“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Pak Rendra—ayah Darrel—mengernyit pelan, meletakkan cangkir tehnya di atas meja marmer putih.
“Fio?” ulangnya, memastikan. “Anak yang kamu tabrak waktu itu?”
“Iya, Pa. Tapi bukan hanya karena itu.” Bu Rania menatap ke arah taman belakang, suaranya melembut. “Anak itu… sederhana, sopan, mandiri. Waktu Mama antar ke kontrakannya, rasanya hati Mama terenyuh. Hidupnya pas-pasan, tapi semangatnya buat kuliah luar biasa. Dia gak ngeluh sedikit pun.”
Pak Rendra terdiam, memperhatikan istrinya yang mulai tampak bersemangat saat bercerita.
“Lalu kamu yakin dia cocok untuk Darrel?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Bu Rania mengangguk mantap. “Justru itu, Pa. Darrel butuh sosok seperti Fio. Dia terlalu lama menutup diri sejak pisah sama Dania. Selalu merasa gagal, merasa hidupnya gak pantas untuk bahagia lagi. Padahal usianya baru tiga puluh. Gak bisa terus begini.”
Pak Rendra menghela napas panjang.
“Kalau soal calon, Papa gak masalah. Tapi kamu tahu sendiri, Darrel itu keras kepala. Apalagi kalau disinggung soal pernikahan. Dia pasti langsung menolak mentah-mentah.”
“Makanya Mama minta Papa yang bicara. Kalau Mama, selalu dipotong. Dia pasti bilang Mama gak ngerti perasaannya.”
Pak Rendra tersenyum samar. “Kamu ini selalu punya cara untuk minta tolong dengan alasan manis.”
Bu Rania ikut tersenyum kecil. “Tolong ya, Pa… Bicara pelan-pelan. Jangan langsung soal jodoh. Mungkin lewat obrolan ringan dulu. Tentang masa depan, atau tentang kesendirian.”
Pak Rendra mengangguk pelan, meneguk sisa tehnya.
“Baiklah. Nanti malam Papa coba bicara. Tapi kalau dia tetap menolak, kamu jangan memaksa, ya?”
“Gak akan, Pa. Mama cuma ingin dia membuka hatinya lagi. Entah sama siapa pun, asal bukan hidup terus di bayang-bayang masa lalu.”
Pak Rendra berdiri, menepuk pundak istrinya dengan lembut. “Oke. Papa akan coba. Tapi kalau benar anak itu sebaik yang kamu bilang, mungkin memang ini bukan kebetulan.”
Bu Rania menatap suaminya dengan tatapan penuh harap.
“Aamiin, Pa. Mama cuma ingin lihat Darrel tersenyum lagi.
***
Malam harinya, suasana rumah keluarga Darrel terasa tenang. Hanya terdengar suara detak jam dinding dan lembutnya musik instrumental yang mengalun dari ruang tamu.
Pak Rendra duduk di kursi berseberangan dengan putranya yang tengah menatap layar laptop, wajahnya datar seperti biasa.
“Masih kerja?” tanya Pak Rendra membuka percakapan dengan nada ringan.
Darrel menutup laptopnya perlahan. “Sedikit revisi laporan, Pa.”
“Bagus.” Pak Rendra mengangguk, menatap Darrel beberapa detik sebelum akhirnya bicara lagi.
“Papa sempat ngobrol sama Mama tadi pagi. Tentang kamu.”
Darrel menarik napas pelan. “Mama bicara apa lagi?” tanyanya datar, seperti sudah bisa menebak arah pembicaraan.
“Bukan apa-apa. Mama cuma khawatir kamu terlalu sibuk. Rumah ini sepi banget tanpa tawa kamu seperti dulu,” ucap Pak Rendra lembut, nada suaranya mengandung makna yang lebih dalam dari sekadar basa-basi.
Darrel terdiam, menatap lantai. “Aku gak masalah, Pa. Kesepian bukan hal baru.”
Pak Rendra tersenyum tipis. “Itu justru yang bikin Papa khawatir. Kamu terlalu terbiasa sendiri sampai lupa kalau hidup gak harus diisi dengan kerja terus.”
“Pa…” Darrel mendesah, menatap ayahnya. “Aku belum siap. Aku belum bisa mikirin yang begitu lagi.”
Pak Rendra mengangguk pelan, tidak memaksa.
“Papa mengerti. Tapi kamu gak akan pernah ‘siap’ kalau terus nunggu waktu yang sempurna. Kadang, orang yang bisa menyembuhkan kita datang justru saat kita gak siap apa-apa.”
