengepal gemetar.
Aisya dalam bahaya. Darin bertarung sendirian. Dan pria ini… pria yang seharusnya sudah mati… berdiri di hadapannya, ingin menyeretnya kembali ke masa lalu yang ia tutup rapat.
Arkan mengangkat wajahnya perlahan.
Dan untuk pertama kalinya sejak pria itu muncul… matanya tidak hanya dipenuhi ketakutan.
Ada sesuatu yang lain.
Api kecil. Keputusan.
“Aku tidak ikut denganmu.” suara Arkan pelan namun tegas.
Pria itu berhenti. Alisnya terangkat sedikit.
Arkan menggenggam gagang pintu darurat di belakangnya.
“Dan kalau kau pikir aku akan kembali ke tempat itu… kau salah besar.”
Pria itu menghela napas, panjang, seolah menahan kesabaran terakhirnya.
“Arkan… jangan memaksa aku—”
Terlambat.
Arkan memutar gagang pintu dan—
BRUKK!!
Dengan seluruh tenaga yang tersisa, ia menendang pintu darurat ke belakang sambil menjatuhkan dirinya ke depan, memanfaatkan momentum untuk menjauh dari pria itu.
Pintu terbuka keras, menghantam dinding luar.
Arkan berlari keluar.
Namun baru beberapa langkah—
TANGAN BESAR ITU MERAIH PERGELANGANNYA.
Cengkeraman itu seperti besi panas.
“Jangan memaksa aku menyakitimu,” pria itu menggeram.
Arkan meronta, tapi kekuatannya tidak sebanding. Cengkeraman itu makin keras, membuat lengannya seperti akan patah.
Arkan menggertakkan gigi.
Dalam sepersekian detik, ia membuat keputusan yang bahkan tidak ia pikirkan.
Ia memutar tubuhnya dan—
MENGHANTAMKAN KEPALANYA KE WAJAH PRIA ITU.
DUUGG!!
Pria itu terhuyung. Cengkeramannya melemah.
Arkan menarik lengannya dan lari.
Tanpa menoleh lagi.
Pria itu tertawa rendah di belakangnya.
“Akhirnya… kau mulai menunjukkan siapa dirimu sebenarnya…”
Suara itu bergema, dingin, penuh ancaman.
Arkan berlari secepat mungkin, melewati lorong sempit yang mengarah ke area parkir basement. Napasnya tercekik oleh rasa takut, adrenalin, dan suara langkah berat yang masih terdengar dari belakang—pelan, tapi konstan. Mengikuti. Memburu.
Dia tidak berlari… tapi dia tahu aku tidak bisa jauh.
Arkan melewati tumpukan kardus bekas, hampir tersandung, namun tetap memaksa kakinya melaju. Kepala yang tadi ia hantamkan mulai berdenyut, membuat penglihatannya sedikit kabur.
Namun ia tidak punya waktu untuk merasa pusing.
Tidak saat Aisya sedang dikejar di rumah. Tidak saat Darin bertarung sendirian entah di kondisi apa.
Dan tidak saat pria itu—hantu masa lalunya—muncul kembali setelah bertahun-tahun.
“Aku harus keluar dari gedung ini…” Arkan menggigit bibirnya, menahan napas agar tidak terisak. “Aku harus selamat… lalu aku harus ke Aisya… dulu.”
Pikiran itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa sesak seperti dicekik dari dalam.
Tiba-tiba suara berat itu menggema dari tangga darurat, lantang dan tenang.
“Arkaaan…”
Arkan merasakan bulu kuduknya naik.
Suara itu bukan teriakan. Justru sebaliknya—lebih menyeramkan.
Itu adalah panggilan seseorang yang yakin mangsanya tidak akan lolos jauh.
Seperti predator memanggil mangsanya yang terluka.
“Jangan membuatku menggunakan kekerasan yang tidak perlu. Aku tidak mau membawa kau kembali dalam keadaan rusak.”
