Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.
Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?
Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Ruko di Rawamangun itu berdiri di antara deretan toko kelontong dan bengkel motor, bangunan dua lantai dengan cat hijau yang sudah mengelupas seperti kulit ular berganti. Kael berdiri di depannya dengan tangan di pinggang, menatap plang kosong di atas pintu yang dulunya bertuliskan nama toko elektronik yang sudah bangkrut.
"Ini... serius?" Dimas menatap bangunan itu dengan ekspresi ragu yang sulit disembunyikan, alisnya berkerut dalam. "Kael, ini kayak rumah hantu."
"Struktur masih bagus. Atap gak bocor, gue udah cek. Lantai dua cukup luas buat sepuluh meja gambar. Lantai satu bisa jadi ruang meeting sama storage." Kael menjelaskan sambil membuka pintu berkarat dengan kunci yang baru ia terima dari pemilik ruko pagi ini, suaranya penuh keyakinan meskipun ia sendiri tahu tempat ini butuh banyak perbaikan.
Mereka masuk ke dalam. Bau lembap dan debu menyambut mereka. Lantai keramik retak di beberapa tempat, dinding penuh bekas poster lama yang sudah mengelupas, dan lampu neon yang berkedip-kedip tidak karuan. Tapi ruangannya memang luas, jauh lebih luas dari garasi sempit mereka yang hanya muat empat orang duduk melingkar.
"Gue bisa bayangkan kalau ini udah direnovasi. Bakal keren," ucap Rani sambil berjalan keliling, matanya sudah mulai membayangkan tata letak yang ideal, tangannya menyentuh dinding seperti sedang merasakan potensi yang tersembunyi.
"Berapa sewa per bulan?" tanya Budi sambil melihat tangga kayu yang menuju lantai dua, mengecek apakah masih kuat untuk dilalui.
"Seratus lima puluh ribu. Dengan deposit dua bulan. Murah banget buat ukuran ruko seluas ini." Kael menjawab sambil mengeluarkan buku catatannya, menghitung budget renovasi yang sudah ia rancang sejak seminggu lalu dengan detail yang hampir obsesif.
"Kita punya duitnya?" tanya Dimas dengan nada hati-hati, tidak mau terlalu berharap.
"Honor dari TVRI dan SCTV bulan ini cukup buat bayar deposit, sewa tiga bulan, dan renovasi ringan. Sisanya kita pake buat rekrut dua animator baru dan beli peralatan tambahan." Kael menjelaskan sambil menunjukkan catatan budget yang rapi, angka-angka yang ia hitung ulang berkali-kali sampai yakin tidak ada yang salah.
Rani menatap Kael dengan tatapan kagum yang bercampur dengan kekhawatiran yang tulus. "Lu udah ngitung semua ini sendiri? Kael, lu gak tidur berapa hari sih?"
"Tidur cukup kok. Gue cuma... suka ngitung." Kael tersenyum tipis, tidak mau mengakui bahwa ia hanya tidur tiga jam semalam karena terlalu excited dengan rencana besar ini.
"Kapan kita mulai renovasi?" tanya Budi dengan nada yang mulai antusias, semangatnya mulai terbakar melihat visi Kael yang jelas.
"Besok. Gue udah kontak tukang cat dan tukang listrik. Mereka bisa mulai besok pagi. Kita bantu-bantu sendiri buat hemat biaya. Targetnya seminggu beres, terus kita langsung pindah." Kael menjawab sambil menggulung lengan bajunya, siap untuk kerja fisik yang jarang ia lakukan.
Seminggu berikutnya adalah masa-masa paling melelahkan sekaligus paling menyenangkan. Mereka berempat, ditambah Arman yang datang membantu bekerja dari pagi sampai sore, mengecap dinding, membersihkan lantai, memasang rak, dan menyusun meja-meja gambar yang mereka beli dari toko bekas.
Kael yang biasanya lebih banyak di belakang layar, kali ini ikut turun tangan, memegang kuas cat, memaku rak ke dinding, dan bahkan membantu mengangkat meja berat ke lantai dua. Tangannya penuh cat, bajunya kotor, tapi senyumnya tidak pernah hilang.
"Kael, lu gak perlu ikut angkat-angkat. Nanti tangan lu pegel, gak bisa gambar," ucap Dimas sambil mengangkat ujung meja yang lain, napasnya terengah-engah karena meja kayu solid itu lebih berat dari yang mereka kira.
"Gue gak mau jadi bos yang cuma ngomong doang. Kita semua kerja bareng. Gak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah." Kael menjawab sambil terus mendorong, keringatnya mengucur deras tapi tekadnya tidak goyah.
