Ongoing
Lady Anastasia Zylph, seorang gadis muda yang dulu polos dan mudah dipercaya, bangkit kembali dari kematian yang direncanakan oleh saudaranya sendiri. Dengan kekuatan magis kehidupan yang baru muncul, Anastasia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya yang jahat dan memulai hidup sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13.
Angin utara merayap masuk dari celah-celah jendela batu, membawa aroma salju yang tajam seakan dunia di luar sana tidak pernah mengenal rasa hangat. Aula besar Kediaman Silas diterangi oleh obor-obor biru yang berderik pelan, menimbulkan gema aneh di sepanjang dinding batu abu-abu.
Anastasia berdiri di tengah ruangan, tubuhnya gemetar bukan karena suhu dingin tetapi karena tatapan para ksatria Aloric yang menusuk seperti sebilah es.
Mereka melihatnya seakan ia adalah ancaman atau gangguan atau juga sebuah… kutukan. “Wanita itu tidak berasal dari Utara. Tak ada yang bisa bertahan hidup di badai salju tadi malam,” bisik salah satu dari mereka. “Tidak mungkin dia hanya manusia biasa,” balas yang lain.
Aloric berjalan memasuki aula, langkahnya berat, suara sepatunya menggema memecah bisikan ketakutan itu. Tubuh setinggi menara kecil, lebar bahunya seperti diciptakan untuk membawa beban dunia, dan aura pertarungan yang mengintimidasi begitu kuat hingga semua orang langsung menunduk. Begitu juga Anastasia secara refleks.
Aloric berhenti di hadapannya. Tatapan hitam pekat itu menembus lurus ke mata Anastasia seakan ingin membaca seluruh rahasia hidupnya. “Bangun.” Suara itu rendah, dalam, seperti geraman yang ditahan. Anastasia mendongak. “Aku… sudah berdiri.”
Aloric menatapnya lama. Terlalu lama. Seolah otaknya bekerja keras untuk memahami spesies aneh apa yang berani menjawab balik dirinya. “Baik.” Ia memalingkan wajah. “Ikut aku.” Ia berjalan tanpa menunggu. Anastasia mendengus pelan. “Sombong sekali…”
“Apa kau bilang?”
“—Tidak ada!” Anastasia mengangkat roknya sedikit, setengah berlari menyusul langkah panjang laki-laki itu.
Lorong menuju ruang pertemuan dipenuhi patung-patung leluhur keluarga Silas: wajah keras, mata terbuat dari obsidian, dan senjata-senjata berat yang tampak masih haus darah. Anastasia merasakan tengkuknya merinding.."Apa mereka sengaja membuat tempat ini terlihat seperti mau memakan orang?"
"Aku dengar itu," suara Aloric menggelegar.
"A-aku hanya… memikirkan secara estetika."
Aloric berhenti mendadak. Anastasia hampir menabraknya. Ia menunduk padanya. Dekat sekali. Nafas dinginnya menyentuh kulit Anastasia, namun aneh, tidak lagi terasa menusuk. “Estetika? Ini adalah simbol kehormatan keluarga Silas. Setiap patung adalah pahlawan perang.”
“P-pahlawan yang sangat… tidak ramah.” Aloric menatapnya lagi tanpa ekspresi.
Kemudian berbalik. “Duduk. Kita akan memulai pertemuan.”
Di dalam ruang pertemuan, para komandan Utara sudah menunggu. Mereka semua menatap Anastasia dengan curiga. Aloric duduk di kursi ujung meja panjang. Kursi yang tampak lebih seperti singgasana perang. “Sekarang,” ucapnya. “Kita bahas kejadian di perbatasan.”
Salah satu komandan, pria besar bernama Warden Hale, menunduk. “Yang Mulia Duke… tubuh Anda ditemukan tidak bernyawa. Kami sudah bersiap membawa Anda pulang untuk dimakamkan dengan upacara kehormatan. Namun ketika kami kembali… Anda hilang.” Tatapannya melirik Anastasia. “Dan wanita itu ada di sana.”
Tatapan seluruh ruangan terarah pada Anastasia bagai panah siap ditembakkan. Anastasia menelan ludah. Tangannya berkeringat. “Dia menyelamatkanku,” jawab Aloric datar. Itu saja. Satu kalimat. Tapi ruangan langsung hening. Warden membelalakkan mata. “Men–menyelamatkan? Maksud Yang Mulia… wanita ini menghidupkan Anda kembali?” Aura dingin Aloric menegang. “Aku tidak mati.”
“Tapi—”
“Aku bilang. Aku tidak mati.” Semua komandan diam. Namun Anastasia melihat sesuatu di mata mereka. Ketakutan. Bukan padanya—melainkan pada Aloric.
Seolah mereka tahu bahwa tidak ada satu pun mahluk hidup normal yang bisa membuat Duke Aloric Silas jatuh.
