Viola yang punya sebuah butik baju cukup besar dan ternama, harus menikah dengan Arga Bagaskara. pemuda berusia 18 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas akhir itu.
Viola mengabaikan kehadiran sang suami, karena berpikir Arga masih bocah dah belum dewasa.
bagaimana kisah selanjutnya, ikuti terus ya kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chustnoel chofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21
Cahaya matahari pagi menelusup lembut melalui celah tirai, menyinari kamar dengan kehangatan yang menyilaukan. Viola mengerjap pelan, lalu menggeliat ringan, berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya yang menyapa. Namun tubuhnya mendadak kaku saat merasakan kepalanya bersandar di atas sesuatu yang hangat dan kokoh.
Ia menoleh perlahan... dan matanya membelalak.
“Ya Tuhan!” jeritnya seraya duduk dengan cepat, napasnya memburu. “Arga?!”
Di sampingnya, pemuda itu masih terlelap, napasnya teratur dan wajahnya tampak tenang—seolah tak ada yang aneh. Tapi jeritan Viola cukup keras untuk mengguncang ketenangannya.
Arga mengerang pelan dan mengangkat satu tangan untuk mengusap wajahnya. “Uh... kenapa ribut banget pagi-pagi gini…”
“Bangun! Arga! Kamu ngapain di sini?!” bentak Viola sambil menarik bantal dan memukul pelan bahu pemuda itu.
Arga membuka mata perlahan, menatap Viola yang sedang duduk di sisi ranjang dengan ekspresi panik dan marah sekaligus. Ia menyipitkan mata, mencoba mencerna situasi.
“Lho... ini kamarmu?” tanyanya linglung.
“Tentu saja ini kamarku! Ini juga ranjangku! Dan kamu...” Viola menunjuk dengan gemetar. “Kamu tidur di sini, di sampingku! Arga, apa yang terjadi semalam?!”
Arga bangkit duduk, masih memegangi kepalanya yang terasa berat. “Aku juga nggak tahu... terakhir aku ingat kita ngobrol di ruang tamu, terus... aku capek banget...”
Viola memelototinya. “Terus kamu mikir enak aja tidur di kamarku?!”
“Aku nggak tahu, Vi. Sumpah. Aku juga kaget. Mungkin aku nyasar? Atau kamu yang nyeret aku ke sini?” jawab Arga, mencoba bercanda, meski nadanya lelah.
Viola mendengus. “Lucu. Sangat lucu, Arga.”
Arga mengangkat tangan seolah menyerah. “Oke, oke. Aku salah. Tapi jujur, aku nggak ingat apa-apa. Beneran. Kalau aku bikin kamu nggak nyaman, aku minta maaf.”
Viola menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Pipinya masih merah karena malu dan marah campur aduk.
“Kita harus bicara... nanti. Sekarang keluar dari kamarku.”
Arga mengangguk cepat dan bangkit dari ranjang. “Siap, Bu Komandan.”
Saat ia melangkah keluar, Viola masih duduk membeku di atas ranjang, mencoba mengingat kembali bagaimana semua ini bisa terjadi. Dalam hatinya, ada rasa takut... dan entah kenapa, ada sedikit rasa penasaran juga.
**
**
Arga berdiri di depan cermin rias kamar Viola sambil bersiul pelan. Jemarinya menyisir rambutnya yang masih agak berantakan, sementara senyum puas terukir di wajahnya.
Bayangan semalam perlahan-lahan kembali mengisi pikirannya—saat di mana ia, dalam keadaan setengah sadar, mencuri pelukan dari Viola. Sang istri. Status yang masih terdengar asing namun manis di telinganya.
"Astaga," gumam Arga sambil terkekeh kecil. "Kenapa gue sebahagia ini, ya?"
Ia mengingat betapa Viola sempat meronta, lalu memarahinya pagi tadi. Tapi meski begitu, tak bisa ia lupakan kehangatan tubuh perempuan itu saat dalam dekapannya. Bahkan dalam amarahnya, Viola tetap terlihat memesona.
“Dia marah... ya jelas,” ucapnya pelan, mengangkat alis sambil memandangi pantulan wajahnya sendiri. “Tapi sebentar lagi… dia yang bakal jatuh ke pelukanku.”
“Ngomong sama kaca sekarang?” terdengar suara dingin dari belakang.
Arga menoleh cepat. Viola berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam, kedua tangannya bersedekap di dada. Rambutnya masih sedikit berantakan, dan piyama tidurnya membuat wajah Arga nyaris kehilangan fokus.
“Eh... pagi, sayang,” sapa Arga dengan senyum canggung." gimana semalam tidurm?"
Viola mendengus. “Gimana tidurku? Gimana rasanya bangun dan nyadar kamu tiba-tiba jadi bantal hidup?”
Arga terkekeh, lalu pura-pura serius. “Jujur? Aku sih nyaman-nyaman aja. Harusnya kita tidur bareng dari dulu.”
Viola mengerjap, pipinya merona seketika. “Arga!”
