Takdir Kedua
Ruangan gelap dan pengap.
Shinta Bagaskara membuka mata, masih bisa merasakan sakit menusuk di dadanya.
Baru beberapa saat lalu, ada sebilah pisau yang menancap di sana.
Rasa dingin tajam dari pisau itu saat menembus jantungnya masih jelas di ingatan—nyeri hebat yang merambat ke seluruh tubuh, seakan meretakkan tulangnya.
Darah terus mengalir ketika ia tergeletak di lantai, napasnya makin lama makin lemah.
Pandangan terakhirnya adalah wajah Dira Bagaskara yang juga terbaring di lantai, matanya melotot penuh kebencian.
Dira mati. Shinta sendiri yang mencabut pisau dari dadanya, lalu menusukkannya ke Dira, memilih mati bersama.
Dira… dulu adalah adik yang paling ia sayangi, orang yang paling ia percaya di dunia ini.
Tapi ternyata, dialah orang yang menghisap habis nilai hidup Shinta, bahkan sampai menginginkan nyawanya.
Dira menggunakan Shinta untuk mendekati Fajar Pramudya.
Menggunakan Shinta untuk jadi pelukis terkenal.
Menggunakan Shinta untuk jadi aktris pemenang penghargaan.
Menggunakan Shinta untuk membuat perusahaan Bagaskara Group masuk jajaran lima ratus besar dunia.
Semua kejayaan ia rebut sendiri, sementara di balik senyumnya yang polos dan tidak bersalah, setiap langkahnya adalah untuk menghancurkan Shinta.
Karena iri dengan bakat melukisnya, Dira bahkan mematahkan tangan Shinta dengan tipu daya.
Dan ketika nilai Shinta sudah habis, makanan dan minumannya diracuni perlahan.
Semakin ia mengingat, semakin kencang Shinta menggenggam seprai. Dada dipenuhi amarah dan kebencian yang tak terbendung.
Dira menghancurkan hidupnya, merebut keluarganya, dan merampas segalanya.
Lalu… bagaimana dengan sekarang?
Bukankah ia sudah mati?
Kenapa ia masih hidup?
Apa Dira yang sengaja menyelamatkannya hanya untuk menyiksa lagi?
Shinta menggeleng. Tidak mungkin. Dira tidak akan pernah menyelamatkan dia. Lagi pula, ia sendiri yang sudah menusuk Dira sampai mati.
Barulah ia mulai memperhatikan sekeliling.
Rumah bata tua yang lapuk. Selimut bau apek. Tempat tidur pendek yang bahkan tidak cukup untuk tingginya. Semua begitu familiar.
“Rumah keluarga Wulan?” gumamnya serak, jarang bicara setelah sekian lama.
Ia menekan dadanya. Tidak mungkin ia lupa tempat ini.
Tujuh belas tahun hidupnya dulu dihabiskan di rumah ini—dan semua yang pernah terjadi di sini adalah mimpi buruk yang membekas seumur hidup.
Bagaimana mungkin ia kembali ke sini?
Alisnya berkerut dalam.
Tiba-tiba—
Suara seorang wanita terdengar dari pintu, kasar dan penuh ketidaksabaran.
“Dasar anak sial! Kenapa belum bangun juga?”
“Kalau bikin adikmu nunggu, awas saja kau nanti!”
Wanita itu, Sari Wulandari, masuk dengan celemek masih terikat di pinggang. Begitu melihat Shinta duduk di ranjang, wajahnya tambah kesal.
“Cepat bangun! Cuma demam kecil, dua hari sudah berbaring. Kau pikir kau putri kaya? Huh! Cuma sampah yang aku pungut, jangan sok besar kepala!”
Waktu Shinta sakit, Sari terlalu pelit untuk membawanya ke dokter atau membeli obat. Jadi ia dibiarkan begitu saja.
Sari mengelap tangannya di celemek. “Cepat siap-siap. Orangnya sudah datang.”
Mendengar itu, hati Shinta mencelos. Wajahnya seketika dingin.
Benar… ia kembali ke masa sebelum dibawa pulang ke keluarga Bagaskara.
Sari melihat Shinta masih diam, langsung ngomel lagi, “Apa kau mau aku yang pakaikan baju?”
Dari dapur tiba-tiba tercium bau gosong.
“Ik! Ikanku!”
Keluarga Wulan miskin. Bisa makan ikan saja sudah termasuk mewah. Begitu sadar ikannya gosong, Sari langsung menyalahkan Shinta.
“Anak pembawa sial! Sejak kau datang, tidak ada satu pun hal baik terjadi di rumah ini!”
Sambil menggerutu, Sari buru-buru ke dapur.
