NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat satu hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 9 - Terikat

Aku tidak mengerti, bagaimana caranya dia bisa tahu? Dan ... kapan dia memeriksa ponselku—sampai bisa menemukan kolom chatku dengan Arjuna?

“Dia,” ucapnya datar, “Laki-laki itu ... kekasihmu, kan? Lelaki yang sudah menghamilimu?”

Dunia terasa berhenti berputar sejenak.

Tubuhku kaku.

Apa maksudnya ini? Dia beranggapan bahwa Arjuna kekasih dari mendiang Soraya. Meski situasinya semakin larut dalam kesulitan, tapi setidaknya ini membawaku pada kepingan puzzle selanjutnya.

Sebuah fakta baru. Soraya hamil oleh pria lain—kekasihnya, jelas bukan Darius. Pantas dia tidak merasa bersalah ketika tahu bayi itu telah tiada.

Tapi mirisnya, aku masih belum tahu siapa lelaki atau kekasih dari Soraya yang dimaksud.

Dan sekarang, ketika terjebak dalam situasi ini, aku bahkan tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Aku tidak tahu harus berkata apa.

“Apa ini terlalu berat untukmu, Soraya?” tanyanya kemudian.

Aku menunduk. “Jawabannya jelas, bukan?”

Darius melenguh frustasi. “Terkadang aku merasa kamu bukan Soraya.”

Tubuhku menegang. Perkataannya tadi sukses membuat pandanganku naik kembali—menatapnya dengan kening mengerut. Merasa mungkin ingatannya itu mulai kembali, sedikit senang muncul dalam dada. Tetapi aku tak tahu, apakah itu akan membawa pada alur yang baik atau sebaliknya.

Dia menyeret pandangannya padaku. Kami bertatapan.

“Entah, kamu sedikit lebih tenang sekarang. Tidak begitu arogan, tetapi masih keras kepala. Dan yang paling menguras tenaga adalah ketika harus menjelaskan berulang kali tentang kesepakatan yang sejak awal kamu tak pernah mempermasalahkannya.”

Aku membasahi bibirku yang kering. Siap bicara, tetapi dia kembali menyambar ucapannya.

“Aku tahu kamu begitu mencintainya, aku tidak peduli. Sungguh. Aku hanya ingin melakukan pernikahan ini sesuai kontrak yang tertulis dan kamu—kita masih bisa bebas untuk berkencan dengan siapa saja. Tapi satu hal yang selalu kuingatkan agar kamu tak melanggarnya...”

Kedua tangan Darius kembali menyentuh tembok—mengungkung tubuhku kembali, sehingga punggung dengan jarak yang longgar itu sudah berhimpit kembali dengan dinding dingin.

“Jangan hamil, Soraya. Jangan pernah. Di awal kamu menyetujuinya, tapi tahu-tahu kamu hamil. Apa maksudnya itu?”

Lututku nyaris goyah.

Bibirku gemetar ketika diberi tatapan dingin—lebih dari dinding di belakangku. “Aku tidak ... aku tidak pernah berniat menyakitimu.”

“Kamu berpikir aku merasa tersakiti?” tanyanya dengan senyum kecil yang entah kenapa terasa begitu sinis. “Aku tidak sakit hati. Aku hanya ... memastikan, bahwa anak yang kamu kandung itu tak menyeret namaku. Entah di publik atau di media manapun.”

Perkataannya seperti paku yang menancapkan seluruh jemari kakiku ke tanah, mengutuknya agar aku tak bisa bergerak bebas. Pikiranku menghitam, tak mampu berkata banyak atau sekadar memberi komentar ringan.

“Apa itu memberatkanmu?”

Aku menggeleng. Reflek, toh aku pun memang tidak akan hamil oleh siapapun. Setidaknya untuk memenuhi permintaannya itu tak sesulit ketika aku dipaksa untuk menjalani peran ini.

“Bagus. Tarik senyummu. Kamu dulu lihai memainkan peran, kenapa sekarang terlihat kaku? Bahkan kamu selalu berlagak seolah-olah aku pria yang paling kamu cintai. Sekalipun jika hanya sedang berduaan.”

Dia mengusap wajah—terlihat sedang menahan kesal. “Tapi sekarang ... aku bingung melihat kamu yang seperti ini. Aku jadi kesulitan untuk menyesuaikan, Soraya. Emosiku jadi mudah naik turun. Aku berharap bahwa kita masih bisa seperti dulu, setidaknya untuk melancarkan apa yang telah kita sepakati.”

Senyum kikuk aku tunjukan. “Mungkin masih syok karena kecelakaan tempo hari? ” Keringat dingin terasa menetes melintasi dahi, aku menggaruk tengkuk. “Aku juga bingung mengapa aku jadi begini.”

Mendengarnya Darius justru menyeringai. “Syok? Aku korban paling parah di sini. Lihat, kamu bahkan tak meninggalkan bekas luka apapun. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya...”

Persis sebelum pintu diketuk beberapa kali, Darius membalikkan badan. Membenahi jasnya sekilas. “Kecelakaan itu mungkin bukan kebetulan, ada yang tak ingin aku hidup.”

