Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Sejak kecil hingga dewasa, Erika selalu menaruh kebanggaan berlebihan pada kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya. Bagi dirinya, pesona itu adalah senjata. Ia suka menjadi pusat perhatian kaum pria, suka ketika tatapan mereka terpaku padanya, suka ketika bisikan kagum terdengar di telinga. Semua itu memberinya rasa puas, seolah ia punya kuasa atas dunia.
Namun kini, kecantikan yang selama ini ia banggakan justru menjadi bumerang. Setiap lengkung tubuhnya yang dulu dielu-elukan, kini seperti jerat yang menyesakkan. Pak Benio, lelaki tua mata keranjang itu, selalu menemukan cara untuk memanfaatkannya.
"A-aku pi-lih ...." Erika merasa tenggorokannya begitu kering. Kata-kata yang hendak keluar tersangkut di kerongkongan, nyaris tak terdengar. Ia menelan ludah, berusaha membasahi kerongkongan agar suaranya bisa keluar. Tubuhnya bergetar.
"Keluar dari pekerjaan, Pak," ucap Erika akhirnya. Matanya bergerak ke kanan-kiri, penuh keraguan, tetapi juga malu. Ada harga diri yang ia pertaruhkan, meski ia tahu sebagian harga diri itu telah lama hilang.
Dalam hatinya, Erika mencoba menenangkan diri. "Dengan gaji Mas Vandra delapan juta, masih cukup memenuhi kebutuhanku. Kami tinggal di rumah mama, jadi tak perlu pusing memikirkan uang kontrakan, listrik, atau PDAM," batinnya.
Keyakinan itu Erika pegang erat, meski samar-samar sadar. Dia sedang menutup mata dari kenyataan. Ia lupa atau pura-pura lupa, bahwa Vandra masih punya kewajiban memberi nafkah untuk keluarganya yang sah.
Pak Benio terdiam. Ekspresi wajahnya tercengang. Ia sungguh tidak menyangka Erika akan memilih jalan itu. Di benaknya, perempuan ini hanyalah sosok yang rela menjual tubuh demi kesenangan. Ia yakin Erika akan kembali tunduk, rela dijadikan simpanan hanya agar tetap hidup enak.
"Baiklah, kalau itu pilihanmu," kata Pak Benio akhirnya. Bibirnya tersenyum kaku, tetapi ada bara amarah tersembunyi di matanya. "Seperti yang kamu tahu, sekarang ini sulit sekali mencari pekerjaan."
"Suamiku masih bisa membiayai hidupku," jawab Erika, mencoba terdengar tegar.
Erika melangkah pergi. Dia merasa setiap langkah terasa berat, seolah ada ribuan beban yang mengikat pergelangan kakinya.
Benar saja, ketika Erika melewati lorong lantai tujuh sambil membawa kotak besar berisi barang-barangnya, tatapan sinis menyambutnya dari segala arah. Beberapa karyawan tersenyum miring. Bisikan-bisikan jahat berdesakan masuk ke telinganya.
"Si gundik dipecat," bisik seorang perempuan berambut cokelat kemerahan.
"Makanya jangan sok cantik dan menggatal sama suami orang. Kalau sudah ketahuan sifat busuknya, orang pun akan jijik," timpal seorang karyawan berambut hitam yang diikat ekor kuda.
"Aku kira perubahan penampilannya itu tulus. Rupanya sama saja," celetuk wanita muda yang usianya sebaya dengan Erika.
"Penampilan barunya cuma topeng, untuk menutupi kebusukan," ujar yang lain, kali ini berambut pendek, tertawa kecil sambil melirik ke arah Erika.
"Susah mengubah sifat buruknya. Menggoda suami orang itu sudah jadi darah dagingnya," tambah seorang perempuan berambut hitam kemerahan dengan suara nyaring, seakan sengaja agar Erika mendengarnya.
Setiap kata itu menusuk hati Erika seperti pisau berkarat. Ia ingin membalas, ingin menjerit bahwa mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ia alami. Akan tetapi lidahnya kelu. Ia sadar, jika ia melawan, semua perempuan itu akan bersatu mengeroyoknya. Lalu, ia akan kalah, lagi.
Saat Erika ke luar dari lift dengan langkah gontai, dering telepon yang tiba-tiba membuatnya terkejut. Erika mengeluarkan ponselnya dari tas dengan tangan gemetar.
"Halo, Erika! Mamamu masuk rumah sakit. Cepat datang ke sini!" Suara panik di seberang membuat darahnya seakan berhenti mengalir.
"Apa?!" pekik Erika. Tubuhnya bergetar hebat. Kotak di tangannya hampir terlepas. Dunia yang sudah remuk, kini benar-benar runtuh di atas kepalanya.
