Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Selina melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah lewat pukul delapan malam. Ia tidak terlalu khawatir soal Ian karena Bi Desi sedang menemaninya di rumah.
Saat melewati pintu lift, pintu itu tiba-tiba terbuka. Selina refleks menoleh, dan mendapati Jayden keluar dengan penampilan berantakan.
Kancing kemeja pria itu terbuka hampir seluruhnya, memperlihatkan dada bidangnya. Rambutnya basah, entah karena keringat atau sisa air yang belum kering. Meski begitu, satu hal yang tak bisa dipungkiri Selina, Jayden terlihat sangat tampan sekaligus seksi. Wanita itu sampai menahan napas sepersekian detik.
Suasana kantor sudah lengang, sebagian besar karyawan sudah pulang. Jayden berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun, tatapannya kosong, wajahnya datar.
Kok bau alkohol ya? Apa Pak Jayden mabuk? gumam Selina dalam hati.
Ia memperhatikan langkah pria itu yang agak sempoyongan. Selina akhirnya memutuskan mengikuti dari jauh.
Jayden berhenti di taman kecil samping kantor, ia lalu menjatuhkan tubuhnya ke rerumputan.
“Arghhh! Sial! Sial! Sial!” teriaknya serak, suara penuh amarah bercampur frustasi.
Selina terlonjak kaget. Ia buru-buru bersembunyi di balik pepohonan.
“Dia selalu memaksaku ini-itu! Dan Mama juga—selalu saja Mama menurut pada pria tua bangka itu!"
"Dia pikir dengan menjodohkanku, aku bakal bahagia begitu!? Apa dia nggak belajar dari masa lalu!? Mama sendiri dijodohkan sama Papa… sampai akhir hayatnya pun, Mama nggak pernah bisa mencintai Papa!” Jayden berteriak, dadanya naik-turun menahan emosi.
“Aku selalu nurut sama perintah kakek. Dia nyuruh aku kuliah bisnis, aku turuti. Dia kirim aku ke luar negeri, aku juga turuti. Bahkan waktu dia bilang aku harus dekat dengan Liona yang katanya perempuan baik, dari keluarga terhormat—aku turuti!”
“Tapi hasilnya? Saat aku sudah mencintainya, ujung-ujungnya Liona meninggalkanku dan menikah dengan orang lain!”
Pria itu menengadah ke langit gelap. “Aku hanya ingin hidup tenang tanpa tekanan dari manapun dan siapapun!"
Brak!
Selina tersentak saat dirinya tak sengaja menyenggol bak sampah besar di sampingnya hingga terjatuh.
Jayden langsung bangkit dari baringnya. Ia berjalan ke arah suara yang barusan terdengar. Tatapannya mengunci pada sosok Selina yang berdiri kaku di balik pepohonan.
Selina terperangah, wajahnya pucat pasi. Ia bahkan tak bergerak ketika tatapan tajam pria itu seolah menusuk sampai ke jantungnya.
“Beraninya kamu mengintipku!” bentak Jayden.
“Ma… maaf, Pak… ta—tadi saya… ha… hanya—” Selina terbata-bata, tubuhnya bergetar.
“Diam!!” hardik Jayden, membuat Selina terhentak. “Apa yang sudah kamu dengar, hah!? Aku tidak suka kalau ada orang lain ikut campur atau tahu masalah pribadiku!”
Selina menunduk dalam, kedua tangannya meremas jemarinya. “Maafkan saya, Pak. Tadi itu saya hanya kebetulan lewat dan mendengar teriakan Pak Jayden… jadi saya…,” katanya lirih penuh ketakutan.
Rahang Jayden mengeras, ia cepat menarik pergelangan Selina kasar.
“Pak… saya… saya mau dibawa kemana?” Selina berusaha meronta, tapi cengkeraman tangan pria itu begitu kuat.
Jayden tidak menjawab. Ia menyeret Selina begitu saja, langkahnya cepat. Selina sampai meringis kesakitan karena tarikan itu.
“Orang sepertimu harus diberi pelajaran!” desis Jayden dingin.
Mereka berhenti di depan bilik toilet. Jayden mendorong pintu, lalu melepaskan cengkeramannya, pria itu langsung meraih seember air yang ada di sudut ruangan.
Tanpa aba-aba—
Byurrr!!!
Air dingin itu langsung ia siram ke tubuh Selina. Sehingga Selina basah kuyup, bahkan tas di bahunya ikut basah.
Selina terdiam membeku, tubuhnya gemetar menahan dingin sekaligus rasa sakit hati yang menusuk. Matanya mulai berkaca-kaca.
Jayden menatapnya dengan sorot tajam. “Masih mending saya tidak kurung kamu di gudang ujung sana. Saya tidak suka ada orang mengintip, menguping, atau ikut campur urusan pribadi saya. Ingat itu baik-baik!” katanya tegas.
