Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Ada Waktu
Jarum jam di dinding kafe perlahan menunjuk ke arah pukul satu siang. Waktu yang berjalan tanpa ampun akhirnya memisahkan pertemuan dua sahabat lama yang penuh kejutan dan kehangatan. Di meja sudut tempat mereka duduk, cangkir-cangkir kopi telah kosong, hanya menyisakan aroma samar yang bercampur dengan wangi roti manis yang belum sepenuhnya habis.
Baim melirik jam tangannya dan menarik napas pelan. “Anita… sepertinya aku harus pergi sekarang,” ujarnya dengan nada berat.
Anita mengangguk pelan, dia tau jika pekerjaan sudah menanti Baim. "Ada operasi, ya?”
“Iya,” jawab Baim sambil berdiri dan mengambil jasnya. “Pukul dua nanti aku dijadwalkan operasi. Tapi aku harus kembali ke rumah sakit lebih awal untuk persiapan.”
Anita ikut berdiri. “Terima kasih untuk hari ini, Baim. Aku sungguh tidak menyangka pertemuan kita akan seunik ini… setelah sekian lama tidak bertemu.”
Baim menatap mata sahabatnya itu dengan senyum tulus. “Aku juga, Nita. Rasanya seperti kembali ke masa lalu—hanya saja dengan cerita baru yang lebih dewasa.”
Mereka berjalan pelan menuju pintu keluar kafe. Di sepanjang jalan setapak kecil itu, keduanya hanya diam. Tidak ada yang berbicara, seolah tidak ingin mengganggu momen sunyi yang indah meski singkat.
Sesampainya di halaman depan kafe, Baim membuka pintu mobilnya, lalu menoleh ke arah Anita yang berdiri menatapnya.
“Semoga ini bukan pertemuan terakhir kita,” ucap Baim. Suaranya lembut namun mengandung harap yang dalam.
Anita tersenyum, kali ini lebih hangat. “Aku juga berharap demikian. Mungkin lain kali… kalau ada waktu, aku ingin mengenalkanmu pada suamiku.”
Baim menatapnya sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Itu akan menjadi suatu kehormatan bagiku.”
Namun, Anita buru-buru menambahkan, “Tapi aku tidak bisa berjanji… semua tergantung situasi. Suamiku jarang punya waktu untuk diajak jalan”
Baim tidak membalas dengan kata-kata. Ia hanya menepuk pelan bahu Anita, isyarat bahwa ia memahami semua tanpa perlu dijelaskan. “Aku akan tetap di kota ini untuk beberapa bulan ke depan. Kalau kau butuh sesuatu, bahkan hanya untuk bicara, kau bisa menghubungiku.”
Anita mengangguk. “Terima kasih, Baim. Kau selalu jadi orang yang baik. Sejak dulu.”
Baim tersenyum lebar. “Dan kau tetap keras kepala seperti biasa.”
Keduanya tertawa kecil. Dengan berat hati, Baim masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesin. Sementara Anita berdiri di pinggir trotoar, melambaikan tangan sambil menunggu mobil Baim perlahan menjauh, meninggalkan jejak sampai tak terlihat sama sekali.
Anita masih berdiri di sana beberapa menit setelah mobil Baim menghilang dari pandangannya. Angin siang berhembus pelan, memainkan ujung rambutnya yang tergerai. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap langit, seolah mencari kekuatan untuk kembali menjalani hari seperti biasa.
Pertemuan itu begitu berkesan. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menjalin kembali tali persahabatan yang pernah terlupakan oleh waktu. Sambil melangkah kembali menuju mobil, Anita menyentuh ponselnya, menatap nomor Baim yang baru saja tersimpan di daftar kontak.
"Hidup kadang memang tidak bisa ditebak" gumamnya mengingat kembali pertemuan mereka yang sangat amat kebetulan.
***
Waktu menunjukkan pukul empat sore ketika Anita akhirnya sampai di rumah. Setelah pertemuannya dengan Baim tadi Anita sengaja pergi ke rukonya sebentar untuk mengejek stok barang yang akan dikirim hari ini.
Udara senja yang mulai dingin tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap melaksanakan rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Begitu memarkirkan mobil di garasi, ia masuk ke rumah dengan langkah sigap. Tak banyak jeda, ia segera mengganti pakaian, mengikat rambutnya, lalu menuju dapur.
Sambil menyalakan kompor dan memanaskan air, Anita mulai menyiapkan bahan-bahan makanan yang ia beli kemarin di supermarket. Hari ini ia berniat membuat cumi saus kesukaan Arsen. Ia tahu betul menu itu salah satu favorit suaminya setelah hari-hari panjang yang melelahkan.
Anita membersihkan rumah sambil menunggu masakannya matang. Ruang tamu ia sapu bersih, lantai ia pel, dan debu-debu yang menempel di lemari serta bingkai foto ia bersihkan dengan lap basah. Ia ingin rumah tampak rapi dan nyaman saat Arsen pulang nanti.
Menjelang pukul tujuh malam, semua pekerjaan rumah selesai. Makanan sudah ia tata rapi di atas meja makan. Dapur kembali bersih, aroma masakan masih menggantung samar di udara. Anita pun membersihkan dirinya, berganti baju santai, lalu duduk menunggu di ruang makan.
Namun hingga pukul tujuh lewat lima belas menit, tak ada tanda-tanda Arsen akan pulang. Ponsel Anita yang tergeletak di meja ia ambil. Tak ada pesan, tak ada panggilan masuk. Ia mulai gelisah.
