Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersiap Pulang
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela kamar VIP, menghangatkan ruangan dengan sinarnya yang lembut. Suara burung di luar jendela dan hiruk-pikuk pagi dari koridor rumah sakit mulai terdengar samar-samar.
Jelita mengerjapkan mata perlahan. Ia merasa sedikit segar dibanding malam sebelumnya, meskipun kepalanya masih terasa ringan. Saat itulah, pintu kamar diketuk pelan.
Tok tok tok.
Seorang pria paruh baya berpakaian jas putih masuk dengan clipboard di tangan. Senyumnya ramah, wajahnya sudah tak asing lagi bagi keluarga Jelita.
"Selamat pagi, Jelita. Bagaimana perasaannya hari ini?" sapa dokter itu sambil mendekat.
Jelita menarik selimut hingga pinggang, lalu tersenyum sopan. "Lumayan, Dok. Aku susah sehat dok dan segar tentunya."
Mama Acha yang sudah bangun lebih dulu, langsung berdiri di sisi ranjang. "Dok, kondisi Jelita gimana sekarang?"
Dokter itu mengangguk-angguk setelah memeriksa catatan medisnya dan memeriksa kondisi Jelita sebentar. “Dari hasil observasi semalam dan respons kesadaran yang baik, saya rasa Jelita sudah cukup stabil. Tidak ada gejala serius, dan amnesianya kemungkinan bersifat sementara akibat trauma.”
"Jadi, saya boleh pulang, Dok?" tanya Jelita cepat, matanya langsung berbinar.
Dokter itu tersenyum kecil. “Ya, kamu boleh pulang hari ini. Tapi tetap harus banyak istirahat, hindari aktivitas berat dulu. Dan yang paling penting, jangan terlalu dipaksa untuk mengingat sesuatu. Biarkan semua mengalir dengan sendirinya, oke?"
Jelita langsung menoleh ke Mama Acha dengan wajah penuh harap. "Mamaaaa, boleh ya?"
Mama Acha tertawa kecil, meski terlihat khawatir. "Iya iya, nanti mama urus kepulangannya."
"Terima kasih banyak, Dok!" seru Jelita semangat, seolah baru saja mendapat tiket liburan ke luar negeri.
Sang dokter hanya terkekeh kecil, lalu menepuk lembut lengan Jelita. "Sama-sama. Jangan lupa kontrol minggu depan ya."
Setelah sang dokter pamit dan meninggalkan ruangan, Jelita langsung melompat kecil di atas kasur.
"Akhirnya bebas!" gumamnya dengan lega, sementara Mama Acha menggeleng pelan melihat tingkah putrinya yang kembali ceria seperti dulu.
Setelah sang dokter pergi, Jelita mulai bersiap-siap dengan bantuan mama Acha. Ia menyisir rambutnya pelan sambil duduk di pinggir ranjang, lalu menoleh ke kanan dan kiri, menyadari sesuatu.
“Mama, Papa ke mana sih? Dari tadi enggak kelihatan. Masih pagi juga udah hilang aja,” tanya Jelita sambil merapikan ujung bantal yang tadi ditiduri.
Mama Acha yang sedang melipat selimut menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil.
“Tadi papa kamu keluar, sayang. Katanya mau angkat telepon.”
“Telepon? Emangnya nggak bisa angkat di sini aja?”
Mama Acha mendekat, membelai pelan rambut Jelita yang kini sudah mulai rapi. “Papa takut ganggu kamu. Kamu kan masih tidur tadi. Suaranya lumayan keras, jadi dia keluar aja biar kamu enggak terbangun.”
Jelita mengangguk pelan, meski bibirnya mengerucut sedikit.
“Hmm, baik banget sih papa.” gumamnya, lalu tersenyum kecil. “Tapi aku enggak segitu ringkihnya juga, ma.”
Mama Acha tertawa kecil. “Iya, tapi kamu tuh baru aja sadar dari pingsan. Kami semua masih parno, tahu nggak?”
“Duh, Ma. Aku tuh cuma jatuh, bukan abis perang,” canda Jelita sambil menjulurkan lidah.
