NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:692
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 9 - Snow bastion

Salju masih turun tipis ketika kami berhenti di depan gerbang citadel. Gerbang itu menjulang tinggi, terbuat dari besi hitam legam yang berkarat di beberapa sisinya, kontras dengan putihnya dunia yang mengelilinginya.

Suara krek... krek... dari mekanisme rantai besi menggema saat gerbang perlahan terbuka. Dari celah yang makin lebar, terbentang halaman luas yang tertutup salju padat, diapit tembok-tembok batu setinggi gunung. Udara di dalam benteng justru terasa lebih menusuk, seolah hawa dingin sengaja dikurung agar siapa pun yang masuk bisa merasakannya.

Aku melangkah masuk, dan segera sadar: berada di balik tembok ini tidak membuatku aman-justru lebih berbahaya. Puluhan pasang mata calon knight yang sudah lebih dulu datang menatapku penuh curiga. Tatapan mereka tajam, seakan menilai apakah aku cukup kuat... atau hanya umpan beku berikutnya.

Tiba-tiba, suara berat menggema dari atas tembok.

"Ehem."

Aku menoleh. Seorang pria raksasa berdiri di atas balkon batu. Tubuhnya dipenuhi zirah baja yang dilapis bulu serigala, jenggot panjang menutupi sebagian wajahnya, rambut pirang kusut diikat ke belakang. Sorot matanya dingin, setajam pedang.

"Perkenalkan," suaranya menggelegar, melampaui deru angin. "Aku Lord Victor Draemir. Aku yang mengatur segala hal di Citadel ini. Mulai dari latihan, disiplin, hingga memastikan siapa yang pantas bertahan... dan siapa yang tidak."

Suasana hening. Hanya deru angin yang terdengar.

"Aku tahu kalian lelah setelah perjalanan panjang," lanjutnya. "Tapi istirahat tidak akan kalian dapatkan sekarang. Acara baru saja dimulai."

Salah seorang peserta memberanikan diri mengangkat tangan.

"Acara... seperti apa, Yang Mulia?"

Victor menyeringai tipis.

"Pertanyaan yang bagus. Aku ingin kalian semua bertarung."

Bisikan kebingungan segera memenuhi halaman. Namun sebelum ada yang sempat bertanya lagi, Victor menambahkan:

"Bertarunglah sampai aku berkata berhenti. Yang masih berdiri di akhir akan mendapatkan hadiah. Yang terkapar... mungkin masih punya kesempatan esok hari."

Suasana langsung berubah. Ketegangan mendidih. Tiba-tiba terdengar teriakan, dan seorang peserta menyerang lawan di sebelahnya. Dalam sekejap, lapangan salju menjelma menjadi arena perkelahian brutal.

Aku berdiri mematung. Aku benar-benar harus ikut?

Seketika sebuah tinju melesat dari samping. Aku sempat melihat bayangan lengan sebelum menyadari pukulan itu mengarah ke wajahku. Naluri mengambil alih. Aku menunduk, lalu melayangkan pukulan balasan ke perut penyerang. Ia terhuyung, dan aku menendangnya hingga tersungkur ke salju.

Tubuhku bergerak begitu cepat... apa ini benar-benar aku?

Belum sempat bernapas, lenganku ditarik keras dari belakang. Tubuhku dilempar seperti karung, jatuh ke kerumunan yang sedang bertarung. Salju masuk ke mulutku. Aku berusaha bangkit, tapi lawan baruku sudah melayangkan tendangan ke arah kepalaku.

Tidak ada waktu untuk menghindar. Aku menangkis dengan kedua lengan-dan tubuhku terpental keras ke salju.

Jika aku lengah sedikit saja, aku sudah mati sekarang.

Lawan itu kembali menyerang. Aku menggertakkan gigi, menendang kakinya tepat di lutut. Ia jatuh, dan dalam sepersekian detik aku melayangkan tinju ke rahangnya. Bam! Tubuhnya terkapar tak bergerak.

Belum sempat aku tenang, seseorang menyeretku lagi, lalu menghantamku dengan rentetan pukulan. Aku menahan semuanya dengan susah payah. Nafasku mulai memburu. Tapi ketika ia kehilangan keseimbangan, aku membalas dengan tinju penuh tenaga. Rahangnya berbunyi krek sebelum ia jatuh pingsan.

"Berhenti!"

Suara Victor meledak seperti guntur. Semua perkelahian seketika berhenti. Nafas para peserta terengah-engah, beberapa sudah tak sanggup berdiri. Aku melirik sekeliling: hanya sepuluh orang yang masih tegak di atas salju-dan aku salah satunya.

Orang-orang itu penuh luka, darah, dan lebam. Anehnya, aku sendiri masih berdiri tanpa goresan berarti. Tanganku bergetar, bukan karena dingin, tapi karena adrenalin yang belum surut.