Ia membuka layar pesan dan mulai mengetik:
"Pih, kamu pulang jam berapa? Aku sudah siapkan makan malam."
Beberapa menit berlalu, tak ada balasan.
Anita mencoba menelepon. Suara dering terdengar lama, tapi tak juga diangkat. Ia mencoba sekali lagi, kali ini hanya masuk ke kotak suara.
Detik berganti menit, menit merangkak menjadi jam. Pukul delapan lewat tiga puluh, Anita mencoba lagi mengirim pesan:
"Pih, kamu tidak jawab. Aku khawatir. Kamu di mana? Sudah makan belum?"
Tak ada jawaban.
Perasaan resah semakin menyesakkan dadanya. Ia mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk. Tapi ia tahu, Arsen bukan tipe pria yang suka bermain di luar rumah hingga larut. Sejak awal menikah, suaminya itu selalu pulang tepat waktu. Kalaupun terlambat, paling lambat hanya sekitar jam delapan.
Pukul sembilan lewat lima puluh, suara mesin mobil terdengar dari halaman. Anita yang sedari tadi duduk di sofa ruang tengah langsung bangkit berdiri. Ia membuka pintu dengan cepat, melangkah keluar dan melihat mobil Arsen akhirnya masuk ke garasi.
Begitu mobil berhenti, Anita segera mendekat. Ia ingin membantu membuka pintu, menyambut suaminya seperti biasa.
"Papih..." sapanya dengan suara lembut.
Arsen keluar dari mobil dengan wajah lesu. Jas kerjanya masih rapi meski kusut sedikit di bagian bahu. Namun yang paling mencolok adalah ekspresinya yang dingin dan tak bersahabat.
"Kenapa baru pulang, Pih? Aku khawatir sekali. Tadi aku hubungi berkali-kali tapi tidak ada jawaban," Anita mulai bertanya.
Arsen hanya menoleh sekilas tanpa ekspresi. "Aku sibuk," jawabnya pendek, lalu berjalan mendahului masuk ke dalam rumah.
Anita mengejar langkah suaminya ke dalam. "Aku sudah siapkan makan malam dari tadi. Masih hangat, kalau mau aku panaskan lagi."
"Sudah makan di luar. Tidak lapar," balas Arsen singkat, sembari membuka kancing baju kerjanya.
Anita mengikuti dari belakang. "Aku tadi ke rumah Eyang Soraya... Menemui Ananda dan juga melihat bayi mereka. Aku juga sudah jelaskan soal ketidakhadiran kita kemarin," ucapnya, berusaha membuka pembicaraan lebih dalam.
Arsen tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, seakan mendengarkan tapi tanpa niat untuk menanggapi lebih lanjut.
"Bayinya cantik, Pih... Namanya Nindi. Aku tadi sempat ingin menggendong tapi Ananda tidak mengizinkan," lanjut Anita pelan.
"Hmm," gumam Arsen sambil melangkah naik ke lantai dua menuju kamar mereka.
Anita menahan napas. Ia sedikit kecewa, tapi tetap mencoba bersabar. Ia tahu suaminya mungkin sedang lelah.
Di kamar, Arsen langsung merebahkan diri di atas tempat tidur tanpa mengganti pakaian apapun. Ia menutup matanya, menarik selimut hingga ke dada, seolah mengabaikan kehadiran istrinya yang masih berdiri di sisi ranjang.
"Papih, kamu tidak mau ganti baju dulu? Tidak nyaman tidur pakai kemeja, lebih baik ganti dulu, cuma satu menit kok"
"Aku capek, Anita. Besok saja. Aku ingin tidur," jawab Arsen tanpa membuka matanya.
"Baik..." ucap Anita lirih, lalu melangkah pelan keluar dari kamar.
Ia kembali ke lantai bawah dan memandangi meja makan yang masih tertata rapi. Nasi sudah dingin, cumi saus yang dia buat spesial kini terlihat biasa saja. Ia menarik kursi dan duduk kembali, memandangi makanan yang sudah ia siapkan dengan penuh harapan.
Air mata Anita mulai menggenang, namun ia menahan agar tak jatuh. Ia tidak ingin menangis untuk kesekian kali malam ini. Tapi dada ini rasanya berat. Sunyi, dan tak ada tempat bersandar.
Sudah berkali-kali ia mencoba menjadi istri yang baik. Ia tak pernah menuntut hal besar, hanya ingin didengarkan dan dihargai. Tapi sepertinya usaha itu seperti berbicara pada dinding, tak pernah mendapat balasan.
Akhirnya, Anita membereskan makanan itu sendirian. Ia menyimpan sisa makan malam ke dalam kotak makan, memasukkannya ke kulkas. Piring dan sendok ia cuci bersih, air sabun mengalir menemani kesepiannya.
Ketika semua selesai, ia naik ke kamar dalam diam. Arsen sudah tertidur, membelakangi sisi tempat tidur yang biasa ia tempati. Anita berbaring dengan pelan, memandangi langit-langit kamar.
Hening.
Di tengah kegelapan dan keheningan malam itu, hanya satu kalimat yang terus berputar dalam benaknya:
“Aku merasa sendirian, bahkan ketika aku sedang tidak sendiri.”
tinggal Takdir yg menentukan..
dan bagaimana respon dr yg menjalani setiap takdir nya tsb 👍
jagain dari jauh, doain yang terbaik buat Anita...
maaf y thor gak salah judul y
🤭