Amel Fira Azzahra gadis kecil yang memiliki wajah sangat cantik, mempunyai lesuk pipi, yang di penuhi dengan kasih sayang oleh kedua orang tuanya. Namun sayang kebahagian itu tidak berlangsung lama. Setelah meninggalnya Ibu tercinta, Amel tidak lagi mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Bapaknya selalu bekerja di luar kota. Sedangkan Amel di titipkan ke pada Kakak dari Bapaknya Amel. Tidak hanya itu, setelah dewasa pun Amel tetap menderita. Amel di khianati oleh tunangannya dan di tinggal begitu saja. Akankah Amel bisa mendapatkan kebahagiaan?
Yukk ikuti terus ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aretha_Linsey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 Permintaan Maaf
Matahari sudah meninggi, tetapi Amel masih merasa berat untuk bangkit dari ranjang. Kepalanya pusing, bukan karena lelah balapan semalam, melainkan karena konfrontasi yang memalukan di garis finish. Udin, Fatur, jeritan, dan tatapan meremehkan dari penonton semuanya bercampur menjadi kabut amarah dan kekecewaan.
Di dapur, Ayah Amel sedang menyiapkan sarapan. Amel tahu Ayahnya pasti melihat kondisinya, tetapi ia memilih bungkam. Peringatan Ayah tentang risiko terbesar Amel ternyata bukan kecepatan motor, melainkan emosi manusia.
"Semalam ada keributan ya, Mel" tanya Ayah Amel, tanpa menoleh.
Amel terdiam sejenak.
"Hanya salah paham, Yah. Ada teman lama yang baru pulang dan sedikit terlalu protektif."
la sengaja meredakan cerita, tidak menyebut Udin dan Fatur yang nyaris berkelahi. Ayahnya menghela napas, tampak tidak sepenuhnya percaya, namun ia menghormati privasi Amel.
"Baiklah. Tapi janji Ayah, jangan sampai melibatkan diri mu dalam hal berbahaya yang bukan di lintasan, ya Nak. Itu lebih sulit dikendalikan daripada motor 150cc!
Amel mengangguk. la tahu, persetujuannya dengan Ayah tidak akan bertahan lama jika keributan seperti semalam terulang.
Siang harinya, saat Ayah Amel pergi ke desa sebelah untuk mengambil proyek pertukangan, Udin datang. Dia tidak menggedor pintu, atau bahkan masuk.
Dia menunggu di bangku kayu di bawah pohon Jati di depan halaman rumah Amel. Amel melihat Udin dari jendela. Pakaian Udin sudah berganti menjadi lebih rapi, rambutnya disisir bersih. la duduk diam, kepalanya tertunduk, tangannya memilin ujung kausnya dengan gelisah. Ini adalah Udin yang
berbeda dari preman yang menerjang Fatur semalam.
Amel berjalan keluar
"Apa yang kamu lakukan di sini, Din?" tanya Amel, suaranya datar dan dingin.
Udin bangkit berdiri dengan cepat. Matanya tampak sembap, menunjukkan bahwa ia mungkin tidak tidur semalaman.
"Mel, aku-aku minta maaf. Atas kejadian yang terjadi semalam. Aku benar benar minta maaf. Aku tidak seharusnya melakukan itu, ". kata Udin, suaranya serak. la tampak tulus menyesal.
"Tidak seharusnya kamu muncul sepert itu, Udin. Kamu membuatku malu, dan kamu hampir membuatku melanggar janji dengan Ayahku, " balas Amel nadanya tetap keras.
"Apa yang kamu pikirkan? Aku bukan properti, Din!"
Udin menundukkan kepala lagi.
"Aku tahu, aku tahu. Aku cemburu, Mel.Saat aku melihat kamu di dekati pria lain, pria yang lebih segalanya dariku...aku panik. Aku takut kamu diambil. Aku takut kamu kembali menderita dan aku tidak ada di sana, jadi aku harus mengamankanmu."
Udin mengangkat kepala, matanya kini memohon.
"Aku janji, Mel. Aku janji akan lebih sabar. Aku akan mencoba mencintaimu dengan lebih baik. Bukan dengan marah dan obsesi. Tolong, beri aku satu kesempatan lagi. Aku sudah kembali untukmu, Mel"
Amel menghela napas. Dia melihat keputusasaan Udin, dan dia mengerti. Udin seperti dirinya pernah merasakan kepahitan hidup. NamunUdin, seperti dirinya, pernah merasakan kepahitan hidup. Namun, kepahitan Udin menjelma menjadi posesif, sementara kepahitan Amel menjelma menjadi kemandirian.