Sementara itu di tempat lain, Alya sedang melalui penderitaan yang tak kalah berat. Sejak semalam, ia tak bisa tidur. Matanya sembab, wajahnya pucat, tubuhnya lemah. Seharian kemarin, tak ada makanan yang masuk ke perutnya.
Pengkhianatan Vandra membuat seluruh tubuhnya lumpuh, bukan hanya hati yang hancur, tetapi juga semangat hidup yang direnggut begitu saja. Alya merasa kepalanya berdenyut dan berputar. Napasnya pendek, seakan setiap hembusan adalah perjuangan agar tetap hidup.
"Mbak, mau aku antarkan ke dokter?" tanya Amara yang merupakan sepupu Alya, dengan nada khawatir. Ia menatap wajah Alya yang semakin pucat.
"Tidak apa-apa. Tidur sebentar juga akan cepat sembuh," jawab Alya. Senyum lemah menghiasi bibirnya, senyum yang lebih mirip topeng daripada kebahagiaan.
Zara, adik ipar yang setia menemani, menatap Alya dengan cemas. "Mbak Alya, jangan stres. Nanti berpengaruh ke ASI. Kasihan Axel kalau sampai ASI-nya enggak keluar."
Kalimat itu seperti palu lain yang menghantam Alya. Benar, setiap kali pikirannya kacau, ASI-nya tidak keluar banyak. Sedangkan bayi mungil itu lebih suka menyusu langsung darinya dibanding susu formula. Bayi itu tidak tahu apa-apa, tidak berdosa, tetapi harus ikut merasakan akibat dari luka hati ibunya.
Bel rumah tiba-tiba berbunyi. Zara buru-buru membukanya. Dua sahabat lama Alya masuk, wajah mereka diliputi rasa iba. Maria dan Rianti segera menghampiri Alya, memeluknya erat.
Zara dan Amira membawa Axel ke teras belakang rumah. Mereka memberikan ruang bagi Alya untuk berbagi air mata dengan kedua sahabatnya.
"Alya, bagaimana keadaanmu?" Suara Maria lembut, pelan, tetapi penuh empati.
"Betapa terkejutnya aku saat tahu berita perselingkuhan Vandra, tadi," sambung Rianti dengan nada bergetar.
Alya terdiam. Lidahnya kelu. Hatinya sudah terlalu penuh dengan luka, hingga kata-kata tak sanggup keluar. Hanya isakan tertahan, napas terputus-putus, dan air mata yang mengalir deras di pipinya. Itu sudah cukup menggambarkan betapa hancur dirinya saat ini.
Maria dan Rianti tak bisa menahan air mata mereka sendiri. Mereka bertiga menangis bersama, saling berpelukan erat. Mereka tahu betul rasa ini, karena mereka juga pernah dikhianati. Luka itu serupa, hanya wajah pelaku yang berbeda.
"Ayo, luapkan semua tangisanmu hari ini," ucap Rianti, yang usianya paling tua, sehingga sering dianggap kakak di antara mereka. "Tapi besok, jangan pernah lagi menangisi pria brengsek itu."
"Teriak yang kencang!" titah Maria, menggenggam tangan Alya erat.
Alya pun menuruti. Ia membuka mulutnya teriak sekencang mungkin melepaskan semua luka yang tertahan.
"Aaaaaa! Sakit! Sakit sekali!" Suara Alya menggema memenuhi rumah. Mungkin saja tetangga mendengarnya, tetapi ia tidak peduli lagi.
Tubuh Alya terguncang hebat. Ia memukul-mukul dadanya yang sesak. Air mata tak berhenti mengalir. Luka batin bertumpuk dengan trauma pasca melahirkan, kelelahan mengurus bayi sendirian karena Vandra jarang membantu, hilang nafsu makan karena pikiran yang kacau, dan di atas semua itu adalah pengkhianatan lelaki yang selama ini ia hormati dan cintai.
Hati Alya hancur berkeping-keping. Untuk pertama kalinya, Alya benar-benar merasa sendirian di dunia ini.
pasti tau kalo Erika mantan simpanan...
😀😀😀❤❤❤
seiman..
baik..
sabar..
setia.
❤❤❤😍😙
seperti nya itu tak mungkin 😏 apa lagi melihat sikap Erika yg masih sook jadi korban padahal tersangka bikin gedek ni orang satu 😠👊
Dan kamu Vendra pakai otakmu sudah di wanti" sama keluarga mu jgn berhubungan lagi dgn Erika maseh juga kamu langgar lihat aja akan jadi apa rumah tangga mu nanti...