NovelToon NovelToon
Kitab Dewa Naga

Kitab Dewa Naga

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Romansa Fantasi / Ruang Bawah Tanah dan Naga / Akademi Sihir / Ahli Bela Diri Kuno / Ilmu Kanuragan
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Mazhivers

Raka secara tak sengaja menemukan pecahan kitab dewa naga,menjadi bisikan yang hanya dipercaya oleh segelintir orang,konon kitab itu menyimpan kekuatan naga agung yang pernah menguasai langit dan bumi...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mazhivers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 23

Tanpa ragu, Raka mengangkat Kitab Dewa Naga yang lebih kecil di depannya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat gambar Garuda yang ia lihat semalam. Ia mengucapkan kata-kata "Perlindungan Langit" dengan keyakinan yang lebih besar dari sebelumnya.

Seketika, cahaya keemasan memancar dari kitab itu, membentuk perisai energi yang berkilauan di hadapan mereka. Cakar tajam burung gagak hitam itu menghantam perisai dengan keras, menimbulkan suara benturan yang memekakkan telinga. Burung itu mendesis marah dan mencoba menyerang dari sisi lain.

"Kita tidak bisa hanya bertahan!" seru Kakek Badra. "Sinta, Maya, bantu aku mengalihkan perhatiannya!"

Kakek Badra mengayunkan tongkatnya ke arah burung itu, sementara Maya dengan berani melemparkan batu-batu kecil yang ia kumpulkan. Sinta, dengan gesit, bergerak ke sisi lain gua, mencoba mencari kesempatan untuk menyerang dari belakang.

Burung gagak hitam itu terlalu besar dan cepat untuk mereka atasi dengan mudah. Ia terus menyerang dengan paruh dan cakarnya yang tajam, memaksa Raka untuk terus mempertahankan perisai energinya. Energi Raka terkuras dengan cepat, dan ia merasa perisai itu mulai melemah.

Tiba-tiba, Raka teringat pada gambar pedang yang menyala di peta benaknya. Ia membuka mata dan melihat Kitab Dewa Naga yang lebih besar tergeletak di dekatnya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih kitab itu dan membukanya secara acak. Matanya tertuju pada gambar pedang yang dikelilingi oleh nyala api berwarna biru. Di bawah gambar itu, terukir kata "Sinar Penghancur."

Dengan sekuat tenaga, Raka mengucapkan kata-kata itu. Seketika, dari Kitab Dewa Naga yang lebih kecil di tangannya, memancar seberkas cahaya biru yang sangat terang. Cahaya itu melesat cepat menuju burung gagak hitam itu.

Burung itu terkejut dan mencoba menghindar, tetapi cahaya biru itu terlalu cepat. Cahaya itu mengenai sayap burung itu, membuat bulu-bulunya terbakar menjadi abu dan burung itu menjerit kesakitan. Burung gagak hitam itu jatuh terhempas ke tanah, mengepak-ngepakkan sayapnya yang terluka.

Sebelum burung itu sempat bangkit kembali, Kakek Badra dengan cepat melompat maju dan memukulkan tongkatnya dengan keras ke kepala burung itu. Burung itu terdiam, tidak bergerak lagi.

Mereka bertiga menghela napas lega. Pertempuran itu berakhir dengan cepat namun menegangkan.

"Kita harus segera pergi dari sini," kata Kakek Badra dengan nada mendesak. "Kaldor pasti akan tahu tentang ini. Gua ini tidak aman lagi."

Raka mengangguk setuju. Mereka segera mengumpulkan bekal mereka dan bersiap untuk meninggalkan gua. Raka dengan hati-hati membawa kedua Kitab Dewa Naga bersamanya.

Saat mereka berjalan keluar dari gua, mereka melihat ke arah gunung yang menjulang di kejauhan. Puncak Gunung Agung tampak menantang di bawah langit pagi. Mereka tahu perjalanan mereka masih panjang dan berbahaya, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah. Mereka harus menemukan Pedang Sinar Naga dan mengumpulkan kekuatan yang mereka butuhkan untuk menghadapi Kaldor.

Matahari pagi mulai merayap naik di langit timur, mewarnai pepohonan dengan semburat jingga dan emas. Setelah memastikan burung gagak hitam itu tidak lagi menjadi ancaman, mereka meninggalkan gua persembunyian mereka. Kakek Badra kembali memimpin jalan, kali ini dengan langkah yang lebih mantap, seolah-olah kehadiran Kitab Dewa Naga dan tekad mereka untuk melawan Kaldor telah memberinya semangat baru.

Perjalanan menuju Gunung Agung memakan waktu beberapa hari. Mereka menyusuri hutan yang semakin lebat dan jalur-jalur setapak yang jarang dilalui. Kakek Badra bercerita tentang sejarah wilayah itu, tentang gunung-gunung yang dianggap suci dan legenda-legenda yang mengisahkan tentang para dewa dan makhluk-makhluk mitologis yang pernah mendiami tempat itu.

"Gunung Agung dulunya adalah tempat berkumpul para dewa," kata Kakek Badra suatu sore saat mereka beristirahat di tepi sungai yang airnya jernih dan dingin. "Konon, di puncaknya terdapat gerbang menuju alam para dewa. Pedang Sinar Naga diyakini tersembunyi di suatu tempat yang dijaga oleh ujian-ujian berat."

"Ujian seperti apa, Kakek?" tanya Maya, rasa ingin tahunya terpancar di wajahnya.

Kakek Badra menghela napas. "Setiap ujian berbeda, Nak. Terkadang berupa teka-teki kuno yang harus dipecahkan, terkadang berupa pertempuran melawan makhluk penjaga yang kuat, dan terkadang ujian terberat ada di dalam hati kita sendiri."

