Seorang putri Adipati menikahi putra mahkota melalui dekrit pernikahan, namun kebahagiaan yang diharapkan berubah menjadi luka dan pengkhianatan. Rahasia demi rahasia terungkap, membuatnya mempertanyakan siapa yang bisa dipercaya. Di tengah kekacauan, ia mengambil langkah berani dengan meminta dekrit perceraian untuk membebaskan diri dari takdir yang mengikatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 01
Tampak seorang wanita cantik bagai lukisan, matanya berbinar bahagia, senyum manis tak lekang dari bibirnya yang merekah sempurna. Dengan anggun, ia menanti seseorang. Wajahnya yang bagai pahatan dewa, begitu memesona dalam balutan gaun pengantin yang mewah. Di tangannya, sebuah kipas sutra halus menutupi sebagian wajahnya, menyembunyikan rona merah yang menghiasi pipinya saat melihat siluet orang yang dinantinya muncul di balik bayangan pintu kamar pengantin.
Dialah Cheng Xiao, putri kesayangan Adipati Cheng Xiaoming, yang hari ini dipersunting oleh putra mahkota Wang Yuwen atas dekrit kekaisaran. Bukan Kaisar yang mengeluarkan titah tersebut, melainkan atas permintaan Cheng Xiao sendiri.
Sejak di akademi, hatinya telah terpaut pada sosok Wang Yuwen. Namun, ia sadar betul bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Sang putra mahkota tak pernah membalas perasaannya.
Senyum di bibir Cheng Xiao perlahan memudar saat bayangan di pintu menghilang. Hatinya mencelos, merasakan perih yang menusuk saat menyadari bahwa Wang Yuwen tak sudi datang di malam pernikahan mereka. Namun, secepat kilat, ia kembali memaksakan senyum. Dengan gerakan anggun, ia kembali menutupi wajahnya dengan kipas saat pintu kamar terbuka.
"Nona Cheng..."
Kebahagiaan yang sempat membuncah kini sirna, digantikan kekecewaan mendalam saat melihat Zhu Tian, tangan kanan sang putra mahkota, berdiri di ambang pintu.
"Di mana putra mahkota?" tanya Cheng Xiao lirih, tanpa menurunkan kipas yang menutupi wajahnya. Nada suaranya bergetar menahan kekecewaan.
"Malam ini, Yang Mulia memilih untuk bermalam di ruang baca," jawab Zhu Tian datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi.
Cheng Xiao hanya bisa menggigit bibir dalamnya, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Mendengar bahwa Wang Yuwen lebih memilih ruang baca daripada dirinya di malam pernikahan mereka, hatinya hancur berkeping-keping. Zhu Tian dengan hormat meletakkan sebuah giok milik Wang Yuwen di atas meja rias, lalu undur diri.
Perlahan, Cheng Xiao menurunkan kipasnya. Kecewa? Tentu saja. Hatinya remuk redam. Namun, inilah pilihannya. Ia harus menerima kenyataan pahit ini dengan lapang dada.
Cheng Xiao menghela napas panjang, berusaha menenangkan gejolak di dadanya. Ia berjalan mendekati meja rias, tempat giok milik Wang Yuwen tergeletak. Giok itu berwarna hijau zamrud dengan ukiran naga yang gagah, memancarkan aura dingin seperti pemiliknya. Cheng Xiao meraih giok itu, merasakan permukaannya yang halus dan dingin di telapak tangannya.
"Apakah aku sebodoh itu?" bisiknya pada diri sendiri. "Mengharapkan cinta dari seseorang yang jelas-jelas tidak menginginkanku."
Air mata akhirnya lolos dari pelupuk matanya, membasahi pipinya yang mulus. Ia menggenggam giok itu erat-erat, seolah mencari kekuatan dari benda mati. Malam pertama pernikahannya, seharusnya menjadi malam yang indah dan penuh cinta, kini berubah menjadi malam yang penuh dengan kesedihan dan kekecewaan.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pelan di pintu. Cheng Xiao dengan cepat menghapus air matanya dan kembali menutup wajahnya dengan kipas.
"Siapa itu?" tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar.
"Nona, ini aku, Lian'er," jawab sebuah suara lembut dari balik pintu. "Aku membawakan teh hangat untuk Nona."
Lian'er adalah pelayan setia Cheng Xiao sejak kecil. Ia selalu ada di sampingnya dalam suka maupun duka. Cheng Xiao menghela napas lega. Kehadiran Lian'er sedikit menghiburnya.
"Masuklah," jawab Cheng Xiao.
Pintu terbuka, dan Lian'er masuk dengan membawa nampan berisi teko teh dan cangkir. Ia menatap Cheng Xiao dengan tatapan khawatir.
"Nona, apakah Anda baik-baik saja?" tanya Lian'er lembut. "Saya mendengar bahwa Yang Mulia tidak datang ke kamar pengantin."
Cheng Xiao terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja, Lian'er," jawabnya berusaha tegar. "Hanya sedikit lelah."
Lian'er tidak percaya begitu saja. Ia tahu betul bagaimana perasaan Cheng Xiao saat ini. Namun, ia tidak ingin memaksa Nona-nya untuk bercerita. Ia hanya bisa memberikan dukungan dan menemani Cheng Xiao di malam yang sulit ini.
"Saya akan menuangkan teh untuk Nona," kata Lian'er sambil meletakkan nampan di atas meja. "Teh ini akan membuat Nona merasa lebih baik."
Cheng Xiao tersenyum tipis. "Terima kasih, Lian'er," ucapnya tulus.
