NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26: CHELSEA SAKIT DEMAM

Pagi itu, Lucian bangun seperti biasa—pukul lima, langit masih gelap.

Ia turun ke lantai satu, mengecek keamanan seperti rutinitas setiap hari. Semua normal. Pintu terkunci. Jendela aman. CCTV—yang sudah ia perbaiki—berfungsi baik.

Pukul enam pagi, Lucian kembali ke lantai dua—biasanya Chelsea sudah bangun, suara langkah kakinya terdengar dari kamar, suara air shower mengalir.

Tapi pagi ini... sunyi.

Lucian berhenti di depan pintu kamar Chelsea. Ragu.

Mungkin dia kelelahan. Biarkan dia tidur.

Tapi ada sesuatu yang tidak beres. Instingnya—instinc yang menyelamatkan nyawanya berkali-kali sebagai algojo—berbisik ada yang salah.

Lucian mengetuk pintu. "Chelsea? Kau sudah bangun?"

Tidak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi—lebih keras. "Chelsea?"

Masih tidak ada jawaban.

Jantung Lucian mulai berdetak cepat. Ia memutar gagang pintu—tidak terkunci.

Masuk—

Chelsea tergeletak di kasur, masih memakai piyama, selimut berantakan. Wajahnya merah, keringat membasahi dahinya, napasnya tersenggal.

"Chelsea!" Lucian berlari menghampiri, menyentuh dahinya—

Panas. Sangat panas.

"Demam," gumamnya sambil mengecek suhu dengan punggung tangannya. "Demam tinggi."

Chelsea membuka mata—sayu, tidak fokus. "Lucian...?"

"Iya, aku di sini. Kau sakit. Kenapa tidak bilang?"

"Aku... aku baik-baik saja..." Suara Chelsea lemah, nyaris berbisik. "Hanya sedikit pusing..."

"Ini bukan sedikit pusing. Kau demam tinggi." Lucian bangkit. "Aku ambil obat dan air—"

Tapi Chelsea menggenggam tangannya—lemah tapi cukup untuk menahan Lucian.

"Jangan... jangan tinggalkan aku..."

Dada Lucian sesak mendengar itu.

"Aku tidak akan kemana-mana. Aku hanya ambil obat. Lima menit. Oke?"

Chelsea melepaskan genggamannya—perlahan, tidak rela.

Lucian berlari ke dapur, mengambil obat penurun panas dari kotak P3K, segelas air hangat, handuk kecil dan baskom berisi air dingin.

Kembali ke kamar Chelsea—ia masih tergeletak, mata tertutup, napas berat.

"Chelsea, bangun sebentar. Minum obat dulu."

Lucian membantu Chelsea duduk—tubuhnya lemas, nyaris jatuh kalau Lucian tidak menopangnya. Ia menyodorkan obat dan air.

Chelsea minum—tangannya gemetar memegang gelas, sebagian air tumpah.

"Maaf... aku... aku tidak bisa..." bisiknya.

"Tidak apa-apa." Lucian mengambil gelas dari tangannya, membantu Chelsea berbaring lagi.

Ia membasahi handuk dengan air dingin, memeras, lalu meletakkannya di dahi Chelsea.

Chelsea menggigil—meski demam tinggi, tubuhnya merasa dingin.

"Dingin... Lucian... aku dingin..."

Lucian menyelimuti Chelsea lebih rapat, duduk di tepi kasur—mengompres dahinya setiap beberapa menit, mengganti handuk yang sudah hangat.

"Tidur," bisik Lucian. "Aku di sini. Aku tidak akan kemana-mana."

Chelsea menutup mata—napasnya perlahan teratur, tertidur.

Tapi tidurnya tidak tenang.

Tubuhnya gelisah, tangannya mencengkeram selimut, wajahnya mengernyit—seperti mimpi buruk.

"Jangan... jangan pergi..." gumamnya dalam tidur.

Lucian menggenggam tangan Chelsea—lembut, menenangkan.

"Aku di sini. Tidak kemana-mana."

Jam dua siang, Chelsea terbangun—wajahnya masih pucat tapi demamnya sedikit turun.

Ia melihat Lucian duduk di kursi samping ranjang—mata lelah tapi masih terjaga.

"Lucian... kau... kau tidak tidur?"