Jika ia tumbang… maka yang memukulnya pasti bukan manusia. Atau bukan hal yang ingin mereka ketahui. Aloric menyandarkan punggungnya. “Kibarkan penjagaan perbatasan. Kirim regu pengintai ke titik barat. Putra Mahkota mulai bergerak.” Bisik-bisik panik muncul. “Putra Mahkota? Apa maksud Anda, Duke?”
Aloric mengetukkan jarinya ke meja kayu hitam. “Sihir jahat itu bukan rumor. Semakin banyak tanda muncul di wilayah barat. Kita tidak bisa tinggal diam.” Anastasia menatap pria itu. Untuk sesaat, ia melihat sesuatu yang berbeda dari Aloric sebuah ketegangan kewaspadaan dan rasa tanggung jawab. Ia bukan hanya mesin perang. Ia pemimpin yang benar-benar memikirkan rakyatnya.
Pertemuan berakhir. Aloric berdiri. “Anastasia. Ikut.”
“Mau dibawa ke mana lagi aku ini…” gumamnya kecil.
“Aku dengar itu.”
Anastasia meringis. “Maaf.” Mereka berjalan ke balkon luar. Angin kuat menerpa, namun lagi-lagi Anastasia tidak merasakan dingin. “Tubuhmu berubah,” ucap Aloric tiba-tiba. Anastasia menoleh. “Apa?”
“Manusia biasa tidak tahan suhu ini. Bahkan ksatria terbaik pun tak kuat berdiri di sini tanpa mantel.”
Tatapan Aloric naik turun meneliti kondisi Anastasia. “Kau… berbeda.”
“Hanya… tubuhku kebal dingin.” Anastasia memalsukan senyum. “Bakat bawaan mungkin?” Aloric tidak menjawab. Tapi jelas ia tidak percaya. Keheningan menyelimuti balkon.
Di kejauhan, langit utara merah darah akibat pantulan medan perang yang belum benar-benar padam. Suara serigala salju melolong jauh di lembah beku. Anastasia bersandar pada pagar batu. “Tempat ini… indah, tapi sedih.”
“Utara tidak diciptakan untuk kenyamanan.”
“Termasuk duenya?”
Aloric menatapnya. “Termasuk aku.”
Ada rasa yang sulit dijelaskan bukan romantis bukan pula lembut lebih seperti… luka lama yang disembunyikan di balik es. “Aku ingin tahu sesuatu,” kata Anastasia pelan. “Kenapa kau terima pertunangan dengan Putri Kaisar padahal kau terlihat tidak… menginginkannya?”
Aloric tidak langsung menjawab. Angin bertiup lebih keras. “Karena aku tidak punya pilihan.” Nada suaranya—dingin, tetapi ada kepahitan di bawahnya. “Aku adalah senjata keluarga Silas. Hidupku untuk perang. Untuk kerajaan. Bukan untuk keinginan pribadi.”
Anastasia menatapnya lama.
Pria yang katanya kejam, dingin, tak punya hati… Ternyata hanyalah burung yang dipaksa tinggal dalam kandang salju. “Kau tidak ingin menikahinya…”
Anastasia menurunkan suara. “Tapi kau tetap menerimanya.”
“Ya.”
“Kenapa?”
Aloric menoleh, mata hitamnya mengunci mata biru Anastasia. “Karena aku tidak menginginkan apa pun, Anastasia. Tidak ada yang perlu aku tolak, juga tidak ada yang perlu aku kejar. Hidupku sudah ditentukan sejak kecil.” Anastasia tiba-tiba merasa… marah tapi bukan kepada Aloric. tapi pada orang-orang yang memperlakukannya seperti binatang perang. “Kalau begitu… apa kau ingin bebas?”
Kalimat itu meluncur begitu saja. Aloric terdiam. Tatapannya berubah. Bukan marah. Bukan heran. Lebih seperti… seseorang yang mendengar kata “matahari” untuk pertama kali dalam hidup. “…Apa itu penting?”
“Ya,” jawab Anastasia tanpa ragu. “Karena aku juga ingin bebas.” Untuk sedetik, hanya sedetik, Aloric menatapnya seolah melihat sesuatu yang sama dalam dirinya. Dua manusia… Yang ingin merusak takdirnya masing-masing.
Namun momen itu pecah oleh suara langkah tergesa seorang prajurit. “DUKE! LAPORAN DARURAT!”
Aloric menoleh tajam. “Masuk.” Prajurit itu berlutut, terengah. “Putra Mahkota melakukan gerakan besar di ibu kota! Banyak bangsawan berpihak padanya… dan Kaisar dicurigai terinfeksi sihir jahat—!”
Aula bergetar Anastasia seketika menegang. Aloric berdiri perlahan, aura dingin dan mematikan seketika kembali menyelimuti tubuhnya. “Mulai dari sekarang,” katanya pelan… berbahaya…
“Perang sebenarnya baru saja dimulai.”