Dia berkata nyaris berbisik, “Sekali lagi, kamu mungkin tahu orangnya. Mungkin saja kekasihmu itu?”

Aku mengerjap-ngerjap. Satu dua langkah ikut maju, aku memainkan nada bicara—khawatir seseorang di luar sana menguping. “Kenapa kamu bisa berkata begitu?”

Darius menoleh sekilas padaku, tatapannya penuh maksud akan sesuatu. “Lalu siapa lagi? Pertengkaran kita terakhir kali menjadi saksi, apa perlu aku ungkap dan buka lagi semuanya? Agar kamu ingat ... betapa bejat kelakuanmu selama ini?”

Kerongkonganku tercekat. Tatapan dan perkataannya berhasil menembus ulu hati—bahkan ketika dia sudah beranjak menjauh, membuka pintu dan melengos dari pandangan.

Detik itu juga, seorang perempuan mengetuk pintu lagi. Memberi aba-aba bahwa waktunya sudah tiba. Saat melangkah masuk untuk memastikan keberadaanku, wajahnya terlihat kaget.

“Astaga, riasanmu, Nona.” Perias itu segera mengeluarkan beberapa peralatan make up dari dalam kotak miliknya—beberapa bedak dan gincu.

Sementara aku tetap berdiri di tempat, tubuhku dingin. Jantungku terasa seperti digenggam paksa.

“Keringatmu banyak sekali. Nona baik-baik saja?” tanyanya khawatir.

Aku mengangguk, mengembangkan senyum setipis mungkin. Setidaknya untuk menunjukkan bahwa tak ada yang perlu dicemaskan.

Pernikahan ini tinggal selangkah lagi … tapi aku tak tahu, langkahku mengarah ke pelaminan, atau ke jurang. Rasanya aku ingin sekali mengakhiri hidup—ketimbang harus bergelut dengan teka-teki ini.

Dan beberapa menit setelahnya berlalu begitu cepat. Entah, mungkin karena pikiranku tak benar-benar ada di sini. Acara pernikahan yang sederhana ini usai, kami resmi menjadi pengantin baru.

Aku melirik sekilas ke arah orangtuaku yang duduk di barisan terdepan. Mereka tersenyum, seolah ini adalah momen yang membahagiakan. Aku ingin percaya bahwa mereka benar-benar menganggap ini sebagai keputusan terbaik, tapi jauh di lubuk hatiku, aku tahu mereka hanya berusaha menyenangkan hati mereka sendiri.

Lalu, aku menoleh ke samping.

Ke arah laki-laki yang duduk sebagai suamiku.

Sedang aku pun duduk—giliran untuk menandatangani dokumen pernikahan, jemariku terasa kaku. Aku bisa merasakan tatapan laki-laki itu masih mengawasiku, seolah memastikan aku tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh.

Jadi, aku mengangkat pena dan menuliskan namaku di atas kertas dengan tangan gemetar.

Seketika, udara di sekitarku terasa lebih dingin.

Aku sudah terikat.

Ketika acara pernikahan selesai—para tamu bubar, beberapa orang mulai membongkar dekorasi pesta, dan kami semua berpindah ke hotel lain—mengasingkan diri dari ingar-bingar pesta, untuk mengisi perut yang sudah keroncongan.

Dan setelah ini, mungkin aku akan memiliki sedikit ruang untuk bernapas?

“Sepulang dari sini, kalian akan ke mana?” tanya Bu Mariana sambil memandangi kami berdua secara bergiliran.

Aku yang sedang menyendok makanan tak menjawab, melemparkan pertanyaan itu pada Darius. Kutatap ia, tapi Darius tampak santai-santai saja.

“Ke mana lagi?” Darius sibuk melahap—pandangannya tertuju pada semangkuk sup yang tersisa setengah. “Sementara ini mungkin aku dan Soraya akan tinggal bersama kalian.”

Semua orang yang ikut perjamuan di meja ini—termasuk ibu dan ayahku langsung menoleh pada Darius dengan kompak. Aku tidak tahu mengapa, tapi mungkin jawaban itu bukanlah yang mereka inginkan.

“Ada apa?” Darius tampak bingung, dia sama tidak tahunya denganku.

“Kalian tidak berencana untuk bulan madu?” tanya Bu Mariana kembali.

Pak Pram di sebelahnya angguk-angguk. “Setidaknya berikan kami satu cucu. Cukup untuk menjadi calon pewaris. Usahakan laki-laki.”

Permintaan penuh tuntutan itu ditanggapi dengan meriah oleh ibu dan ayahku. Mereka langsung menyambar dengan topik lain, para orang tua itu mulai heboh sendiri.

Sedang aku langsung menengok pada Darius. Dia tampak tak terganggu—tenang dan tak berniat untuk menanggapi.

Aku masih belum paham. Sebenarnya ke mana arah kesepakatan yang mereka maksud? Mengapa antara Darius dan para orang tua itu bertentangan?

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!