Gavin Adhitama (28 tahun) adalah menantu yang paling tidak berguna dan paling sering dihina di Kota Jakarta. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Karina Surya (27 tahun), Gavin hidup di bawah bayang-bayang hinaan keluarga mertuanya, dipanggil 'pecundang', 'sampah masyarakat', dan 'parasit' yang hanya bisa membersihkan rumah dan mencuci mobil.
Gavin menanggung semua celaan itu dengan sabar. Ia hanya memakai ponsel butut, pakaian lusuh, dan tidak pernah menghasilkan uang sepeser pun. Namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa Gavin yang terlihat kusam adalah Pewaris Tunggal dari Phoenix Group, sebuah konglomerat global bernilai triliunan rupiah.
Penyamarannya adalah wasiat kakeknya: ia harus hidup miskin dan menderita selama tiga tahun untuk menguji ketulusan dan kesabaran Karina, istrinya—satu-satunya orang yang (meski kecewa) masih menunjukkan sedikit kepedulian.
Tepat saat waktu penyamarannya habis, Keluarga Surya, yang terjerat utang besar dan berada di ambang kebangkrutan, menggan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rikistory33, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pembalasan
Lobi Phoenix Group, yang tadinya sunyi dan megah, kini terasa seperti medan perang yang penuh kebekuan. Kata-kata Gavin yang tajam menggantung di udara.
Desi Surya adalah yang pertama bangkit dari syok, tetapi gerakannya canggung dan panik. Ia segera merangkak maju, tidak peduli dengan martabatnya yang runtuh di depan Tuan Beny dan para eksekutif yang kini menatap dengan mata menghakimi.
"Gavin! Sayangku! Menantu kesayangan Ibu!" Desi mencoba meraih kaki Gavin, tetapi dicegah oleh pengawal berpakaian hitam yang bergerak secepat kilat. "Ini semua salah paham! Kami hanya mengujimu! Kami tahu kau hebat! Ya, kami menguji kesabaranmu, Sayang!"
Fajar Surya yang sombong kini berdiri gemetar, air mata palsu mulai menggenang. "Kak Gavin! Maafkan aku! Aku bodoh! Aku anak nakal! Semua hinaan itu... itu hanya candaan keluarga! Aku tidak tahu! Tolong jangan hukum kami!"
Wajah Fajar yang biasanya licik kini tampak menyedihkan. Pikirannya dipenuhi kengerian: mobilnya, jas barunya, bahkan masa depannya, kini berada di tangan orang yang ia anggap sampah dan selalu ia tindas.
Gavin tidak repot-repot melirik Desi maupun Fajar. Matanya terfokus pada Karina.
"Beny," panggil Gavin, suaranya tenang. "Bawa Tuan dan Nyonya Surya ke ruang tunggu VVIP. Beri mereka air mineral termahal yang kita punya. Dan pastikan mereka tidak berbicara dengan siapa pun, apalagi mencoba meninggalkan tempat ini."
Beny membungkuk dalam-dalam. "Segera dilaksanakan, Tuan Muda Adhitama."
Desi mencoba memohon lagi, "Tidak, Gavin! Aku harus ikut kau bicara! Aku bisa jelaskan..."
"Diam," perintah Gavin, suaranya kini dingin, dan kali ini Desi terdiam, benar-benar takut. "Keputusan nasib perusahaan Anda tidak akan diputuskan oleh ratapan. Tunggu di sana sampai saya selesai berbicara dengan istri saya."
Dua pengawal segera mendampingi Desi, Papa Surya, dan Fajar, yang kini tampak seperti tawanan yang diarak ke tempat hukuman.
Gavin meraih pergelangan tangan Karina dengan lembut. Sentuhan itu akrab, tetapi jabatan tangannya terasa asing dan asing.
"Ikut aku," katanya.
Karina ditarik masuk ke lift pribadi, lift yang terbuat dari kaca anti-peluru yang dilapisi emas tipis. Lift itu membawa mereka langsung ke lantai teratas. Di sana, terbentang pemandangan panorama Kota Jakarta yang tampak kecil dan tak berarti di bawah kaki mereka.
Gavin membawanya ke sebuah ruangan luas, Kantor Utama Pewaris Phoenix Group.
Kantor itu sungguh mewah, modern, dan berteknologi tinggi. Satu dinding sepenuhnya terbuat dari kaca. Di tengahnya, terdapat meja kerja marmer hitam besar yang hampir seolah melayang.
Gavin melepaskan pegangan tangannya. Karina segera menjauh, wajahnya menunjukkan campuran kemarahan dan luka yang dalam.
"Tiga tahun," bisik Karina, suaranya bergetar. "Tiga tahun, Gavin. Kau membiarkan kami, aku, dipermalukan setiap hari. Kau adalah... kau adalah Pewaris Utama Phoenix Group. Kau bisa membeli seluruh kota ini. Kenapa? Kenapa kau melakukan ini padaku?"
"Duduk, Karina," kata Gavin, kini melepaskan kemejanya dan menggantinya dengan jas custom-made yang tergeletak di sofa, sebuah gestur yang menunjukkan bahwa ia kini telah sepenuhnya meninggalkan penyamarannya.
Karina menolak duduk. "Jawab aku! Kau bohong! Kau bilang kau mencintaiku! Apa kau tahu bagaimana rasanya harus menahan air mata di depan Ibu karena suamiku hanya bisa membersihkan toilet? Bagaimana aku harus menjawab teman-temanku yang bertanya kenapa suamiku tidak bekerja? Kau benar-benar kejam!"
