“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22 ~ Liburan
“Sabiya kau memang paling mengerti kami!” Rania dan kedua saudarinya langsung memeluk sahabat mereka.
“Bagaimana ibu-ibu? Setuju tidak dengan keinginan putri-putri kita?” Juragan menoleh ke istrinya yang duduk bersama Meutia memangku Gauzan.
“Ibu sih ngikut saja, Yah. Kalau semuanya setuju malah sangat senang, sudah lama kan kita tak liburan ke pantai. Sekalian memeriksa langsung kinerja karyawan di sana.”
Meutia ikut menimpali perkataan Nirma. “Kebetulan umur Gauzan pun sudah bisa dibawa jalan jauh, dia juga telah berjalan meskipun masih belum begitu lancar.”
Batita menggemaskan itu diraih lalu digendong sang kakak pertama, diajak berputar-putar.
Gauzan tertawa kencang sampai air liurnya menetes membasahi tangan Intan.
“Adek mau main pasir tidak? Nanti kita cari Kelomang, tangkap ikan kecil-kecil di pinggiran pantai, mau?!” Intan yang gemas menggigit sayang dagu Gauzan.
Tawa putra Meutia pun bertambah keras yang menular ke lainnya. Bayi yang dulu lahir prematur sampai hampir tiga minggu di ruangan NICU dan inkubator, sekarang tumbuh menjadi anak sehat, ceria.
Kehadiran Gauzan Rasyid, menjadi pelipur lara bagi semuanya. Terutama sang ibu, adanya sang putra membuatnya lebih gigih lagi mempertahankan kewarasan, melawan penyakit mental. Bangkit dari rasa kehilangan menyakitkan meskipun belum benar-benar bisa melepaskan. Setidaknya dia dapat melalui dan membersamai putra-putrinya.
Intan dan Sabiya pun seolah mendapatkan tempat untuk melepaskan kerinduan. Mereka mendekap sang adik seolah tengah memeluk ayah Ikram – ada banyak bagian dari diri si bungsu mirip ayah mereka.
“Berarti sudah sepakat ya, kita libur bersama selama empat hari ke pantai, setuju?” ayah tua ingin memastikan jawaban satu suara.
“Setuju!” jawab mereka serempak.
“Eh, tapi ajak juga bang Ayek, bang Rizal, bang, Danang, ya yah?” pinta Zain. Tidak melupakan ketiga Abang mereka yang tengah menimba ilmu di perguruan tinggi kota.
“Boleh. Nanti biar mereka menyusul kita ke pantai,” Agam Siddiq yang menjawab.
“Jangan ketinggalan bang Ramzan juga diajak, Yah! Dia kan pintar panjat pohon kelapa, nanti bisa minta tolong dirinya mengambil degan (kelapa muda) di pinggir pantai,” Hazeera pun mengusulkan satu nama, adiknya Ayek yang masih kelas satu SMU.
Lagi-lagi permintaan itu dikabulkan. Dan setelahnya para anak-anak berlarian menuju kamar mereka, mempersiapkan segala sesuatunya untuk liburan esok hari sampai empat hari kedepan.
.
.
Keesokan paginya.
Bus besar sudah terparkir di tepi jalan rumah Meutia. Dua orang sopir dan dua kondektur telah bersiap-siap menghantarkan keluarga kaya raya, dermawan, tidak pernah pamer harta, memilih hidup sederhana membaur dengan masyarakat di sana.
Para laki-laki sengaja menyewa bus beserta dua sopir dan kondekturnya, mengingat perjalanan itu memakan waktu hampir lima jam lebih – agar apabila sang pengendara letih bisa gantian, jadi tidak memaksakan diri supaya sampai tempat tujuan tepat waktu.
“Abi, Biya masih ngantuk.” Sabiya menelusupkan wajahnya sisi leher Dzikri, semalam dia sangat antusias sampai tidak bisa tidur.
Punggung gadis kecil itu ditepuk-tepuk lembut. “Nanti di dalam bus tidur lagi ya?”
Dzikri menggendong Sabiya sampai masuk kedalam bus, dan mendudukkan di busa jok. Setelahnya mengatur sandaran kursi agar sedikit rebah.
“Terima kasih, Abi.” Matanya tetap terpejam, tapi dia tidak lupa mengucapkan kalimat itu.
Satu kecupan mendarat di kening Sabiya yang hari ini memakai kerudung instan berwarna kuning.