Raka mendengarkan dengan seksama, merenungkan kata-kata Kakek Badra. Ia merasa semakin gugup dan tidak yakin dengan kemampuannya. Apakah ia benar-benar pantas untuk memegang Kitab Dewa Naga dan mencari artefak suci seperti Pedang Sinar Naga?

Melihat keraguan di wajah Raka, Maya menggenggam tangannya. "Kau pasti bisa, Raka. Kita semua percaya padamu."

Raka menatap Maya dan tersenyum tipis. Dukungan dari teman-temannya memberikan kekuatan baru baginya. Ia tahu ia tidak bisa menyerah. Nasib dunia mungkin bergantung padanya.

Selama perjalanan, Raka terus berusaha mempelajari isi Kitab Dewa Naga. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan kitab emas yang lebih besar, mencoba memahami gambar-gambar dan simbol-simbol yang rumit. Kadang-kadang, ia merasakan kilasan-kilasan pemahaman yang samar-samar, seolah-olah kitab itu perlahan-lahan membuka dirinya padanya.

Suatu malam, saat mereka berkemah di bawah langit bertaburan bintang, Raka bertanya kepada Kakek Badra tentang Kaldor. "Kenapa Kaldor begitu jahat, Kakek? Apa yang membuatnya begitu haus akan kekuasaan?"

Kakek Badra menghela napas panjang. "Kaldor dulunya adalah naga yang mulia, Nak. Ia adalah salah satu murid terbaik dari Dewa Naga Agung Antaboga. Tapi keserakahan dan ambisi membutakannya. Ia menginginkan kekuatan yang lebih besar dari yang seharusnya ia miliki, dan ia rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya, bahkan mengkhianati para dewa dan menghancurkan keseimbangan dunia."

"Apakah ada cara untuk mengalahkannya, Kakek?" tanya Sinta dengan nada penuh harap.

"Ada, Nak," jawab Kakek Badra. "Tapi jalannya tidak mudah. Kita membutuhkan kekuatan Kitab Dewa Naga, Pedang Sinar Naga, dan mungkin artefak-artefak suci lainnya. Dan yang paling penting, kita membutuhkan hati yang berani dan tulus."

Saat mereka semakin dekat dengan Gunung Agung, suasana di sekitar mereka terasa semakin berbeda. Hutan tampak lebih tua dan lebih angker. Mereka sesekali melihat jejak kaki makhluk berkaki tiga yang sama dengan yang menyerang mereka di gua, membuat mereka semakin waspada.

Suatu sore, saat mereka sedang berjalan menyusuri jalan setapak yang sempit di tepi jurang yang dalam, tiba-tiba mereka dihadang oleh dua sosok berjubah hitam. Mereka membawa pedang terhunus dan tampak siap untuk bertarung.

"Kalian tidak akan bisa lolos lagi!" seru salah satu sosok berjubah itu dengan suara kasar. "Tuanku Kaldor sudah tahu kalian menuju ke gunung ini."

Pertempuran pun tak terhindarkan. Kakek Badra dengan sigap menghadapi satu sosok berjubah, sementara Raka, Maya, dan Sinta melawan yang lainnya. Raka mencoba menggunakan kekuatan dari Kitab Dewa Naga, tetapi ia masih belum sepenuhnya menguasainya. Ia hanya bisa menciptakan perisai energi yang lemah untuk melindungi mereka.

Maya dengan berani menyerang dengan potongan kayunya, sementara Sinta menggunakan ketangkasannya untuk menghindari serangan dan mencoba melumpuhkan musuh dengan lemparan batu yang tepat sasaran. Namun, para pengikut Kaldor tampak lebih terlatih dan lebih kuat dari yang mereka duga.

Raka merasa semakin terdesak. Ia menutup matanya sejenak dan memfokuskan pikirannya pada gambar Pedang Sinar Naga yang menyala. Ia mengucapkan kata-kata "Sinar Penghancur" dengan penuh keyakinan.

Seketika, Kitab Dewa Naga di tangannya memancarkan cahaya biru yang jauh lebih terang dari sebelumnya. Cahaya itu menyebar ke sekeliling mereka, membutakan para pengikut Kaldor. Raka mengambil kesempatan itu dan mendorong mereka menjauh dari tepi jurang. Kedua sosok berjubah itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke dalam jurang yang dalam.

Mereka bertiga terengah-engah, lega karena berhasil selamat dari bahaya. Kakek Badra menghampiri mereka dengan wajah khawatir. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya.

Raka mengangguk. "Ya, Kakek. Terima kasih." Ia menatap Kitab Dewa Naga di tangannya dengan rasa takjub. Kekuatan kitab itu semakin terasa nyata, dan ia merasa semakin bertanggung jawab untuk menggunakannya dengan benar.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju Gunung Agung dengan hati-hati, menyadari bahwa bahaya bisa datang kapan saja dan dari mana saja. Namun, tekad mereka untuk menemukan Pedang Sinar Naga dan mengalahkan Kaldor semakin membara. Perjalanan mereka telah membawa mereka jauh, dan mereka tahu bahwa ujian yang lebih berat mungkin menanti mereka di puncak gunung suci itu.

1
anggita
like👍iklan👆. terus berkarya tulis. moga novelnya lancar.
anggita
saran sja Thor🙏, kalau tulisan dalam satu paragraf/ alinea jangan terlalu banyak, nanti kesannya numpuk/penuh. sebaiknya jdikan dua saja.
إندر فرتما
moga bagus ini alur cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!