Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Kenapa Kau Menginginkannya?
Aaron mengambil laptopnya di atas meja. Raut wajahnya yang datar, namun dengan mata yang memancarkan kemarahan terpendam, jelas menunjukkan bahwa dia tidak akan memperpanjang perdebatan yang sia-sia ini. "Aku ada pekerjaan," ucapnya singkat, beranjak dari sofa. Tanpa melihat ke arah siapa pun, ia bergegas pergi meninggalkan ruang keluarga.
Claire mengikuti punggung Aaron yang semakin menjauh dengan pandangan matanya. Langkah pria itu cepat dan mantap menuju lantai dua. Wajah Claire lesu, bahunya melorot. Dia marah lagi.
Di momen dia seharusnya bisa merasa puas karena berhasil bertahan di tengah kemarahan orang tua Aaron dan memandang wajah dingin tapi tampan suaminya itu, kini semuanya terasa kacau karena perdebatan yang dipicu oleh orang tua Aaron sendiri.
Kenapa tidak membiarkannya duduk diam saja? pikir Claire frustrasi, menatap orang tua Aaron yang juga terdiam tegang setelah kepergian Aaron. Kenapa harus memaksanya berbicara?
“Anak itu, semakin tidak sopan saja!” celetuk Charles, suaranya masih mengandung sisa amarah.
Eva kembali memegang tangan Claire yang duduk di sebelahnya, menggenggamnya erat. Melihat sikap kasar Aaron tadi, Eva semakin khawatir pada menantunya ini. "Claire sayang... Aaron benar-benar merawatmu dengan baik, kan?" tanyanya lagi, nadanya penuh keraguan dan permohonan.
Claire tersenyum, senyum yang meyakinkan namun menyimpan kebohongan besar. "Iya, Bu. Dia begitu perhatian padaku." Ia menatap Eva dan Charles bergantian, meyakinkan. "Dia begitu khawatir saat aku jatuh sakit belum lama ini."
Eva dan Charles terkejut mendengarnya. Mereka tidak tahu Claire sempat sakit. "Kau jatuh sakit? Bagaimana bisa?!" tanya Eva panik.
"Bagaimana perasaanmu sekarang? Bayinya baik-baik saja, kan?" tambah Charles, wajahnya menunjukkan kekhawatiran nyata.
Claire tersenyum lagi, mencoba terlihat setegar mungkin. "Semua sudah terkendali, Yah, Bu. Bayinya juga baik-baik saja." Dia berusaha terdengar meyakinkan. "Aku hanya merasa pusing dan lemas. Dokter bilang itu hal wajar semasa kehamilan, terutama karena kesehatanku memang tidak baik sejak awal. Jadi mudah jatuh sakit."
Ia melanjutkan, menenangkan. "Aaron juga tidak menyuruhku melakukan pekerjaan apa pun," ini bagian dari kebohongannya, "dia selalu bersamaku, dia membantuku dari samping." Dia teringat bagaimana Aaron membantunya saat kolaps. Itu benar, tapi bukan karena perhatian, melainkan keadaan. "Ketika aku ingin makan sesuatu di tengah malam sekalipun, dia akan bangun dan memesankannya untukku!" Dia menambahkan detail yang dibuat-buat, mencampurkan kebenaran (Aaron memesan makanan) dengan bumbu (di tengah malam, dipaksa makan) untuk membuatnya terdengar seperti perhatian.
Eva mengerjapkan matanya, berusaha memproses informasi itu. Sulit dipercaya bahwa Aaron yang barusan bersikap dingin bisa begitu perhatian. Namun wajah menantunya yang tampak tulus seolah mengatakan bahwa apa yang keluar dari mulutnya barusan adalah kebenaran mutlak. "Begitukah?" Kepalanya sedikit dimiringkan, masih ragu tapi ada secercah harapan. "Aaron memang... perhatian tersembunyi ya," gumamnya.
Claire mengangguk antusias, merasa kebohongannya berhasil. Dia harus menambah satu detail lagi, detail yang sangat penting baginya, yang menunjukkan betapa Aaron benar-benar peduli dengan caranya sendiri.
"Aaron bahkan... " Wajahnya merona merah, seolah malu tapi juga bangga. "...meletakkan CCTV di kamarku." Sesuatu yang menurut Claire sangat membanggakan hatinya.