"Aku baik-baik saja." Lucian menyentuh dahi Chelsea lagi—masih hangat tapi tidak sepanas tadi. "Bagaimana perasaanmu?"

"Lebih baik. Sedikit."

"Kau harus makan. Aku masak bubur—"

"Kau bisa masak?" Chelsea tersenyum lemah—bahkan saat sakit, ia masih bisa bercanda.

Lucian tersenyum kecil. "Bubur. Hanya bubur. Jangan harap lebih."

Ia turun ke dapur, memasak bubur sederhana—beras, air, sedikit garam. Tidak ada bumbu lain. Tapi cukup untuk orang sakit.

Kembali ke kamar dengan semangkuk bubur hangat.

Chelsea mencoba duduk—tapi tubuhnya terlalu lemah.

"Biar aku bantu," kata Lucian sambil menyuapi Chelsea—sendok demi sendok, pelan, sabar.

Chelsea makan sedikit—lima sendok, lalu menggeleng. "Aku tidak bisa lagi..."

"Tidak apa-apa. Sudah bagus." Lucian meletakkan mangkuk di meja samping tempat tidur. "Sekarang tidur lagi. Tubuhmu butuh istirahat."

Chelsea berbaring—mata menatap Lucian dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

"Terima kasih, Lucian. Terima kasih sudah... merawatku."

"Itu pekerjaanku."

"Bukan." Chelsea menggeleng lemah. "Ini bukan pekerjaan. Ini... lebih dari itu."

Jangan bilang begitu. Jangan membuat aku merasa...

Tapi Lucian tidak bilang apapun. Hanya tersenyum kecil—senyum yang menyembunyikan segalanya.

Malam itu, demam Chelsea naik lagi.

Pukul sebelas malam, Lucian masih terjaga—duduk di kursi, mengompres dahi Chelsea setiap sepuluh menit.

Chelsea tidur tidak nyenyak—gelisah, berkeringat, berbicara dalam tidur.

"Mama... mama kemana...?" gumamnya—suara kecil, seperti anak kecil. "Kenapa mama pergi? Elena masih kecil... Elena butuh mama..."

Elena? Siapa Elena?

Lucian mengerutkan kening—tapi tidak bertanya. Chelsea sedang mengigau.

"Papa..." Chelsea melanjutkan—suaranya bergetar. "Papa... kenapa papa tidak pernah sayang sama aku?"

Dada Lucian sesak mendengar itu.

"Aku... aku anak yang tidak baik ya?" Air mata mulai keluar dari mata Chelsea yang tertutup. "Makanya papa tidak pernah peluk aku... tidak pernah bilang sayang..."

Chelsea menangis dalam tidur—isakan kecil yang memecah hati.

"Aku janji akan jadi anak baik... aku tidak akan nakal lagi... kumohon papa sayang sama aku... kumohon..."

Lucian menatap wajah Chelsea yang basah air mata—dadanya terasa seperti ditusuk pisau.

Dia masih menyalahkan dirinya sendiri. Dia pikir ayahnya tidak mencintainya karena dia anak yang buruk.

Padahal bukan. Ayahnya tidak bisa mencintainya karena tangannya penuh darah.

Sama sepertiku.

Lucian menggenggam tangan Chelsea—erat, seperti mencoba mengirimkan kehangatan.

"Kamu anak yang sangat baik," bisiknya—meski Chelsea tidak bisa mendengar. "Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu. Kamu... kamu pantas dicintai."

Tapi bukan olehku. Karena tanganku juga penuh darah.

Chelsea masih menangis dalam tidur—terisak kecil, seperti anak kecil yang kehilangan ibunya.

Dan Lucian duduk di sana—memegang tangannya, mengompres dahinya, menjaganya sampai pagi.

Tidak tidur. Tidak istirahat. Hanya menjaga.

Karena entah sejak kapan—Chelsea bukan lagi majikannya.

Bukan lagi orang yang ia lindungi karena dibayar.

Tapi orang yang ia lindungi karena... karena ia tidak tahu lagi.

Yang ia tahu—melihat Chelsea menangis dalam tidur membuat dadanya lebih sakit daripada luka tusukan yang pernah ia terima.

Dan itu membuat Lucian takut.

Sangat takut.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!