Arkan mengumpat dalam hati. Sialan… dia masih sesantai itu?!
Ia akhirnya mencapai pintu logam menuju area parkir bawah tanah. Ia menabrakkan tubuhnya ke pintu itu—
DORRR!!
Tapi pintu itu terkunci.
“Tidak…” Arkan memukul-mukul gagangnya. “Jangan sekarang! Ayolah—”
Ia mendorong, menendang, memutar kenop berkali-kali.
Tidak bergerak.
“Pintunya… dikunci dari dalam?” Arkan bergumam, mulai putus asa.
Di belakangnya, suara langkah itu kembali terdengar.
Pelan. Penuh perhitungan.
TAP… TAP… TAP…
Arkan memalingkan wajah. Di ujung lorong gelap itu, bayangan pria besar itu mulai terlihat.
Ia tidak terburu-buru. Tidak perlu.
“Terjepit?” Pria itu bertanya santai. “Sudah kuduga. Kau selalu punya kebiasaan lari tanpa rencana.”
Arkan merasakan dadanya mengencang.
“Diam!” Ia berteriak panik, namun suaranya pecah. “Jangan mendekat!”
Pria itu justru melangkah lebih pelan, seolah menikmati setiap detik ketakutan Arkan.
“Aku tidak datang untuk membunuhmu, Arkan. Kalau itu tujuanku, kau sudah mati bahkan sebelum Darin tahu keberadaanmu.”
Pria itu menurunkan kepalanya sedikit, menatap lurus ke arah Arkan.
“Yang mengherankan hanya satu… bagaimana ia bisa menemuimu duluan.”
Arkan menggigit bibirnya, menahan rasa sakit dan amarah.
“Darin bukan apa-apa buat kalian,” katanya dengan suara yang hampir bergetar. “Dia menyelamatkan aku. Berkali-kali. Kau bahkan tidak tahu apa pun tentang dia.”
Pria itu terkekeh rendah.
“Oh, aku tahu banyak.” Ia mendekat setapak. “Lebih banyak daripada kau tahu.”
Arkan menegang.
“Apa maksudmu?”
Pria itu berhenti, senyumnya miring.
“Kau pikir Darin menolongmu tanpa alasan? Tanpa kepentingan?” suaranya merendah, dingin. “Kau pikir dia bukan bagian dari lingkaran yang sama yang mencoba mengambilmu?”
Arkan mengerut, bingung sekaligus gemetar.
“Darin melindungiku. Dia—”
“Tentu saja,” pria itu menyela. “Dia harus melakukannya. Itu tugasnya.”
Jantung Arkan seperti berhenti berdetak sepersekian detik.
“…tugas?”
Pria itu mengangguk.
“Ya. Menjagamu tetap hidup… sampai waktunya tiba.”
Arkan merasakan sesuatu pecah dalam dirinya.
Bukan karena satu kalimat itu saja—tapi karena cara pria itu mengatakannya. Datar. Yakin. Seolah itu kebenaran mutlak yang sudah lama diketahui semua orang… kecuali Arkan sendiri.
“Tidak… Darin bukan bagian dari kalian. Dia bukan!” Arkan memaksa suaranya keluar. “Dia—”
Pria itu mengangkat tangan, memotong kasar.
“Arkan, Darin itu—”
Namun sebelum ia melanjutkan—
BRUK!
Sesuatu keras menimpa kepala pria itu dari belakang.
Pria itu tersentak dan berbalik.
Seorang petugas kebersihan tua berdiri dengan sapu pel berbesi di tangannya, wajahnya pucat ketakutan.
“Sa-saya sudah telepon keamanan!” katanya gagap. “Jangan sakiti anak itu!”
Untuk sesaat, keheningan menyelimuti.
Arkan memandang pria itu.
Pria itu memandang petugas itu.
Dan dalam sepersekian detik Arkan tahu sesuatu: petugas itu sudah membuat keputusan paling buruk dalam hidupnya.
“Ini akan semakin menarik, Arkan.”