Namun hal itu malah membuat Eva dan Charles kembali terkejut, kali ini dengan cara yang sangat berbeda. Mata mereka melebar.
"Apa?!" Suara Charles kembali meninggi, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Bagaimana bisa dia meletakkan kamera pengawas di tempat pribadi seperti itu?! Itu melanggar privasi!" Amarahnya kembali naik. "Aku akan menyuruhnya melepaskan itu sekarang juga!" Charles beranjak berdiri, hendak naik ke lantai dua menemui Aaron.
Disaat Charles beranjak, Claire dengan cepat menahan tangannya, mencengkeram lengannya dengan kedua tangannya yang gemetar, wajahnya menunjukkan ekspresi cemas yang sangat nyata. "Ja-jangan lakukan itu!" Suaranya tercekat, panik.
Eva dan Charles bingung dengan reaksi itu. Mengapa Claire justru mencegah mereka melindungi privasinya?
Eva memegang bahu Claire dengan lembut, tatapannya penuh kebingungan dan kekhawatiran. "Kenapa, sayang? Tidak apa-apa, kami di sini. Kami akan pastikan kau tidak akan mendapat masalah dari ini."
Apakah Aaron mengancamnya agar tidak bicara tentang kamera ini? pikir Eva ngeri.
Tidak! Claire menjerit dalam hati.
Kamera pengawas itu, yang seolah menjadi mata Aaron yang selalu memperhatikannya hendak dilepas begitu saja?! Tidak, tidak boleh!
Kamera itu adalah satu-satunya bukti "perhatian" Aaron baginya, satu-satunya koneksi, satu-satunya cara Aaron 'bersama' dia saat dia sendirian.
Satu saja sudah sangat sedikit, pikirnya frustrasi. Sekarang mau disingkirkan???
"Maksudku..." Claire berusaha menjelaskan, cepat-cepat mencari alasan yang bisa diterima orang tuanya. "Kondisiku bisa saja tiba-tiba memburuk," ini sebagian kebenaran, "aku bahkan tidak tahu kapan hal itu akan terjadi, jadi bagus jika ada kamera pengawas di sana."
Dia menatap mereka memohon. "Tenang saja, Yah, Bu. Hanya Aaron yang dapat melihat rekamannya, bahkan Sekretaris Sam tidak diperbolehkan untuk melihatnya." Dia menambahkan detail yang sebenarnya dia yakini sendiri (dari reaksi Aaron saat dia berganti baju di depan kamera), meyakinkan orang tuanya dan dirinya sendiri bahwa rekaman itu 'aman' hanya untuk mata Aaron.
Ya, Aaron pasti tidak akan membiarkan orang lain mengawasi rekamanku setelah apa yang kulakukan di depan kamera sebelumnya.
Mendengar penjelasan itu, dan melihat betapa gigihnya Claire mempertahankannya, Eva dan Charles sedikit melunak.
"Jika memang seperti itu alasannya, dan hanya Aaron yang bisa melihatnya... maka bagus juga untuk keamananmu," ujar Eva, mengelus rambut Claire lembut, kini pandangannya beralih menjadi lega dan haru. "Sepertinya Aaron memang memperhatikanmu dengan baik. Anak itu, meskipun kadang bicaranya frontal dan dingin, tapi dia memiliki hati yang lembut. Dia adalah anak yang sangat pengertian sebelumnya."
Claire mengangguk, tersenyum lemah, tapi senyum itu tulus saat ia memikirkan Aaron dengan caranya sendiri. Iya, dia memang pria yang sangat pengertian... dengan caranya yang aneh. Dan aku... aku mencintai dia yang seperti itu.
Setelah kedua mertuanya pulang, meninggalkan suasana yang kembali sunyi, Claire melihat ke arah lantai dua. Aaron masih belum turun sejak perdebatan yang tidak mengenakkan tadi terhadap orang tuanya. Ia ingin membuatkan Aaron kopi. Ia ingin melihatnya.
Wajahnya menjadi sendu. Tapi dia akan marah lagi nanti. Rasa takut itu masih ada.
Claire dengan langkah lesu, naik ke lantai dua, menuju kamarnya. Namun melihat pintu kamarnya terbuka sedikit, Claire dengan cepat melangkah ke sana, rasa ingin tahu mengalahkan kehati-hatian.