Di atas balkon, tatapan Victor menancap padaku. Tajam. Panjang. Seakan dia melihat sesuatu di balik kulitku-sesuatu yang bahkan aku sendiri belum mengerti.

"Selamat bagi kalian yang masih berdiri," ucap Victor akhirnya. "Hadiah kalian adalah pakaian hangat dari kulit hewan, dan pedang pertama kalian."

Ia berhenti sejenak, sebelum menatap kami satu per satu.

"Bagi yang terkapar... masih ada esok hari. Tunjukkan bahwa kalian pantas berada di sini. Atau mati beku di salju, itu pilihan kalian."

Victor lalu berbalik, melangkah masuk ke salah satu menara benteng.

Aku menarik napas panjang. Salju kembali turun, menutupi bekas darah di tanah. Bersama sembilan orang lainnya, aku berjalan menuju barak. Malam ini kami diberi kesempatan beristirahat. Besok, pelatihan sebenarnya baru dimulai.

Dan entah kenapa... tatapan Victor tadi terus menghantui pikiranku.

Malam di barak terasa panjang. Meski tubuhku dipenuhi rasa lelah, tidur sama sekali tidak datang dengan mudah. Suara hembusan angin dari celah-celah dinding kayu bercampur dengan rintihan para peserta yang tubuhnya masih sakit. Bau darah kering, keringat, dan bulu hewan memenuhi ruangan pengap ini.

Aku hanya bisa memejamkan mata, berusaha tidak memikirkan tatapan Lord Victor yang menusukku sore tadi.

Pagi datang terlalu cepat.

Pintu barak terbuka keras-BRAK!-dan udara dingin langsung menerpa wajahku. Seorang penjaga berzirah kulit serigala masuk.

"Bangun, kalian semua. Cepat keluar! Latihan dimulai sekarang."

Dengan tubuh yang masih kaku, kami bersepuluh berjalan keluar ke lapangan yang sudah ditutupi salju baru. Udara pagi ini lebih dingin, menusuk hingga tulang.

Lord Victor sudah menunggu di tengah lapangan, pedang besar di punggungnya. Sorot matanya tajam, sama seperti kemarin.

"Selamat pagi, anak-anak beku," ucapnya datar. "Jika kalian pikir kemarin sudah cukup, kalian salah besar. Pertarungan yang kalian alami hanyalah pemanasan. Hari ini, kita akan melihat siapa di antara kalian yang bisa bertahan hidup... bukan hanya bertarung."

Ia mengangkat tangannya, lalu menunjuk ke arah gerbang kecil di sisi barat citadel.

"Kalian akan berburu."

Bisikan kebingungan terdengar di antara peserta. Salah seorang, pemuda berambut hitam kusut, memberanikan diri angkat suara.

"Berburu... apa, Yang Mulia?"

Victor tersenyum samar, tapi senyum itu sama sekali tidak membawa kehangatan.

"Apa pun yang mencoba membunuh kalian di hutan Frostwood. Serigala salju, beruang beku, atau... mungkin sesama kalian, kalau kalian cukup putus asa."

Beberapa wajah pucat seketika. Aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat.

"Kalian akan dibekali satu pedang, satu mantel bulu. Tidak ada makanan, tidak ada api. Waktu kalian... sampai matahari terbenam. Siapa yang kembali dengan mangsa, dianggap layak. Siapa yang kembali dengan tangan kosong, akan aku pastikan malam ini kalian tidak tidur di dalam barak."

Suasana hening, hanya angin yang menggulung di antara kami.

Seorang gadis berambut pirang di sampingku berbisik lirih, nyaris tak terdengar.

"Ini gila... kita bahkan belum tahu cara menggunakan pedang."

Aku menoleh sekilas. Wajahnya pucat, tapi matanya masih menyala penuh tekad. Ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda dari peserta lain-ketakutan, tapi bercampur dengan keberanian untuk melawan.

Sebelum aku sempat menanggapi, para penjaga membagikan pedang sederhana. Baja dingin terasa berat di genggamanku. Tidak tajam sempurna, tapi cukup untuk membunuh.

Victor melangkah mundur, tangannya terlipat di dada.

"Gerbang akan dibuka sekarang. Ingat, salju Frostwood tidak mengenal belas kasihan. Dan aku pun tidak."

Gerbang kecil berderit terbuka, memperlihatkan hutan bersalju yang pekat, seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa saja yang masuk.

Aku menggenggam pedang lebih erat. Nafasku membentuk kabut tipis di udara.

Hari ini... bukan hanya tentang bertahan hidup. Hari ini akan menentukan siapa yang benar-benar pantas berada di sini.

Aku melangkah ke dalam hutan, bersama sembilan orang lainnya. Dari balik tembok, aku masih bisa merasakan tatapan Lord Victor yang mengikuti punggungku.

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!