NovelToon NovelToon
My Perfect AI

My Perfect AI

Status: tamat
Genre:Tamat / Time Travel
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Asteria_glory

Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak yang Menghilang

Hujan rintik-rintik menyapu pelataran rumah keluarga Hana. Ren berdiri di ambang pintu, memandangi pekarangan yang mulai ditumbuhi rumput liar. Aroma tanah basah menyeruak, bercampur samar dengan wangi lavender dari pot-pot bunga yang masih bertahan di bawah teras. Sudah beberapa minggu sejak kunjungannya terakhir, tapi ada yang belum tuntas. Sesuatu mengusik hatinya.

Ia melangkah masuk dengan pelan, menyapu debu yang menempel di kusen pintu. Rumah itu sepi, namun tak kehilangan hangatnya. Setiap sudut masih menyimpan jejak Hana—dari gantungan kunci berbentuk kelinci di meja, hingga buku harian mungil yang terselip di laci kecil ruang tamu.

Namun bukan itu yang Ren cari hari ini.

Ia membuka kembali ruang kerja lama milik ayah Hana, sebuah ruangan penuh rak buku, kertas bertulisan rumit, dan layar-layar komputer yang kini tak lagi menyala. Mata Ren menyusuri dinding-dinding rak, jemarinya berhenti di sebuah kotak kayu tua yang tersembunyi di balik tumpukan dokumen.

Kotak itu terkunci. Namun di bagian bawahnya, tertempel label bertuliskan inisial samar: R.H. — nama lengkap ibu Hana, mei Hayasaka.

Dengan hati-hati, Ren menggeser penutup kotak dan mendapati beberapa dokumen medis, sebuah USB, dan sepucuk surat lusuh.

Surat itu ditulis tangan, dengan goresan tinta yang nyaris pudar. Ren membacanya perlahan, dan alisnya terangkat saat membaca kalimat yang menyebut nama sebuah rumah sakit: Elvaria Institute of Medical & Research.

Ren mengerutkan dahi. Nama itu bukan asing baginya. Rumah sakit besar di luar kota yang terkenal karena gabungan pelayanan medis dan ruang penelitian teknologi mutakhir. Ayahnya pernah bekerja sama dengan institusi itu bertahun-tahun lalu, bahkan sesekali mengajak Ren saat masih remaja untuk melihat langsung proses penelitian.

"Kenapa nama ini muncul di sini...?" gumamnya, pelan.

Ren menyalakan ponselnya, mencari informasi terbaru tentang rumah sakit tersebut. Wajahnya menegang saat membaca bahwa gedung itu kini hanya dibuka untuk pasien-pasien dengan izin khusus, dan beberapa lantainya tidak tercantum dalam peta umum.

Matanya terarah pada USB di dalam kotak. Ia menyambungkannya ke laptop miliknya, dan mendapati beberapa file terenkripsi, namun satu folder terbuka: Last Hope.

Dalam folder itu ada salinan hasil observasi medis dengan dua nama yang membuat Ren tak bisa bergerak selama beberapa detik: mei Hayasaka dan Hanabi.

Tangannya gemetar. Napasnya tercekat. Ia menatap layar itu lama, sebelum akhirnya berdiri dan mengepak barang-barangnya. Tak ada waktu lagi.

Perjalanan ke luar kota ditempuh dengan kereta cepat. Langit senja tampak menggantung suram, seolah ikut menyimpan rahasia yang baru saja terbongkar.

Setibanya di kota tempat rumah sakit Elvaria berdiri, Ren langsung merasakan atmosfir yang berbeda. Bangunan megah itu berdiri anggun di atas bukit kecil, dikelilingi hutan pinus dan jalanan sepi. Tertutup, tapi elegan. Modern, tapi penuh rahasia.

Ia mendekati gerbang utama dan memperkenalkan diri. Tak disangka, setelah menyebutkan nama ayahnya, seorang staf medis senior membawanya masuk tanpa banyak tanya.

"Anda anak dari Profesor Yuzan, bukan?" tanya pria paruh baya itu, matanya tajam namun tak mengintimidasi.

Ren mengangguk. "Saya Ren. Saya... mencari seseorang. Dua orang, sebenarnya."

Pria itu berhenti sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ikuti saya. Tapi saya tak bisa menjanjikan banyak hal."

Lorong-lorong rumah sakit itu sunyi. Beberapa lantai tampak seperti gedung penelitian, dengan pintu-pintu otomatis dan kaca buram yang menghalangi pandangan ke dalam. Suasana steril dan asing, tak seperti rumah sakit biasa.

Mereka berhenti di sebuah ruangan khusus, di mana layar monitor besar menampilkan data tubuh pasien. Pria itu membuka laci dan menyerahkan sebuah catatan kepada Ren.

"Mereka ditemukan oleh nelayan 3 tahun lalu," ucapnya pelan. "Setelah kecelakaan di laut. Sang ibu masih bernafas saat tiba, tapi tak sadarkan diri. Anak perempuannya... koma."

"Lalu kenapa dibawa ke sini? Kenapa tak diberitakan atau dilaporkan...?"