Rani yang sedang mengecap dinding dengan warna putih bersih, berhenti sejenak dan menatap Kael dengan tatapan yang sulit dijelaskan, campuran antara hormat, kagum, dan sesuatu yang lebih dalam yang ia sendiri tidak mengerti. "Lu beneran beda, Kael. Gue belum pernah ketemu orang kayak lu."
Kael hanya tersenyum tanpa menjawab, tidak mau membuka rahasia yang terlalu besar untuk dijelaskan. Di kehidupan sebelumnya, ia adalah bos yang arogan, yang jarang turun langsung, yang hanya duduk di ruang kerja ber-AC sambil memerintah orang lain. Dan itu adalah salah satu kesalahan terbesarnya, kehilangan koneksi dengan tim, kehilangan rasa kebersamaan yang membuat sebuah studio bukan hanya tempat kerja, tapi rumah.
Hari Sabtu sore, renovasi selesai. Ruko yang tadinya kusam dan suram, kini terlihat bersih dan cerah. Dinding putih dengan aksen hijau muda, lantai yang sudah dipel mengkilap, lampu neon yang tidak lagi berkedip, dan meja-meja gambar yang tersusun rapi dengan kursi-kursi bekas yang sudah mereka perbaiki.
Mereka berdiri di tengah ruang lantai satu, menatap hasil kerja keras mereka dengan perasaan bangga yang meluap-luap.
"Ini... ini studio kita. Studio beneran." Budi berbisik dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca melihat transformasi yang luar biasa ini.
"Studio Garasi resmi pindah. Tapi nama tetep Studio Garasi. Biar kita selalu inget dari mana kita mulai." Kael mengumumkan sambil tersenyum lebar, suaranya penuh emosi yang ia coba sembunyikan tapi gagal.
"Kita harus bikin plang! Plang besar di depan dengan tulisan Studio Garasi!" usul Dimas dengan antusias, tangannya sudah membayangkan desain plang yang keren.
"Besok kita bikin. Sekarang, kita rayain dulu. Gue traktir bakso untuk semuanya!" Kael mengumumkan dengan semangat yang membuat semuanya bersorak girang.
Mereka pergi ke warung bakso langganan mereka di ujung jalan, memesan lima porsi bakso jumbo dengan es teh manis. Mereka makan sambil tertawa, bercerita tentang momen-momen lucu selama renovasi, seperti saat Dimas hampir jatuh dari tangga karena kaget ada tikus, atau saat Budi salah pasang kabel listrik dan hampir kesetrum.
"Lu tau gak, gue masih gak percaya ini semua nyata. Beberapa bulan lalu kita cuma berempat di garasi sempit, sekarang kita punya studio sendiri. Kita kerja untuk dua stasiun TV. Ini kayak mimpi." Rani berbicara dengan nada terharu, matanya menatap teman-temannya satu per satu dengan penuh syukur.
"Ini baru awal, Ran. Kita masih punya jalan panjang. Tapi yang penting, kita jalan bareng. Apapun yang terjadi, kita tetep satu tim." Kael menjawab sambil mengangkat gelasnya, mengajak tos sederhana dengan gelas-gelas plastik mereka.
"Untuk Studio Garasi!" teriak Dimas sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, suaranya penuh semangat yang menular.
"UNTUK STUDIO GARASI!" mereka berteriak bersamaan, membuat pengunjung warung yang lain menatap mereka dengan tatapan heran tapi tersenyum.
Senin pagi, fase baru dimulai. Kael memasang iklan lowongan di koran lokal dan papan pengumuman kampus seni, mencari dua animator berbakat yang mau bergabung dengan studio kecil mereka. Responnya lebih cepat dari yang ia kira.
Hari Rabu, sudah ada lima orang yang datang untuk interview. Kael, Dimas, dan Rani duduk di ruang lantai satu yang kini sudah jadi ruang meeting sederhana, meja panjang bekas yang mereka poles sendiri, kursi-kursi lipat yang tidak matching, dan papan tulis kecil di dinding.
Kandidat pertama adalah laki-laki bernama Agus, lulusan baru dari sekolah seni rupa, portofolionya penuh dengan sketsa karakter yang detail dan ekspresif. "Saya lihat animasi kalian di TV. Saya suka banget gayanya yang lokal. Saya ingin belajar dari kalian," ucapnya dengan sopan tapi penuh semangat, matanya berbinar melihat sketsa-sketsa yang terpajang di dinding.