Gavin selesai mengenakan jasnya. Penampilannya kini sempurna, memancarkan dominasi yang nyaris brutal. Ia berjalan mendekat, menatap mata Karina yang kini berlinang air mata.
"Aku tidak pernah berbohong padamu tentang perasaanku," kata Gavin, suaranya menjadi lebih lunak. "Tapi identitasku, aku harus menyembunyikannya. Itu adalah Wasiat Adhitama."
Gavin kemudian menjelaskan, dengan singkat, tentang wasiat kakeknya, Pendiri Phoenix Group.
"Kakekku adalah pria yang kejam, tetapi bijak. Sebelum meninggal, dia menetapkan bahwa aku hanya bisa mewarisi kekuasaan dan seluruh harta jika aku menjalani ujian kesabaran yang ekstrem: tiga tahun hidup sebagai pecundang tanpa daya, di bawah perlindungan wanita yang kunikahi. Dia ingin memastikan bahwa wanita yang mendampingi Adhitama sejati adalah seseorang yang tidak menikahi karena uang, tidak meninggalkanku saat aku berada di titik terendah, dan mampu bertahan di tengah penghinaan."
Karina mendengarkan, matanya melebar. "Kau... kau hanya menggunakanku sebagai alat untuk mewarisi kekayaanmu?"
"Aku tidak menggunakannya," balas Gavin tegas. "Aku menikahimu. Dari sekian banyak wanita kaya dan cantik yang bisa kupilih, aku memilihmu karena aku melihat ketulusan di matamu. Kau mungkin kecewa padaku, kau mungkin malu, tetapi kau tidak pernah secara langsung memintaku pergi atau bergabung dengan cemoohan ibumu. Itu yang membedakanmu dari semua orang."
"Jadi, karena aku tidak menceraikanmu, sekarang aku dapat hadiah?" sindir Karina pedas. "Hadiah berupa suami miliarder yang ternyata pembohong?"
Gavin melangkah lebih dekat lagi, kali ini ia meraih bahu Karina, memaksanya menatapnya.
"Karina, permainannya sudah selesai. Mulai hari ini, aku bukan lagi Gavin si pecundang. Aku adalah Gavin Adhitama, pemilik Phoenix Group. Aku punya kekuasaan, dan aku punya uang. Aku bisa menyelesaikan masalah keluargamu, dan aku bisa memberikanmu kehidupan yang tidak pernah kau impikan."
"Aku tidak butuh uangmu!"
"Tapi keluargamu butuh," potong Gavin. "Dan yang lebih penting, aku butuh kau. Kau berhasil melewati ujian. Misi selesai."
Karina menggelengkan kepalanya, air mata akhirnya menetes. "Aku... aku harus mencernanya. Aku tidak tahu harus merasa lega atau marah."
Gavin menghela napas, ia tahu luka itu nyata. "Ambillah waktu yang kau butuhkan. Tapi perlu kau tahu, mulai detik ini, kita tidak lagi tinggal di rumah Surya. Aku akan memindahkan kita ke penthouse pribadi Phoenix malam ini juga. Dan satu hal lagi yang harus kau ketahui, aku tidak akan membiarkan ibumu dan Fajar lolos dari konsekuensi perbuatan mereka."
Gavin melepaskan Karina dan berjalan ke meja kerjanya. Ia menekan interkom, menghubungi Beny yang masih menunggu dengan tegang di bawah.
"Beny, dengarkan baik-baik. Mengenai pinjaman Grup Sentral untuk Surya Properti."
Suara Beny terdengar cepat dan penuh ketakutan dari interkom. "Ya, Tuan Muda Adhitama? Apakah Anda akan mencairkannya?"
Gavin tersenyum dingin. Senyum itu tidak pernah dilihat Karina sebelumnya, senyum predator yang haus pembalasan.
"Tidak. Pinjaman itu batalkan. Surya Properti sekarang harus menghadapi hutang mereka sendiri. Aku tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja dari kesulitan yang diciptakan oleh keserakahan mereka."
Karina terkejut, ia segera membalikkan badan. "Gavin, jangan! Papa bisa masuk penjara! Itu perusahaan keluarga!"
Gavin mengangkat tangannya, menghentikan protes Karina.
"Sebagai gantinya, Beny," lanjut Gavin, mengabaikan istrinya sejenak, "beri tahu mereka bahwa Phoenix Group membeli 51% saham Surya Properti seharga $1 saja. Sisanya adalah hutang yang harus mereka kelola di bawah manajemen Phoenix. Mereka tidak akan bangkrut, tetapi mereka tidak lagi memiliki kontrol."
"Dan," tambah Gavin, tatapannya kembali ke Desi yang kini terbayang di benaknya, "beritahu Nyonya Desi dan Tuan Fajar, bahwa jabatan mereka di perusahaan itu... telah dicabut, mulai detik ini. Mereka hanya diizinkan untuk membersihkan toilet di kantor pusat Surya selama enam bulan sebagai ganti hukuman."
Gavin mematikan interkom.
Karina menatapnya, matanya membesar karena ngeri. "Gavin! Kau menghancurkan mereka! Kau mengubah mereka menjadi pecundang yang kau benci!"
Gavin berjalan mendekati Karina, kini benar-benar bertindak sebagai pemilik kekuasaan.
"Aku tidak menghancurkan mereka, Karina," kata Gavin, matanya setajam elang.
"Aku hanya menunjukkan kepada mereka rasa hormat yang sama persis yang mereka tunjukkan kepadaku selama tiga tahun terakhir."