“Ya ampun, santai… aku cuma bercanda,” katanya sambil mengangkat tangan, menyerah. “Tapi serius, Vi. Semalam itu... entah gimana, aku ngerasa tenang banget. Damai. Mungkin karena kamu.”
Viola terdiam. Untuk sesaat, matanya menatap Arga, seolah mencoba mencari kesungguhan dari ucapannya. Dan ia menemukannya.
Dengan langkah cepat, ia masuk ke kamar dan mengambil sisir dari meja rias, pura-pura tak peduli.
“Aku belum selesai marah, tahu,” ucapnya, suaranya pelan.
Arga mendekat perlahan. “Kalau begitu... kasih aku kesempatan buat minta maaf yang pantas.”
Viola menoleh, menatapnya waspada. “Maksud kamu?”
Arga menyeringai, lalu berbisik, “Sarapan bareng. Aku yang masak.”
Viola mengangkat alis. “Kamu bisa masak?”
“Enggak. Tapi aku bisa googling,” jawabnya dengan percaya diri.
Viola akhirnya tersenyum kecil, meski dengan cepat disembunyikan. Arga melihatnya—dan itu cukup untuk membuat dadanya hangat.
Dan dalam hati, Arga yakin: sebentar lagi, Viola benar-benar akan jatuh ke pelukannya. Kali ini bukan karena kebetulan... tapi karena keinginan.
**
**
Dengan kesadaran penuh dan ekspresi penuh percaya diri, Arga berdiri di depan kompor, tangan kanannya cekatan mengaduk nasi goreng di atas teflon. Seolah-olah ia adalah chef andalan di acara memasak ternama, ia bahkan sempat bersiul pelan mengikuti irama yang hanya dia dengar sendiri. Tak ada keraguan di matanya. Tak ada canggung sedikit pun. Hanya ketenangan, dan—entah kenapa—kebahagiaan kecil yang muncul dari dalam dirinya.
“Sedikit kecap lagi... dan tadaa!” bisiknya bangga sambil menuang bumbu rahasia terakhir—kecap manis yang hampir tumpah karena tangannya terlalu semangat.
Dari ambang pintu dapur, Viola berdiri membisu. Matanya tak lepas dari sosok Arga yang sibuk dengan spatula di tangan. Ia melihat tubuh pria itu dari belakang—pundak yang lebar, punggung yang kokoh, dan cara Arga berdiri dengan begitu santai di dapur mereka.
Ada sesuatu yang bergerak lembut dalam dadanya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, dan ia tak tahu kenapa.
Apakah... aku mulai membuka hati untuknya? batinnya lirih.
Viola menggigit bibir bawahnya pelan, menahan senyum yang nyaris muncul begitu saja. Ini aneh. Dulu ia begitu menjaga jarak. Tapi pagi ini, melihat suaminya—ya, suaminya—begitu santai memasak untuknya, terasa seperti potongan dari kehidupan yang... hangat.
Arga tiba-tiba menoleh ke belakang dan memergokinya.
“Oh! Kamu udah di situ dari tadi?” tanya Arga sambil menyeka keringat tipis di dahinya.
Viola tersentak sedikit, cepat-cepat memalingkan wajah. “Enggak... baru aja.”
Arga menyeringai, jelas tak percaya. "Apa kamu mulai jatuh cinta padaku?"
“Arga!” Viola memelototinya, tapi wajahnya memerah sempurna.
Arga tertawa ringan. “Tenang, aku juga jatuh cinta sama kamu. Jadi kamu jangan takut."
Viola mendengus, lalu mendekat dan duduk di meja makan. “Gimana rasa nasi goreng buatan chef hebat ini?”
Arga menyajikan sepiring penuh di hadapannya. “Coba dulu, baru nilai. Tapi awas ya... kalau enak, kamu harus nikah lagi sama aku.”
Viola memutar bola matanya. “Kita udah nikah, tahu!”
“Ya kan, nikah lagi. Biar sah dua kali,” katanya, mengedip nakal.
Viola tak bisa menahan senyum. Dan saat ia mencicipi sesendok nasi goreng itu, ia diam. Menatap piringnya.
“Gimana?” tanya Arga penasaran.
Viola mengangguk pelan. “Lumayan... untuk ukuran pemula.”
Arga mengangkat tangan ke atas, berpura-pura bersorak. “Yes! Aku berhasil menembus lidah istri sendiri!”
Viola tak menjawab. Tapi di balik senyum kecilnya, ia tahu satu hal pasti: ada sesuatu yang sedang tumbuh. Perlahan, hangat, dan diam-diam.
Bersambung
ga itu karena kamu masih sekolah sedangkan istri lo dah mempan jadi kaya ada jembatan
coba kamu biarpun dah sekolah ada bisnis sukses lulus sekolah ga ada tuh jembatan" ,
jadi dhani Thor yg bikin Vi trauma
aihhh cembukur ini mah tapi gengsi mengakui
tapi yg di bilang betul jg sama aja selingkuh kah dah nikah
adakah sesuatu
aihhh penasaran