“Jatuh yang bikin amnesia. Jangan remehkan musuh bernama lantai, Lita.”
Jelita tertawa renyah, dan dalam hati, ia merasakan kehangatan itu lagi. Hubungan yang anehnya begitu dekat, meski ia tahu, ini bukan dunianya dan bukan pemilik tubuh.
Tak berselang lama, pintu kamar terbuka pelan. Aroma parfum khas lelaki dewasa langsung menyebar, menandai kedatangan Papa Rendy yang baru saja kembali.
“Pa!” seru Jelita sambil menoleh. “Kok kayak orang abis kabur?”
Papa Rendy terkekeh, menghampiri dan mengecup pucuk kepala putrinya dengan lembut.
“Bukan kabur, sayang. Papa tadi keluar angkat telepon. Klien penting dari luar kota,” ujarnya sambil menatap Mama Acha, lalu menghela napas.
Mama Acha mengangkat alis. “Jangan bilang harus pergi lagi?”
Papa Rendy mengangguk pelan. “Iya, Ma. Mereka minta ketemu langsung. Gak bisa di-handle via zoom. Katanya urgent banget, ada proyek besar yang harus dinegosiasikan tatap muka.”
“Berapa lama, Pa?” tanya Mama Acha, setengah mengeluh tapi tetap memahami.
“Paling cepat tiga hari, paling lama seminggu. Tapi aku usahain tiga hari kelar, ya. Biar cepet balik,” ujar Papa Rendy, lalu mengalihkan pandangan pada Jelita. “Maaf ya, sayang. Kamu baru aja keluar rumah sakit, Papa malah harus tinggalin.”
Jelita menggeleng cepat. “It’s okay, Pa. Aku nggak papa kok. Kan ada Mama, ada kak Reza dan Raza serta teman Jelita.”
Mama Acha tertawa pelan, sedang Papa Rendy hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Papa tinggal bentar, tapi hatinya tetap di rumah, ya. Kamu istirahat yang banyak, jangan kecapean.”
Jelita mengacungkan jempol. “Siap, Jenderal!”
Papa Rendy tertawa kecil sambil menggenggam tangan istrinya. “Nanti sore aku langsung berangkat. Jadwal pesawat udah diatur sama tim. Kamu bantu pantau dari sini ya, Acha?”
Mama Acha mengangguk dengan wajah tenang, meski sorot matanya menunjukkan kerinduan yang belum sempat tiba tapi sudah dirasa lebih dulu.
Papa Rendy melirik jam tangannya lalu menoleh pada Mama Acha dan Jelita. “Kalau begitu, Papa urus dulu proses administrasi kepulangan kamu, ya, sayang. Biar nanti tinggal jalan.”
“Papa pergi lagi?” tanya Jelita, sedikit mengerucutkan bibir.
Papa Rendy terkekeh, menghampiri dan mencubit pelan ujung hidung putrinya. “Tenang aja, yang ini cuma sebentar. Setelah ini, kamu resmi bebas dari rumah sakit.”
Mama Acha mengangguk. “Nanti Mama hubungi Reza dan Raza ya, biar mereka ke sini jemput kamu juga.”
Tapi Jelita cepat-cepat mengangkat tangan, mencegah.
“Eh, jangan, Ma! Mereka pasti udah sekolah. Lagipula, biar aja mereka nunggu di rumah. Aku gak enak ganggu mereka lagi.”
Mama Acha menatap wajah putrinya, lalu tersenyum bangga. “Iya juga, ya. Sekarang kamu perhatian banget sama kakak-kakakmu.”
Sementara Papa Rendy sudah melangkah ke pintu, namun sempat menoleh kembali.
“Jangan kelamaan. Nanti Papa balik kamu belum siap-siap.” Lalu ia melambaikan tangan sebelum menghilang di balik pintu.
Jelita merebahkan diri pelan di ranjangnya, memandangi Mama Acha yang sedang merapikan tas kecil di meja. Ada kehangatan baru dalam hatinya. Meski tubuh ini bukan miliknya, tapi perhatian dan kasih sayang orang-orang di sekitarnya terasa nyata.
gak rela rasanya harus terpisah sama kak jordi nya 🥺