Setelah mengucapkan itu, Jayden berbalik dan melangkah pergi.
Selina berdiri kaku. Air matanya akhirnya jatuh membasahi pipi, bercampur dengan sisa air yang masih menetes dari rambutnya.
Harusnya dia melawan… harusnya dia tidak diam saja. Tapi Selina tahu, meladeni orang seperti Jayden hanya akan membuat keadaan semakin buruk.
•
•
•
Selina pulang ke rumahnya setelah lebih dulu berganti pakaian. Untung saja ia selalu menyediakan baju kering di jok motornya.
“Ian… Bi Desi… Selina pulang,” panggilnya pelan sembari mengetuk pintu kontrakan.
Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Bi Desi muncul dengan matanya sudah sangat mengantuk.
“Lama banget kamu… biasanya jam sembilan udah tutup kan kafe?” gumam wanita itu sambil menguap kecil.
Selina hanya membalas dengan senyum tipis. Bi Desi belum tahu bahwa ia sekarang juga bekerja di perusahaan Jayden.
“Ian udah tidur, Bi?” tanya Selina.
“Udah. Baru aja. Dari tadi dia nungguin kamu, tapi karena nggak pulang-pulang, akhirnya ketiduran juga,” jawab Bi Desi.
Selina menunduk. “Makasih banyak ya, Bi. Oh iya, ini aku tadi beli martabak dua bungkus. Buat Bi sama cucu Bi di rumah.”
“Makasih banyak, Sel. Kalau gitu bibi pulang dulu, ya.”
“Iya, Bi. Hati-hati.” Selina lalu menutup pintu setelah Bi Desi pergi.
Suasana kontrakan kecil itu hening. Selina berjalan pelan menuju kamar.
Selina duduk di tepi ranjang, menatap wajah polos putranya yang tertidur pulas.
Tangan Selina terulur, mengusap lembut rambut Ian yang agak berantakan.
“Maafin Mama telat pulang, ya, Nak…” bisiknya pelan.
Ia menunduk, mengecup kening putranya lama-lama. Semua rasa lelah, semua sakit hati yang ia dapatkan, seakan terobati hanya dengan melihat wajah Ian.
"Papa....pulang....Ian...kangen...papa..."
Selina menjauhkan kepalanya saat mendengar gumaman lirih putranya.
"Papa...sini...temui...Ian..."
Selina terdiam, dia meneguk ludahnya kasar. Hatinya terasa perih, pasti Ian kepikiran soal Papanya sampai mengigau seperti ini.
Selina ikut berbaring di samping putranya lalu mengusap punggung Ian.
"Ssttt.... tenang mama ada disini," Katanya lirih.
•
•
•
Keesokan paginya, saat Selina mengantar putranya ke sekolah, Ian tampak lesu. Bocah itu wajahnya murung.
“Kenapa?” tanya Selina lembut, berjongkok agar sejajar dengan putranya.
“Nggak apa-apa, Ma,” jawab Ian lirih.
Selina menghela napas pelan, ia tahu betul apa yang membuat anaknya begitu. “Kalau Azil gangguin kamu lagi, langsung panggil Bu Guru, ya? Jangan takut ngaduin dia ke bu guru.”
Ian tiba-tiba bertanya, “Mama… kapan ya Papa pulang?”
Pertanyaan itu membuat senyum Selina perlahan luntur.
“Lama banget loh Papa kerjanya,” lanjut Ian polos. “Kapan Papa bisa antar jemput Ian ke sekolah? Tadi malam Ian mimpi Papa datang terus peluk Ian… Ian… boleh kangen nggak, Ma, sama Papa?” Suaranya lirih, matanya pun berkaca-kaca.
Hati Selina seakan diremas, ia langsung merengkuh Ian ke dalam pelukannya. “Tentu boleh, sayang. Pa… Pa pasti datang. Kamu harus bersabar sedikit lagi. Kalau Ian selalu nurut, rajin belajar, dan jadi anak baik, Mama yakin Papa bakal cepat pulang dan bisa peluk Ian,” bisiknya dengan suara bergetar.
Ian mengangguk kecil di pelukan ibunya. Selina kemudian melepaskan rangkulan itu, kedua tangannya menangkup lembut pipi mungil putranya. “Sekarang masuk kelas, ya. Nanti kalau udah pulang sekolah, kamu ikut Mama ke kafe. Kamu boleh makan kue sama cokelat sepuasnya.”
Mendengar itu, mata Ian akhirnya berbinar tipis.
Ian berlari menuju kelasnya. Selina hanya bisa menatap punggung itu dengan tatapan sendu.
padahal lembek