Lian'er menuangkan teh ke dalam cangkir dan memberikannya kepada Cheng Xiao. Cheng Xiao menerima cangkir itu dan menyesap teh hangat tersebut. Aroma melati yang lembut sedikit menenangkan pikirannya.
"Lian'er," panggil Cheng Xiao setelah beberapa saat.
"Ya, Nona?" jawab Lian'er.
"Bisakah kau menemaniku malam ini?" pinta Cheng Xiao. "Aku tidak ingin sendirian."
Lian'er tersenyum lembut. "Tentu saja, Nona," jawabnya. "Aku akan selalu berada di sisi Nona."
Cheng Xiao merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian menghadapi malam yang sulit ini. Ia memiliki Lian'er, sahabat sekaligus pelayannya yang setia. Bersama, mereka akan melewati malam ini dan menghadapi hari esok dengan lebih kuat.
Di ruang baca yang remang-remang, sang putra mahkota masih mengenakan pakaian pernikahannya yang megah, namun tampak kusut dan tak terurus. Ia duduk lesu di depan meja kerjanya yang dipenuhi tumpukan buku dan gulungan perkamen. Di tengah kekacauan itu, terpampang sebuah lukisan indah seorang wanita yang sangat dicintainya. Mata Wang Yuwen memerah, menyorotkan kesedihan mendalam saat menatap wajah wanita dalam lukisan tersebut.
"Tuan, saya telah melaksanakan perintah Anda," lapor Zhu Tian dengan suara rendah, berusaha tidak mengganggu kesunyian ruangan. Ia berdiri tegak di ambang pintu, menunggu respons dari sang putra mahkota.
Namun, Wang Yuwen seolah tuli. Pikirannya melayang jauh, terfokus sepenuhnya pada lukisan di hadapannya. Ia tenggelam dalam kenangan indah bersama wanita itu, melupakan sejenak malam pernikahannya yang seharusnya membahagiakan.
"Tuan..." Zhu Tian mencoba memanggilnya sekali lagi, dengan nada yang lebih hati-hati.
"Keluarlah!" bentak Wang Yuwen tiba-tiba, memotong ucapan Zhu Tian dengan suara yang kasar dan penuh emosi. Ia bahkan tidak menoleh ke arah Zhu Tian, tetap terpaku pada lukisan di depannya.
Zhu Tian terkejut mendengar bentakan itu. Ia tahu betul betapa terpukulnya sang putra mahkota saat ini. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia membungkuk hormat dan segera meninggalkan ruangan, membiarkan Wang Yuwen sendiri dengan kesedihannya.
Wang Yuwen menghela napas berat, lalu meraih lukisan itu dan mendekapnya erat di dada. Air mata mulai mengalir deras membasahi pipinya.
"Maafkan aku, Jing Ying," bisiknya lirih, menyebut nama wanita dalam lukisan itu. "Aku tidak bisa bersamamu. Aku harus menikahi wanita lain."
Su Jing Ying adalah cinta sejatinya, wanita yang telah mengisi hatinya selama bertahun-tahun. Namun, takdir berkata lain. Ia tidak bisa menikahi Jing Ying karena berbagai alasan yang rumit dan pelik. Sebagai seorang putra mahkota, ia memiliki tanggung jawab besar terhadap kekaisaran. Ia harus mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadinya.
Pernikahannya dengan Cheng Xiao adalah salah satu bentuk pengorbanannya. Ia tahu bahwa Cheng Xiao mencintainya, dan ia berharap pernikahan ini bisa membawa kedamaian dan stabilitas bagi kekaisaran. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bersalah karena telah menyakiti hati Cheng Xiao. Ia tidak bisa memberikan cintanya kepada wanita itu, karena hatinya telah sepenuhnya menjadi milik Jing Ying.
Wang Yuwen memejamkan matanya, mencoba menenangkan gejolak emosi dalam dirinya. Ia tahu bahwa ia harus kuat. Ia harus bisa menjalankan perannya sebagai seorang putra mahkota dan seorang suami dengan baik. Namun, di saat yang sama, ia juga tidak bisa melupakan Jing Ying, wanita yang akan selalu menjadi bagian dari hatinya.
Tiba-tiba, ia teringat akan sesuatu. Ia membuka matanya dan meletakkan lukisan Jing Ying kembali di atas meja. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju sebuah lemari besar di sudut ruangan. Ia membuka lemari itu dan mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang terkunci.
Wang Yuwen mengambil sebuah kunci kecil dari sakunya dan membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat sebuah gelang giok berwarna putih dengan ukiran bunga plum yang indah. Gelang itu adalah hadiah yang ia berikan kepada Jing Ying beberapa tahun yang lalu.
Wang Yuwen meraih gelang itu dan memandangnya dengan tatapan sendu. Ia teringat akan saat-saat bahagia yang pernah ia lalui bersama Jing Ying. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di taman bunga plum, tempat mereka saling berbagi cerita dan impian.
"Aku akan selalu mencintaimu, Jing Ying," bisiknya lirih sambil menggenggam gelang itu erat-erat. "Meskipun kita tidak bisa bersama, kau akan selalu berada di hatiku."
Wang Yuwen kemudian menyimpan kembali gelang itu ke dalam kotak kayu dan menguncinya. Ia meletakkan kotak itu kembali ke dalam lemari dan menutupnya. Ia kembali duduk di depan meja kerjanya, menatap lukisan Jing Ying dengan tatapan yang penuh dengan cinta dan kesedihan. Malam itu, ia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus melayang-layang antara Jing Ying dan Cheng Xiao, antara cinta dan tanggung jawab, antara masa lalu dan masa depan.
semangat up nya 💪
semangat up lagi 💪💪💪
Semangat thor 💪