"Karena kami tidak bisa. Karena keputusan itu diambil oleh direktur rumah sakit kami langsung—ayah dari Ny. Mei."

Ren terdiam. "Kakek Hana...?"

Pria itu mengangguk. "Beliau ingin menjaga kerahasiaan keberadaan cucunya, juga putrinya. Ia takut keluarga itu akan dimanfaatkan. Lagi pula, identitas mereka nyaris tak dikenali setelah kecelakaan. Mobil mereka tenggelam, dan proses penyelamatan terlambat. Saat petugas datang, mereka sudah tak ditemukan."

Ren mengepalkan tangannya.

"Tapi mereka... selamat," lanjut pria itu lirih. "Dan dipindahkan ke sini secara diam-diam. Tak banyak yang tahu, bahkan dalam internal kami. Hanya tim kecil khusus yang merawat mereka."

Ren menatap pria itu lama, seolah masih sulit percaya.

"Boleh saya... melihat mereka?"

Pria itu tersenyum tipis. "Ibu Hana telah sadar. Tapi... belum kuat bicara banyak. Sedangkan Hana... masih dalam kondisi koma. Namun... ada sesuatu yang mungkin ingin Anda dengar."

Dan Ren pun mengikuti pria itu menuruni lorong panjang lainnya, menuju ruang yang tampak lebih tenang, lebih pribadi, dan lebih... menyakitkan. Saat langkahnya semakin dekat dengan kebenaran yang tak pernah ia duga.

Langkah Ren terhenti begitu ia berdiri di depan gedung bercat putih dengan lambang bunga Elvaria yang terukir di bagian atas gerbang. Rumah sakit itu menjulang tinggi, elegan dan modern, seperti istana dari masa depan yang berdiri di tengah kota kecil nan tenang. Elvaria Medical Research & Hospital—sebuah nama yang sangat dikenal di dunia kedokteran dan penelitian medis.

“Jadi... ini tempatnya.” Suara Ren nyaris seperti bisikan yang tertelan angin.

Dulu, ayahnya sering menyebut-nyebut nama Elvaria saat berbicara dengan kolega dari luar kota. Terkadang Ren ikut dalam kunjungan kerja sama, mengamati dari jauh laboratorium yang dipenuhi alat canggih dan suasana sunyi penuh keseriusan. Tapi saat itu, ia tak pernah tahu kalau tempat ini menyimpan cerita yang jauh lebih personal—lebih menyakitkan.

Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum melangkah ke dalam gedung utama. Aroma khas antiseptik langsung menyambutnya, membawanya kembali pada kenangan samar saat ia terakhir kali berada di sini bersama ayahnya. Tapi kali ini, langkahnya berat—karena ia tahu, yang ingin ia temukan bukan lagi ilmu pengetahuan, melainkan dua sosok yang mengisi hidupnya yang sempat hilang.

Ren menuju bagian informasi. Seorang perawat wanita menyambutnya ramah, namun ketika Ren menyebut nama ibu Hana dan Hana, senyum itu perlahan memudar.

“Maaf, kami tidak memiliki pasien dengan nama itu di data umum,” jawab sang perawat sambil menunduk sopan. “Tapi jika Anda memiliki surat izin atau referensi dari pihak keluarga atau dokter pribadi, mungkin bisa kami bantu lebih jauh.”

Ren mengeluarkan salinan dokumen tua yang ia temukan di rumah ayah Hana. Perawat itu menatapnya dengan cermat, lalu matanya melebar sedikit.

“Tunggu sebentar ya, Pak Ren.”

Perawat itu segera berlalu, meninggalkan Ren yang kini duduk di ruang tunggu dengan jantung yang berdetak lebih kencang dari biasanya. Tak lama kemudian, seorang pria tua berjas putih keluar dari koridor belakang. Ia membawa tongkat dan langkahnya perlahan, tapi sorot matanya tajam dan penuh wibawa.

“Ren Alviano?”

Ren berdiri. “Iya, saya. Anda...?”

“Aku kakeknya Hana. Kepala rumah sakit ini.”

Ren tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Lelaki tua itu mengangguk pelan, lalu mengisyaratkan Ren untuk mengikutinya ke ruangannya. Di dalam, suasana ruangan itu jauh dari kesan dingin rumah sakit. Buku-buku tua berjajar rapi, lukisan keluarga tergantung di dinding, dan di meja kayu tua di dekat jendela, ada foto Hana kecil bersama ibunya.

“Kau sudah menemukan kami,” ucap sang kakek sambil duduk di kursinya.

Ren menelan ludah. “Kenapa... kenapa kalian menyembunyikannya?”

Pria tua itu menatap lurus ke mata Ren. “Karena saat itu, satu-satunya hal yang penting adalah keselamatan mereka. Dan menjaga mereka dari dunia luar adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan mereka.”

Ia kemudian mulai menceritakan peristiwa malam itu. Bagaimana saat petugas penyelamat kesulitan mengevakuasi karena badai laut yang datang tiba-tiba. Bagaimana dua nelayan dari desa di pesisir menemukan tubuh dua wanita terapung, satu dengan nafas lemah, dan satu lagi yang jantungnya nyaris berhenti.