Begitu dia sampai di depan pintu yang terbuka, manik matanya melebar, napasnya tertahan. Ia melihat Aaron di sana, berdiri di atas sebuah bangku kecil, sedang mencopot kamera pengawas di sudut atas kamarnya.
“Aaron—!” Ia melangkah cepat masuk ke dalam, rasa panik menguasainya. “Kenapa?!” Suaranya terdengar kaget dan menuntut.
Aaron yang baru saja selesai melepas kamera di sana, turun dari atas bangku. Ia berbalik, menghadap Claire, memegang kamera kecil itu di tangannya. Matanya begitu datar, tidak menunjukkan emosi.
“Tidak usah berpura-pura,” katanya, suaranya tenang, kontras dengan kepanikan Claire. “Kau tidak nyaman karena benda ini, bukan? Kau seharusnya mengatakannya sejak awal.” Aaron berasumsi bahwa Claire menyinggung kamera itu di depan orang tuanya sebagai cara 'aman' untuk meminta benda itu disingkirkan.
Aaron melangkah melewatinya, menuju pintu keluar kamar.
Claire dengan cepat mengikuti, memegang lengan Aaron dengan kedua tangan kecilnya yang gemetar, menahannya. “Tidak, aku tidak berpikir seperti itu!” sanggahnya putus asa. “Tidak sama sekali!” Dagunya sedikit bergetar, matanya penuh permohonan.
Aaron sedikit mengernyit, tidak mengerti. “Bukankah kau menyinggung hal ini di depan orang tuaku karena ini? Karena kau ingin ini dilepas?”
Claire menggeleng cepat, genggamannya semakin erat di lengan Aaron. “Tidak, bukan seperti itu! Bukan seperti itu, Aaron…!” Suaranya bergetar, berusaha menjelaskan misinya di depan orang tua.
“Kau belum mendengar semuanya, kan? Aku sudah menjelaskannya kepada Ayah dan Ibu dengan baik… bahwa kau melakukan ini karena sangat mengkhawatirkanku,” jelasnya panjang lebar, berusaha meyakinkan Aaron bahwa dia berhasil memutarbalikkan cerita menjadi sesuatu yang positif.
Ia melepas satu tangannya dari lengan Aaron, perlahan meraih kamera di genggaman Aaron. Matanya menatap kamera itu seolah itu adalah harta paling berharga di dunia. “Aaron… jangan dilepas, ya?” bujuknya memohon, suaranya begitu tulus dan putus asa, seperti seorang anak kecil yang mainannya hendak diambil orang tuanya.
Aaron menatap matanya, lalu ke arah kamera di tangannya, lalu kembali ke mata Claire. Dia merasa sangat aneh dengan situasi ini. Dengan sikap Claire yang sepenuhnya tidak wajar dan tidak masuk akal baginya. Dia tidak bisa memahami mengapa Claire, bukannya lega, justru memohon agar benda yang melanggar privasinya itu tetap di sana.
“Tidak,” tegas Aaron, suaranya rendah, keputusannya tampak sudah bulat, tak tergoyahkan.
Bahu Claire gemetar, ia menundukkan kepala, mulai terisak pelan. Tangannya yang lain masih berpegang erat pada lengan Aaron, sementara tangan yang lain menyeka air mata yang luruh di pipinya.
“Hentikan,” ucap Aaron, suaranya dingin, ia sangat terganggu dengan air mata itu.
Claire mendongak, memperlihatkan wajahnya yang penuh air mata dan permohonan. Tampak sangat berlebihan di mata Aaron. “Ta-tapi kameranya—”
“Kenapa benda ini malah menjadi keharusan di kamarmu?” Suara Aaron meninggi, nada suaranya menunjukkan frustrasi dan ketidakmengertian yang mendalam. Dia benar-benar tidak memahami apa yang dipikirkan wanita itu. “Ini hanya sepotong besi di sana, tidak mengajakmu bermain atau mengajakmu berbicara! Kenapa kau menginginkannya?!”
Claire menggeleng, air matanya tumpah semakin banyak, isakannya semakin kuat. Dia tidak bisa menjelaskan.
“Kubilang hentikan!” bentak Aaron kemudian, bentakannya membuat Claire tersentak.
Claire diam sejenak, terkejut, matanya melebar menatap Aaron, lalu detik berikutnya isakannya kembali pecah, semakin keras dari sebelumnya.