Shinta bangkit dari ranjang. Perutnya kosong, sudah dua hari tidak makan. Di meja ruang tamu ada sepiring sayur, sedikit ikan gosong, dan sebakul nasi putih.
Ia hanya sanggup menghabiskan sepiring kecil nasi. Bertahun-tahun diperlakukan buruk, lambungnya sudah terbiasa kecil. Dua hari tidak makan pun, ia hanya bisa menelan segitu.
“Sudah siap?” Seorang pria berjas masuk ke dalam.
Sari, yang sedang menata ikan gosongnya, langsung keluar dapur dan menyunggingkan senyum ramah. “Siap, siap.”
Begitu pria itu pergi lagi, wajah Sari berubah galak. Ia melotot ke arah Shinta. “Dasar anak sial! Cepat bereskan barang-barangmu!”
Shinta memang tidak berniat lama-lama di rumah Wulan. Ia kembali ke kamar, membereskan barang. Tak banyak yang ia punya, jadi sebentar saja sudah selesai.
Begitu keluar, Sari sudah menunggu di halaman bersama yang lain.
Ia mendekat, lalu memberi peringatan dengan nada tajam:
“Dengar baik-baik! Begitu kau kembali ke keluarga Bagaskara, kau harus selalu baik pada adikmu. Kalau bukan karena dia, kau tidak mungkin bisa kembali! Dia suruh kau ke timur, kau jangan berani ke barat! Paham?!”
“Dasar bocah nggak tahu diri!” kata Sari sambil bersiap menjewer lengan Shinta. Tapi Shinta hanya menatapnya dingin.
Tatapan itu membuat hati Sari ciut, tangannya pun langsung ditarik kembali.
Ia mengernyit kesal. Apa Shinta sekarang sudah berani melawan?
Tangannya lalu menunjuk Shinta sambil melontarkan sumpah serapah.
Rasa sebal jelas terlihat di mata Shinta. Ia langsung menangkap jari tengah Sari dan memelintirnya. Ucapannya terdengar datar tapi menusuk,
“Mulutmu nggak pantas buat menghina aku.”
“Aw!” wajah Sari meringis kesakitan. Ia berteriak marah, “Dasar anak sialan! Berani sekali kau melawan?! Jangan kira cuma karena kau jadi nona Bagaskara, aku nggak bisa mengajarimu!”
Suara teriakannya nyaring menusuk telinga. Shinta sampai harus mengorek telinganya sebelum melepaskan tangan itu.
Ia lalu menunduk sedikit, mendekat ke telinga Sari, lalu terkekeh pelan.
“Tenang aja. Semua perlakuan kalian selama ini… akan aku hitung satu per satu. Termasuk anak kesayanganmu itu.”
Habis bicara, Shinta mengeluarkan sebutir permen susu. Ia buka bungkusnya, masukkan ke mulut, lalu naik ke mobil.
“Anak kurang ajar! Dasar serigala berbulu domba! Aku yang membesarkanmu sekian lama, tapi kau malah melawan aku begini. Kalau bukan karena aku, entah kau sudah mati di mana!” Sari sempat terdiam karena ucapan Shinta, tapi begitu sadar, ia kembali mengomel sambil meludah ke mana-mana.
“Jalan.”
Shinta hanya memerintah singkat. Ia sudah terlalu terbiasa dengan tamparan dan makian Sari. Sejak kecil ia nggak pernah tahu kenapa orangtuanya selalu membencinya, sampai akhirnya ia dibawa pulang… dan sadar bahwa ia bukan anak kandung mereka.
Sebenarnya, identitasnya sudah ditukar. Dira yang seharusnya tumbuh di desa, justru menikmati status sebagai putri besar keluarga Bagaskara. Sementara Shinta sendiri menderita di kampung.
Dan ketika akhirnya dipulangkan, “orangtua kandungnya” itu pun hanya mengakui Dira sebagai anak.
Ironisnya, Shinta dulu masih rela merendahkan diri, berharap diberi sepotong kecil kasih sayang. Bahkan secuil perhatian dari Dira saja, ia berusaha keras untuk mempertahankannya.
Kini, duduk di mobil, Shinta menatap keluar jendela pada pemandangan yang terus bergeser ke belakang.
Sudut bibirnya terangkat tipis, tapi senyumnya dingin menusuk.
Tidak lagi. Ia tidak akan pernah lagi terbuai oleh kehangatan palsu itu.
Dira… aku pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
DdCantik
good job Kaka lama tak ber sua kita
2025-10-01
9
Silviana
menanti azab buat bagaskara family
2025-10-06
4
Awkarina
Salam kenal ka Author... semangat berkarya
2025-10-07
2