“Intan mau digendong juga tidak, Nak?” tanyanya kala sudah sampai lagi di teras rumah Meutia.
Gadis beranjak remaja itu menggeleng. “Tolong gendong adik Gauzan aja, Bi. Mamak sepertinya masih belum siap beresin barangnya.”
“Baiklah.” Dzikri mengelus hijab segitiga yang dikenakan oleh Intan.
“Anak tampan, jangan macam Belut! Makcik kesulitan memakaikan celanamu. Gauzan sini kau!” Makcik sampai merangkak mengejar si bungsu berguling-guling di lantai tidak mau dipakaikan celana cuma menggunakan popok saja.
“Ha ha ha … Moh!” Dia lebih gesit lagi menggelinding sampai menabrak kaki abinya.
“Kena kau Kancil kecil!” Dzikri menggendong si batita subur sampai tangannya memiliki gerat. Melambungkan tinggi-tinggi seraya menciumi kuat-kuat perut bak donat bulat.
Tawa Gauzan memenuhi ruangan luas huniannya. Dia kegelian, tapi tidak menangis dan memang termasuk bayi jarang mengeluarkan air mata.
Meutia dan Dhien menuruni anak tangga, sama-sama tersenyum melihat Gauzan dan juga Dzikri.
Ibunya Intan merangkul pinggang sahabatnya, dia paham akan sorot kerinduan itu. “Pelebar lagi ruang sempit rasa sabar itu, Kak. Supaya apabila suatu hari nanti Allah ijabah doa kalian, maka rasa syukur serta bahagianya pun berlipat ganda.”
Dhien memukul lengan atas Meutia. “Aku banyak belajar darimu, Tia. Ketegaran, kesabaranmu benar-benar patut ditiru. Tak mudah membesarkan tiga anak sekaligus, tapi kau bisa. Jiwamu nyaris sekarat, akal sehat hampir tenggelam, namun dirimu berhasil keluar dan menjadi pemenang.”
“Kalau kakak mau tahu, Tia pun banyak meniru dirimu. Dhien – sosokmu setangguh arti namamu,” pujinya tulus dan memang benar adanya.
“Umi lihat ini putra kita, tak mau dia pakai celana. Mau kembaran dengan Tuyul rupanya!” adu Dzikri kepada istrinya.
Meutia memberikan ruang untuk sepasang suami istri yang belum dikaruniai anak itu. Tak jarang pula dia mengizinkan Gauzan diasuh seharian penuh kala Dzikri libur kerja dan Dhien tidak ada jadwal merias pengantin.
***
Keluarga besar Meutia satu persatu masuk ke dalam bus. Keriuhan hampir menyamai pasar pagi – dalangnya sudah tentu para anak-anak yang antusias ingin mandi di pantai, main air dan pasir.
“Astaga Zeeshan! Apa yang kau bawa itu, Nak?!” jantung Meutia berdebar kencang melihat keponakannya berkalungkan ekor Monyet sementara badannya memeluk kepala si kembar.
Zeeshan meringis, lalu terkikik pertanda sedang mencari alasan tepat. “Kan Mamak suka dengan Monyet, makanya sengaja kubawa buat ramai-ramai.”
Dhien berdiri berkacak pinggang di lorong bus. “Kau mau ramai, iya? Umi ikat nanti kau di pohon nangka terus sekelilingnya ditaburi gula. Biar ramai Induk Semut beserta anak cucu sampai cicitnya mengerubungi dirimu. Balikan anak Monyet itu, Zeeshan!!”
Zeeshan pun cepat-cepat turun dari bus menyelamatkan hewan peliharaannya.
Sementara orang tua si kembar cuma saling melirik lalu sama-sama tersenyum. Agam Siddiq mengelus sayang kepala sang istri yang berhijab lebar. Sementara Nur Amala memandang penuh kasih pujaan hatinya.
Tidak lama kemudian, bus mulai melaju. Para keluarga tidak ada yang membawa asisten rumah tangga. Mereka ingin menghabiskan waktu bersama para orang terkasih, mengurus semuanya bersama-sama.
“Mamak kenapa?” Intan memperhatikan wajah dan gesture ibunya yang terlihat tegang.
Meutia menggeleng, merangkul putri pertamanya. ‘Mengapa debar jantungku terdengar keras dan iramanya lebih cepat ya? Sedari tadi pun perasaan ini tak tenang. Ada apa gerangan ...?’
.
.
Bersambung.