Shinta Bagaskara terbangun kembali di masa lalu. Kali ini, ia tak lagi takut. Ia kembali untuk menuntut keadilan dan merebut semua yang pernah dirampas darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakek Winarta
Begitu suasana kembali tenang, Shinta Bagaskara mengetuk meja pelan. Bunyi ketukannya lembut tapi cukup untuk menarik perhatian semua orang di kelas. Tatapannya malas, nyaris datar, namun di balik itu ada ketajaman yang membuat siapapun enggan menantang.
“Kalian ini,” ujarnya tenang, “bukannya cuma mau balas dendam ke Pak Liang, ya?”
Raka Birawa langsung menegakkan tubuh, seperti anak kecil yang baru ketahuan berbuat nakal.
“Ya tentu saja!” serunya cepat, nada suaranya penuh semangat. Ia mencondongkan tubuh ke depan dengan mata berbinar. “Bos Shinta, kamu punya ide bagus, nggak?”
Semua mata kini tertuju pada gadis itu. Shinta menatap mereka satu per satu, ekspresinya tenang, sedikit acuh, seperti seseorang yang sudah tahu jawabannya sejak awal.
“Naikkan nilai kalian,” katanya datar.
Beberapa detik hening.
Lalu Raka langsung menelungkup di meja, mengeluh dramatis, “Aduh, Bos... kalau disuruh belajar, mending aku mati aja sekalian. Nilai segini aja udah perjuangan hidup-mati.”
Suara tawa kecil pecah di sudut kelas. Anak-anak kelas 12D tertawa sambil saling menatap—antara tidak percaya dan malas. Bagi mereka, belajar keras sama saja dengan hukuman.
“Serius nih, Bos? Kita mau lawan anak-anak kelas A pakai nilai? Mereka itu belajar demi masuk universitas negeri favorit, sedangkan kita...” Salah satu murid cewek bersuara lirih, menatap meja. “Masuk universitas swasta aja udah untung.”
Shinta hanya mengangkat bahu, menatap ke arah jendela tempat cahaya sore masuk lembut.
“Kalau kalian cuma mau balas dendam lewat cara kotor, itu cuma bikin kalian terlihat kecil. Tapi kalau kalian bisa buktikan kalian nggak sebodoh yang mereka kira...”
Ia berhenti sejenak, lalu menatap mereka, tenang tapi penuh makna. “Itu baru balasan yang pantas.”
Raka terdiam. Semua ikut diam.
Kata-kata itu sederhana, tapi terasa menampar.
Bel berbunyi, menandakan waktu belajar mandiri dimulai. Perlahan, suara tawa dan gumaman menghilang.
Shinta membuka buku kimia, lalu mulai membaca dengan serius.
Untuk pelajaran bahasa, ia bisa membalik halaman dengan cepat, seperti air mengalir. Tapi untuk kimia dan fisika, ia harus menulis ulang, menghitung, mengulang soal hingga benar-benar paham.
Cahaya sore jatuh di atas meja belajarnya, memantul di helaian rambut hitam yang tergerai. Wajahnya serius, tenang, dan fokus—membuat siapa pun yang melihatnya seolah lupa bernapas.
Salsa Namira baru saja membuka sebungkus keripik. Tapi setelah matanya tak sengaja jatuh ke arah Shinta, tangannya berhenti.
Suara renyah keripik yang biasa membuatnya bersemangat kini terasa mengganggu. Ia menatap gadis itu—yang tidak peduli pada dunia sekitar, hanya menatap buku dengan penuh kesungguhan.
Entah kenapa, keripik itu tiba-tiba terasa hambar. Dengan sedikit canggung, ia menutup bungkusnya dan mengambil buku sendiri.
Beberapa teman lain memperhatikan—dan entah dorongan dari mana—mereka ikut membuka buku.
Lembaran demi lembaran terbuka, suara pena mulai terdengar.
Kelas 12D yang biasanya gaduh dan malas berubah menjadi ruang tenang penuh konsentrasi.
Raka yang tadinya tertidur pulas mengangkat kepala. Matanya menyipit menatap sekitar.
“Lho... baru sebentar tidur, kok semua orang belajar?” bisiknya pelan.
Tak ada yang menjawab.
Ia menggaruk belakang kepala, masih bingung. Tapi suasana yang tenang dan entah kenapa... nyaman itu membuatnya urung bicara. Akhirnya ia pun ikut membuka buku, walau awalnya hanya pura-pura. Tapi lama-lama, ia benar-benar tenggelam dalam catatan sendiri.
Dari luar, langkah sepatu berderap mendekat.
Ibu Rinjani, wali kelas mereka, berhenti di depan pintu kaca dan menatap ke dalam.
Matanya membesar. Anak-anak 12D yang terkenal bandel itu... semuanya menunduk, belajar. Tak ada suara. Tak ada keributan.
Tatapannya jatuh pada Shinta—yang menjadi pusat dari perubahan itu.
Senyum lembut terukir di wajahnya. Sepertinya aku memang dapat murid yang istimewa, batinnya.
