Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 09
"Zahira, mau ke mana kamu?" tanya Adit sambil menatap langkah Zahira yang mulai menjauh.
"Ya mau pulang lah, kamu kan nggak mau antar," jawab Zahira ketus, masih memegang koper dengan tangan gemetar.
"Astaga… kampung kamu itu jauh banget. Bahkan pakai motor aja bisa sampai delapan jam. Gimana mau jalan kaki?" ucap Adit setengah frustasi.
Tanpa menunggu balasan, Adit melangkah cepat menghampiri Zahira dan menyerahkan sebuah jaket.
Sebagai tukang ojek online, tentu masuk akal jika Adit punya jaket cadangan—begitu pikir Zahira. Tapi ada yang aneh. Warna jaket itu adalah warna favoritnya, dan ukurannya pas sekali di tubuhnya, seolah memang dibuat khusus untuknya. Bahkan masih tercium aroma kain baru, belum pernah dipakai sebelumnya. Zahira menatap jaket itu dengan bingung, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, tapi ia memilih diam.
"Ini, pakai jaket. Perjalanan jauh kalau nggak pakai jaket nanti kamu masuk angin," ucapnya sambil menyodorkan jaket itu ke tangan Zahira.
Zahira tertegun. Tangannya menerima jaket itu dengan ragu. Ada kehangatan dan perhatian dalam sikap Adit—sesuatu yang tak pernah ia dapat dari rumah yang baru saja ia tinggalkan.
"Kenapa diam saja? Ini sudah mau petang. Cepat pakai jaketmu," ujar Adit, suaranya kini terdengar lebih lembut.
Zahira pun perlahan mengenakan jaket itu. Hidungnya mencium aroma parfum yang familiar—wangi favoritnya. Entah kenapa, aroma itu membuat dadanya terasa hangat dan matanya memanas.
"Ini, pakai helmnya," ucap Adit sambil menyerahkan helm ke Zahira.
Zahira menerimanya dengan ragu, lalu tersenyum tipis. Dalam hati, ia menggumam, Ah, ini benar-benar seperti adegan romantis antara wanita dan pria paruh baya.
Ia pun mengenakan helm, tapi terlihat kesulitan saat mencoba mengunci tali di bawah dagunya. Adit mendekat tanpa banyak bicara, lalu perlahan membantu mengunci tali helm dengan tangan yang penuh kehati-hatian. Gerakan mereka begitu lembut—seolah pasangan kekasih yang hendak memulai perjalanan jauh bersama.
"Kamu… kamu benar-benar mau antar aku sampai ke desa?" tanya Zahira pelan, dengan nada malu-malu.
"Astaga, kamu udah pakai jaket dan helm aku, kurang serius apa lagi coba aku sama kamu? Kamu tuh dari dulu selalu aja meragukan aku," jawab Adit sambil tersenyum geli, namun ada ketulusan dalam suaranya.
Zahira hanya membalas dengan senyum kecil, lalu berjalan malu-malu menuju motor Adit. Ia duduk di jok belakang, dan Adit meletakkan koper di bagian depan motor.
Mereka pun bersiap berangkat—seperti sepasang keluarga kecil yang sedang mudik di hari lebaran. Sunyi jalan dan semilir angin sore menambah hangatnya perjalanan yang diam-diam mengobati luka di hati masing-masing.
Adit melajukan motor dengan kecepatan sedang. Gerakannya tenang, tidak ada rem mendadak, tidak juga memanfaatkan situasi—hanya fokus pada jalan di depan.
"Zahira… ingat umur… Zahira," gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan diri dari kegugupan yang tak ia pahami.
Zahira di jok belakang beberapa kali menarik napas panjang, istigfar pelan. Hatinya masih diliputi rasa tak menentu. Tapi kenyataannya, memang tidak ada pilihan lain. Desanya terlalu jauh untuk ditempuh dengan jalan kaki. Mau tak mau, ia harus mempercayakan perjalanan ini pada pria yang dulunya ia tolak... dan kini datang lagi, dalam bentuk yang berbeda.
Adit menghentikan motornya di pinggir jalan, di dekat sebuah masjid kecil yang tampak sepi namun bersih.
"Kenapa berhenti?" tanya Zahira heran, mengira ada masalah.