Amel tidak langsung melunak. la maju selangkah, menatap langsung ke mata Udin.
"Aku sudah terlalu banyak kehilangan, Din. Aku kehilangan lbu, aku kehilangan waktu, dan aku hampir kehilangan diriku sendiri saat hidup di
kontrakan, " ujar Amel, suaranya pelan tapi tegas.
"Derita setelah kepergian Ibu mengajarkanku bahwa satu satunya hal yang tidak boleh hilang dariku
adalah kendali atas hidupku sendiri."
Udin mendengarkan dengan serius, tidak menyela.
"Kamu datang ke sini, dan kamu mencintaiku dengan obsesi. Kamu mencintaiku karena kamu takut aku akan menderita dan meninggalkanmu, atau diambil orang lain. Itu bukan cinta, Din. Itu ego, itu ketakutan, dan kamu hanya terobsesi padaku".
Amel menunjuk ke dadanya sendiri.
"Aku butuh kamu mencintaiku dengan tulus. Aku butuh kamu percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri, di luar lintasan balap, di luar kekayaan Fatur, dan di luar kecemburuanmu." Amel menekankan setiap kata.
"Cintailah aku dengan kepercayaan. Biarkan aku bernapas. Dukunglah Dana Kebebasan-ku, bukan
menentangnya. kalau kamu tidak bisa melakukannya, kalau kamu hanya mencintaiku dengan obsesi dan ingin aku berada dalam sangkar
proteksimu, maka lebih baik kamu kembali ke Jakarta dan kita akhiri semua ini".
Udin tertegun. Ini bukan Amel yang ia tinggalkan; ini adalah Lady Rose di kehidupan nyata-kuat, tegas, dan menuntut rasa hormat. la menyadari betapa dewasanya Amel dalam waktu singkat ini.
Aku mengerti, Mel, " Udin mengangguk pelan.
"Aku akan belajar. Aku akan mencintaimu dengan sabar, dengan tulus. Aku tidak ingin kehilanganmu
lagi. Maafkan aku telah melihatmu sebagai barang yang harus diamankan."
Udin melangkah mendekat, tetapi kali ini ia menahan diri, tidak mencoba memeluk Amel. la hanya menggenggam tangan Amel. Genggaman itu terasa lebih lembut, tidak lagi mengklaim, tetapi meminta izin.
Sejak hari itu, Udin memenuhi janjinya. la tidak lagi datang dengan amarah atau menginterogasi Amel. la membantu Ayah Amel dengan proyek kecil di desa, mencoba berintegrasi kembali dengan kehidupan Amel tanpa mengganggu ruang geraknya. la mengajak Amel belajar bersama, atau sekadar bercerita tentang proyeknya di Jakarta, tanpa pernah lagi menyebut balapan atau Fatur.
Amel melihat perubahan itu. Ada usaha nyata, ada kedewasaan yang mulai tumbuh dari sisi Udin. Perlahan, Amel sudah mulai terbiasa menerima Udin yang baru ini. Kehadiran Udin di sisinya kini terasa nyaman, seperti selimut hangat di tengah rasa dingin kedukaan. la menemukan lagi fondasi hubungan mereka, yang kini dibangun di atas kepercayaan, bukan ketergantungan.
Hubungan mereka pun kembali dekat, lebih tenang dari sebelumnya.
Namun, saat Amel dan Udin sedang duduk di teras, membahas rencana Udin untuk mencari pekerjaan permanen di desa agar lebih dekat dengan Amel, ponsel Amel bergetar.
Itu adalah notifikasi pesan dari nomor tak dikenal.
Pesan itu hanya berisi satu kalimat singkat dan lokasi:
[Teks: Saya tunggu jawaban dinner-mu, Rose. Aku tahu kamu pantas mendapatkan yang lebih dari sekadar bangku kayu itu.]
Di belakang pesan itu, terselip sebuah foto: Fatur sedang bersandar di mobil sport mewah berwarna gelap, tersenyum sinis, berdiri persis di tempat Amel memenangkan balapan semalam.
Udin yang melihat sekilas notifikasi di layar Amel, segera menarik tangannya. Tangan Amel terasa dingin, dan matanya memancarkan kecemasan yang baru. Udin menatap Amel, wajahnya kembali tegang, tetapi kali ini ia menahan amarahnya.
Tembok kepercayaan yang baru di bangun Amel dan Udin, kini goyah di hadapan bayangan Fatur yang arogan .
Halo guys jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya. Like don komen. Jika kalian suka aku bakal up 2 bab terus. Terimakasih