Saat pertama kali menerima Shinta di kelas, ia hanya berpikir gadis itu memiliki aura bersih dan menenangkan. Nilai bisa diperbaiki, tapi karakter baik tidak bisa dibuat-buat.
Kini, baru dua hari Shinta bergabung, suasana satu kelas sudah berubah total.
Ia bahkan berpikir geli, Kalau Pak Liang tahu nilai Shinta, mungkin dia bisa marah sampai sakit jantung.
---
Bel pulang berbunyi. Gerbang sekolah mulai ramai oleh siswa yang keluar dengan tawa dan teriakan lepas.
Namun di seberang jalan, sebuah mobil hitam mengilap terparkir tenang. Di dalamnya, seorang pria muda duduk di kursi belakang. Jas hitamnya rapi, wajahnya teduh tapi tegas. Di tangannya, selembar berkas dengan nama yang membuat dadanya berdebar setiap kali dibaca.
“Shinta Bagaskara,” gumam Fajar Pramudya, nyaris seperti doa.
Ia menatap foto gadis itu lama-lama. Senyum tipis menghiasi bibirnya—senyum yang jarang sekali muncul.
Cahaya sore memantul di mata tajamnya, memberi kesan hangat yang jarang orang lihat.
Jadi ini dia... gadis dari mimpi itu. Kini benar-benar ada di dunia nyata.
Sejak kecil, Fajar sering bermimpi tentang seorang gadis dengan senyum lembut, berjalan di antara cahaya. Mimpi yang anehnya terus berulang, sampai-sampai wajah gadis itu seolah tertanam di hatinya.
Kini, wajah itu nyata, bernama Shinta Bagaskara.
Sekelompok siswa keluar dari gerbang. Tawa dan teriakan memenuhi udara. Namun Fajar hanya butuh satu pandangan untuk menemukannya di antara keramaian.
Gadis dengan rambut hitam terurai, pakaian sederhana, dan tatapan yang tenang.
Bukan yang paling cantik, tapi entah kenapa, dunia di sekitarnya terasa melunak.
Fajar turun dari mobil, melangkah mendekat. Ia sempat melirik pakaiannya—rapi, tak ada yang salah—hanya agar bisa menenangkan diri dari gugup yang tak wajar.
“Shinta,” panggilnya pelan.
Gadis itu berhenti dan menoleh. Begitu tatapannya bertemu dengan mata Fajar, waktu seperti melambat.
Shinta terpaku, lalu refleks melangkah mundur satu langkah.
Dada Fajar terasa menegang, tapi ia cepat menutupi perasaan itu dengan senyum lembut.
“Tenang,” katanya rendah. “Aku tidak bermaksud menakutimu.”
Ia merogoh saku jas, mengeluarkan selembar foto. “Kakek Winarta. Beliau ingin bertemu denganmu. Katanya, dia masih berutang budi karena dulu kau pernah menolongnya.”
Mata Shinta melebar, suaranya nyaris bergetar. “Kakek Winarta…” bisiknya lirih.
Melihat foto itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa hangat dan perih bersamaan.
Fajar menatapnya dengan sorot lembut, suara tenornya terdengar pelan tapi penuh ketulusan.
“Beliau sudah menunggu sejak pagi. Maukah kau ikut denganku menemui beliau?”
Shinta menatap wajah Fajar sesaat, lalu mengangguk pelan. “Aku mau.”
Fajar sempat menarik napas dalam-dalam, menahan diri agar tidak mengacak rambut lembut gadis itu seperti keinginannya. Tapi sebelum sempat melakukan apa pun, Shinta sudah melangkah lebih dulu masuk ke mobil.
Ia hanya bisa tersenyum kecil, lalu menyusul masuk dan duduk di kursi belakang.
Jantungnya berdegup cepat—sesuatu yang tak pernah ia rasakan, bahkan saat menghadapi rapat dengan investor asing.
Aroma lembut dari rambut Shinta—campuran sabun, susu, dan sedikit wangi bunga—membuat dadanya bergetar.
Ingin ia ajak bicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Akhirnya, sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Tapi keheningan itu bukan kosong—ada getaran halus di udara yang sulit dijelaskan.
---
Sementara itu, di rumah joglo besar milik keluarga Pramudya, Kakek Winarta sudah menunggu di beranda. Udara senja membawa aroma kopi dan kayu jati, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal: gadis yang menyelamatkannya bertahun-tahun lalu.
Begitu mobil hitam itu berhenti di halaman, ia bergegas turun dari kursi rotan.
“Shinta!” serunya begitu gadis itu keluar dari mobil. Langkahnya cepat meski usianya sudah senja. Ia langsung menggenggam tangan Shinta erat, seolah tak ingin melepas.
“Anak baik... akhirnya kita bertemu juga,” ucapnya dengan suara bergetar.
Tatapannya hangat, penuh kasih—sampai ia lupa cucunya sendiri berdiri di belakang Shinta dengan senyum lembut di wajah.
Fajar hanya menatap pemandangan itu dalam diam.
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Dalam hati ia tahu—hari ini, pertemuan itu bukan kebetulan.
Mungkin, ini memang takdir.