Kandidat kedua adalah perempuan bernama Sari, mahasiswa tingkat akhir yang sudah punya pengalaman magang di studio kecil lain. "Saya jago background dan coloring. Saya bisa kerja cepat tapi tetep rapi. Saya butuh pengalaman lebih banyak, dan saya percaya di sini saya bisa berkembang," jelasnya dengan percaya diri yang tidak berlebihan, tangannya menunjukkan portfolio digital yang ia cetak di kertas glossy.
Setelah interview selesai, mereka bertiga berdiskusi.
"Gue suka Agus. Gambarnya bagus, dan dia keliatan mau belajar. Humble." Dimas memberikan pendapatnya sambil melihat kembali portfolio Agus yang masih terbuka di meja.
"Sari juga bagus. Pengalamannya lumayan, dan kita emang butuh orang yang jago background buat bantu Rani." Kael menambahkan sambil mencatat di buku catatannya, membandingkan kelebihan dan kekurangan masing-masing kandidat.
"Kenapa gak kita ambil dua-duanya? Budget kita kan cukup buat dua orang." Rani mengusulkan dengan nada hati-hati, tidak mau terdengar terlalu ambisius.
Kael berpikir sejenak. Lalu ia mengangguk. "Oke. Kita ambil dua-duanya. Tapi dengan trial period dua bulan. Kalau memang cocok dan kerjanya bagus, kita angkat permanen."
"Setuju." Dimas dan Rani mengangguk bersamaan.
Minggu berikutnya, Agus dan Sari mulai bekerja. Studio yang tadinya sepi, kini mulai ramai dengan enam orang yang bekerja di lantai dua, masing-masing di meja mereka, menggambar frame demi frame dengan serius tapi tetap diselingi candaan dan tawa.
Kael mengajari Agus tentang teknik animasi sederhana tapi efektif, cara membuat gerakan karakter terasa natural dengan timing yang pas. Rani melatih Sari tentang cara menggambar background yang efisien tapi tetap punya detail yang memperkaya cerita.
"Lu tau gak, Mas Kael, lu ngajarin gue hal-hal yang gak pernah gue dapet di sekolah. Ini lebih praktikal, lebih... real." Agus berbicara dengan nada kagum setelah Kael mengoreksi frame-nya yang timing-nya sedikit meleset, matanya fokus memperhatikan setiap penjelasan detail yang Kael berikan.
"Sekolah ngajarin teori. Di sini lu belajar di medan perang langsung. Gak ada yang lebih bagus dari belajar sambil produksi." Kael menjawab sambil tersenyum, mengingat bagaimana ia sendiri belajar paling banyak dari kesalahan-kesalahan yang ia buat di lapangan, bukan dari buku.
Sari yang duduk di sebelah Rani, menatap background yang baru saja ia selesaikan dengan rasa bangga yang sulit disembunyikan. "Mbak Rani, ini udah oke belum? Gue takut warnanya terlalu gelap."
Rani menatap background itu dengan seksama, gambar kampung dengan sore yang keemasan, bayangan panjang yang jatuh dari pohon-pohon, dan langit yang gradasi dari oranye ke ungu. "Ini bagus banget, Sar. Malah lebih bagus dari yang gue bikin. Lu punya sense of color yang kuat."
Sari tersenyum lebar, senyum yang penuh lega dan kebahagiaan. "Makasih, Mbak. Gue seneng banget bisa kerja di sini. Rasanya kayak keluarga, bukan cuma kantor."
Dan itulah yang Kael inginkan, studio yang bukan hanya tempat kerja, tapi rumah. Tempat di mana orang bisa berkembang, belajar, dan merasa dihargai. Tempat di mana mimpi bukan cuma milik satu orang, tapi milik semua orang yang ada di dalamnya.
Malam itu, Kael duduk sendiri di lantai satu setelah semua orang pulang. Ia menatap studio yang sepi tapi penuh dengan energi yang tertinggal, sketsa-sketsa yang terpajang di dinding, meja-meja yang masih ada bekas pensil dan penghapus, dan aroma kopi yang masih tercium samar.
Ia tersenyum, senyum yang penuh syukur dan harapan. "Kita mulai terbang, Bu. Pelan, tapi pasti," bisiknya pada ibunya yang sudah tidak ada, suaranya pelan tapi penuh keyakinan yang membara.
Dan di studio kecil itu, mimpi yang dulu hanya milik empat anak muda di garasi sempit, kini mulai tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan mengubah industri animasi Indonesia selamanya.