"Maghrib dulu. Nanti sekalian jamak sama Isya, biar kita nggak berhenti-berhenti di tengah jalan," jawab Adit dengan nada santai, sambil membuka helmnya.
Shalat? Zahira menoleh cepat ke arahnya, nyaris tak percaya. Adit… shalat? Dulu, dia adalah orang paling sulit diajak beribadah. Bahkan pembicaraan soal agama selalu berujung debat, karena cara pikir Adit yang terlalu keras dan ekstrem, sulit dimengerti.
Zahira hampir tertawa, tapi juga merasa bangga. Waktu dan hidup ternyata benar-benar mengubah seseorang. Diam-diam, ada rasa kagum muncul dalam hatinya.
Adit mengambil air wudu dengan tenang, sementara Zahira masih duduk di teras masjid, memperhatikannya dalam diam. Ia menghela napas panjang. Shalat memang tak pernah ia tinggalkan, tapi sering ia lalaikan. Hendro? Ah, setiap diingatkan shalat, yang ia dapat justru bentakan.
Zahira sengaja menunda shalatnya, memilih berjaga di luar karena khawatir dengan koper dan motor Adit. Dari teras masjid, ia melihat Adit sedang shalat. Gerakannya tenang, dan doanya tampak begitu khusyuk. Entah apa yang ia panjatkan dalam sujudnya. “Apakah dia mendoakanku?” gumam Zahira dalam hati. Ia lalu menggeleng pelan dan kembali beristigfar.
Adit keluar dari masjid dengan langkah tenang, memberikan ruang bagi Zahira untuk shalat. Zahira pun berdiri, mengambil wudu, lalu masuk ke dalam masjid dengan hati yang berat.
Dalam sujudnya, air matanya nyaris jatuh. Ia merasa begitu jauh dari Allah. Mungkin… mungkin perceraian ini adalah bentuk teguran dari-Nya. Tapi Zahira juga tak ingin kembali ke dalam lingkaran yang sama—disakiti, diabaikan, dan dihina.
“Maafkan aku ya Allah. Aku tahu, perceraian adalah sesuatu yang Engkau benci. Tapi aku juga tak sanggup terus-menerus dizalimi. Mudah-mudahan Engkau memaklumi,” lirih Zahira dalam doanya, penuh harap dan luka yang pelan-pelan mulai ia pasrahkan pada Tuhan.
Zahira melangkah keluar dari masjid, angin malam mulai berhembus pelan. Di dekat motor, Adit sudah menunggunya sambil membawa sebungkus nasi.
"Makan dulu, perjalanan kita masih jauh. Jangan sampai kamu masuk angin," ucap Adit sambil menyodorkannya.
Zahira membuka mulut, hendak menolak, tapi belum sempat berkata apa-apa, perutnya justru berbunyi pelan.
Adit tersenyum geli. "Sudah, jangan sok menolak. Perut kamu nggak bisa diajak bohong," katanya sambil tertawa kecil, lalu duduk di samping motor, menunggu Zahira menerima makanan itu. Zahira hanya bisa tersenyum malu, lalu mengambil bungkus nasi itu dengan hati yang mulai terasa hangat.
Zahira dan Adit duduk di teras masjid pinggir jalan, menikmati makan malam sederhana ditemani cahaya bulan purnama dan angin sepoy-sepoy yang menenangkan.
Biasanya, dalam setiap perjalanan, Zahira lah yang selalu sibuk membeli makanan. Hendro dan anak-anaknya? Tak pernah benar-benar peduli apakah ia sudah makan atau belum. Kenangan itu membuat dadanya sesak—tanpa sadar, air mata pun menetes di pipinya.
Ia mengambil tisu yang sudah disiapkan Adit di depannya.
“Maafkan aku,” ucap Zahira pelan, lebih kepada dirinya sendiri, lalu menyeka air mata yang mengalir.
Adit tak berkata apa-apa. Ia hanya kembali fokus pada makanannya, memberikan ruang bagi Zahira untuk menenangkan diri. Setelah selesai makan, Adit berdiri, membersihkan sisa-sisa makanan di teras, memastikan tak ada satu pun sampah tertinggal di rumah Allah. Sikap kecil yang membuat Zahira kembali merenung—tentang perhatian, kepedulian, dan bentuk cinta yang sederhana, tapi nyata.
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.