“Kebetulan, dua nelayan itu adalah pasien lama saya. Mereka langsung membawanya ke rumah saya, bukan ke rumah sakit umum. Dan saya... saya tahu siapa mereka. Hana adalah cucuku, dan mei—ibu Hana—adalah putri saya. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi saat aku melihat tubuh mereka, aku tahu... ini bukan kecelakaan biasa.”

Ren menyandarkan punggungnya ke kursi. Nafasnya tercekat.

“Kami membawa mereka diam-diam ke Elvaria, lalu menempatkannya di ruang isolasi. Media dan pemerintah menyangka mereka hilang. Tapi aku tak peduli. Yang penting saat itu, mereka hidup.”

“Dan... bagaimana kondisi mereka sekarang?” suara Ren bergetar.

Kakek Hana berdiri, lalu mengisyaratkan Ren untuk ikut. Mereka berjalan menuju koridor paling belakang, lalu menaiki lift ke lantai delapan—lantai yang tak memiliki penanda apapun selain simbol bunga Elvaria di pintu masuk.

Begitu pintu terbuka, suasana berubah sunyi. Langkah Ren terasa berat. Di salah satu ruangan, ia melihat seseorang tengah duduk di dekat ranjang. Sosok wanita paruh baya dengan rambut panjang bergelombang, mengenakan gaun rumah sakit putih bersih. Saat ia menoleh, mata mereka bertemu.

“Ren...” ucap wanita itu pelan.

“bu mei?”

Wanita itu tersenyum tipis. Air mata mengalir di pipinya. “Akhirnya kau datang...”

Ren hampir tak percaya. Ibu Hana—mei—telah pulih. Ia berdiri, memeluk Ren erat.

“Kau sudah dewasa, ya...” bisiknya.

Ren menatap sekeliling. Hatinya terasa kosong sekaligus penuh harap. “Lalu... Hana?”

Livia perlahan menunjuk ke ruangan sebelah. Ren berjalan mendekat, dan saat membuka pintu kaca itu, dunianya seolah runtuh sekaligus bersinar.

Di sana, Hana terbaring lemah. Tubuhnya dipenuhi alat bantu medis, wajahnya tenang seakan sedang tidur panjang. Ren mendekat, menggenggam tangan Hana yang terasa dingin namun nyata.

“Aku di sini... Hana... akhirnya aku menemukanmu,” bisik Ren lirih, suaranya pecah oleh isak tangis.

Mei berdiri di ambang pintu. “Sejak dunia digital itu, tubuhnya makin melemah. Tapi dia masih berjuang. Ia masih ingin hidup, Ren. Dan mungkin... kau adalah alasan ia bisa bangun.”

Ren mencium tangan Hana. Ia tak peduli berapa lama ia harus menunggu. Yang penting, kini ia tahu—Hana belum benar-benar pergi.

1
Anonymous
Pembaca baru nihh tapi udah jatuh cinta sama ceritanya
Anonymous
Jangan sok kul kamu ren/Pooh-pooh/
anomali
Udah update aja thor? Notif nya gk masuk/Cry/
Asteria_glory: Masa sih? Kamu dah subscribe blm?/Cry/
total 1 replies
sky
Ska bangetttt sama ceritanya thor/Applaud/
Asteria_glory: Thnks kak sudah mampir.. semoga ga bosan yaw dengan ceritanya/Rose//Rose//Rose/
total 1 replies
Azthar_ noor
Bagus... semangat ya dek ya😍
Asteria_glory: ~Yummy~
Asteria_glory: Huhuhuuuu maaciw kak semangat nyaaaa😍
total 2 replies
IamEsthe
Aku suka kepenulisan kamu, rapi dan terstruktur sesuai dengan aturan kaidah kepenulisan.

cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/

semangat ya.
IamEsthe: saran apa ya? udah bagus banget, enggak ada saran apapun dariku malahan lho /Sweat//Sweat//Sweat/
Asteria_glory: Terimakasih untuk saran nya kak, senang bisa mendapatkan saran dari kakak🫰
total 2 replies
IamEsthe
alangkah baiknya narasi ini dan seterusnya kamu pisah ke bab berikutnya.
Asteria_glory: Baik kan saran di terima🫰
total 1 replies
liynne~
jujur aja sampe nangis baca nya/Cry/
IamEsthe
kata fair adalah bahasa asing/daerah, kamu ganti ke font italic sbg penanda ya
yuyu
Sukaaaaaa😍
anomali
Alur nya menarik 😍😍😍
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.
anomali
Lnjt thor!!! Crita ny sruuu bgttttttttttt😍
Ms S.
Satu kata buat cerita ini: keren abis!
Asteria_glory: Terima kasih sudah mampir ❤️
total 1 replies
Cerita nya menarik bangettt!!!! update tiap hari ya thor😍😍😍
Hoa thiên lý
Susah move on
Asteria_glory: Terima kasih sudah mampir ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!