Darrel membisu. Wajahnya berubah tegang. “Mama sudah bilang, ya?” tanyanya menebak.
Pak Rendra tersenyum lagi, kali ini sedikit menggodanya. “Tentang Fio?”
Darrel menunduk, gelisah. “Pa, aku gak mau dijodohin. Aku gak mau ada orang lain yang dibanding-bandingin sama—”
“Sama Dania?” potong Pak Rendra lembut. “Papa tahu. Tapi bukan berarti semua perempuan akan menyakiti kamu seperti itu, Nak.”
Darrel mengepalkan tangannya di pangkuan. “Bukan soal itu, Pa. Aku cuma… belum yakin bisa jadi suami yang baik. Aku bahkan gagal menjaga pernikahanku sendiri.”
“Justru karena itu kamu harus belajar lagi,” balas Pak Rendra tenang. “Belajar untuk memberi kesempatan. Gak ada yang meminta kamu langsung menikah, tapi setidaknya… kenal dulu. Siapa tahu hatimu berubah.”
Hening sesaat.
Darrel menatap ayahnya, ada lelah di matanya tapi juga rasa hormat yang dalam.
“Pa, kenapa harus aku? Banyak orang di luar sana yang lebih pantas.”
Pak Rendra menepuk bahunya dengan lembut. “Karena mungkin ini cara Allah menunjukan kalau kamu masih punya kesempatan bahagia. Fio gadis baik, sederhana, tapi kuat. Mama melihat dia seperti cermin masa mudamu dulu.”
Darrel memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Pa, aku capek bahas ini.”
Pak Rendra tidak mundur. Ia menatap putranya penuh kasih. “Papa gak maksa kamu menikah sekarang. Tapi tolong, beri kesempatan untuk mengenal dulu. Biar Papa sama Mama tahu kamu tidak menutup diri sepenuhnya.”
Beberapa detik kemudian, Darrel membuka mata. Pandangannya kosong, tapi nadanya mulai melunak.
“Kalau aku gak cocok?”
“Berarti bukan jodoh. Selesai. Tapi kamu gak akan rugi karena sudah mencoba,” jawab Pak Rendra tegas tapi lembut.
Darrel menatap ayahnya cukup lama, seperti menimbang sesuatu di dalam kepalanya. Lalu akhirnya, ia bersandar di kursinya dan berkata lirih,
“...Terserah Papa.”
Pak Rendra tersenyum puas, meski ia tahu kalimat itu bukan bentuk persetujuan penuh, melainkan celah kecil untuk masuk.
“Terima kasih, Nak. Papa gak akan paksa lebih dari itu.”
Darrel tidak menjawab, hanya menatap langit-langit kamar yang tenang. Dalam hati, entah kenapa, wajah gadis yang memberi makan ikan sore itu sempat melintas begitu saja — cepat, tapi cukup membuatnya terdiam lebih lama dari seharusnya.
***
Keesokan harinya.
Sore ini, langit mulai berubah warna keemasan saat mobil hitam berhenti di depan kontrakan sederhana tempat Fio tinggal. Suara pintu mobil tertutup pelan, lalu muncul sosok Bu Rania dengan senyum lembutnya, diikuti oleh seorang pria berwibawa berambut sedikit beruban, Pak Rendra.
Fio yang sedang menjemur handuk di depan pintu kontrakan langsung terlonjak kaget.
“Lho… Bu Rania? Ehh—ada tamu juga?” tanyanya gugup, buru-buru menyingkirkan jemurannya dan mengelap tangannya dengan handuk kecil.
Bu Rania tersenyum ramah. “Iya, Nak. Maaf ya, kalau mendadak datang. Ini Papanya Darrel, suami saya.”
Fio cepat-cepat menunduk sopan. “Oh, selamat sore, Pak. Silakan duduk… eh, maksud saya, silakan masuk.”
Pak Rendra tersenyum hangat. “Terima kasih, Fio. Rumahnya sederhana tapi terasa nyaman, ya.”
Mereka bertiga akhirnya duduk di ruang tamu mungil dengan karpet yang mulai pudar warnanya. Fio tampak kikuk, berusaha sopan sambil menuangkan air minum seadanya dari teko kaca.
Bu Rania membuka pembicaraan dengan nada lembut, penuh bujukan seperti seorang ibu yang sabar.
“Fio, saya tahu kamu mungkin belum siap… tapi saya datang bukan untuk memaksa. Hanya ingin kamu pertimbangkan lagi soal tawaran waktu itu.”
Bersambung