Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Dekat dan Suami
Pagi datang dengan perlahan, sinar matahari menyusup malu-malu di balik tirai jendela kamar tidur Arsen dan Anita. Udara pagi terasa segar, dan burung-burung terdengar berkicau ringan di kejauhan. Arsen membuka mata lebih dulu. Ia segera menoleh ke samping dan melihat Anita masih terlelap, meski wajahnya tampak pucat. Ia tidak ingin membangunkannya, tetapi tak lama kemudian, Anita membuka matanya pelan, seperti baru bangkit dari tidur yang tidak nyenyak.
“Selamat pagi,” ucap Arsen lembut, sambil menyentuh pipi istrinya.
Anita mengangguk pelan. “Pagi, Pih.”
“Kau tidur nyenyak?”
“Cukup... meskipun masih terasa sedikit lemas,” jawab Anita jujur.
Arsen mengamati wajah Anita yang masih tampak pucat dan tidak seceria biasanya. Ia menyentuh dahi wanita itu, memeriksa suhu tubuhnya. Tidak demam, tetapi tubuh Anita jelas belum pulih sepenuhnya.
“Bagaimana perutmu? Masih terasa melilit?” tanya Arsen cemas.
“Tidak. Sudah jauh lebih baik, Pih. Mualnya juga sudah hilang,” jawab Anita. Ia mencoba tersenyum, tetapi tubuhnya masih terasa berat.
Arsen menatapnya dengan tatapan tidak puas. “Tapi kau masih pucat, dan terlihat sangat lemas. Aku tetap ingin kita ke dokter hari ini.”
Anita menggeleng perlahan. “Tidak perlu, Pih. Aku tahu tubuhku sendiri. Ini hanya sisa kelelahan. Yang penting, rasa mual dan nyeri perutnya sudah tidak ada. Aku hanya butuh istirahat.”
Arsen mendesah pelan, duduk di tepi ranjang, dan menggenggam tangan Anita. “Kau yakin? Jangan abaikan gejala sekecil apa pun, apalagi sekarang kau sedang mengandung. Aku tidak ingin mengambil risiko.”
“Aku yakin,” ucap Anita lembut. “Dan aku janji, kalau nanti gejalanya muncul lagi atau aku merasa tidak enak badan, kita langsung pergi ke dokter. Tapi sekarang... izinkan aku beristirahat saja di rumah, ya?”
Arsen menatap mata istrinya yang memohon dengan tulus. Akhirnya ia mengangguk pelan. “Baik. Tapi jangan pergi ke mana-mana. Jangan ke ruko, jangan buka laptop, dan jangan angkat barang-barang. Aku tidak mau kau bekerja, walau hanya sedikit. Mengerti?”
Anita tersenyum tipis. “Mengerti, Tuan Arsen.”
Arsen ikut tersenyum dan mencium kening istrinya sebelum bangkit dari tempat tidur. “Aku harus berangkat. Hari ini di kantor ada agenda donor darah. Salah satu program CSR dari rumah sakit yang bekerja sama dengan perusahaanku”
“Donor darah?” tanya Anita, memiringkan kepala.
“Iya. Semua karyawan diwajibkan ikut, dan sebagai pimpinan aku harus turun tangan juga. Sekalian menyapa para dokter dan pihak rumah sakit.”
Anita mengangguk pelan. “Jaga kesehatan papih. Jangan sampai terlalu memaksa diri.”
“Aku akan hati-hati. Kau juga, jangan bandel.”
Setelah sarapan ringan bersama, Arsen berangkat ke kantornya. Sepanjang perjalanan, pikirannya masih melayang-layang pada kondisi Anita. Ia berusaha berpikir positif, tetapi kekhawatirannya tidak bisa sepenuhnya ia redam.
Sesampainya di kantor, suasana tampak lebih sibuk dari biasanya. Lobi utama telah diatur sedemikian rupa menjadi area khusus untuk pelaksanaan donor darah. Beberapa meja didirikan, lengkap dengan perlengkapan medis, kursi donor, serta antrian karyawan yang menunggu giliran.
Spanduk besar bertuliskan “Donor Darah Bersama Rumah Sakit Citra Karsa – Untuk Kemanusiaan” tergantung di dinding utama. Para dokter dan tenaga medis dari rumah sakit mitra tampak profesional dan cekatan dalam melayani para peserta. Arsen turun langsung ke lokasi, menyapa beberapa karyawan, dan memberi semangat.
“Bagus. Tetap jaga ketertiban. Pastikan yang donor telah diperiksa kesehatannya dengan benar,” ucap Arsen pada salah satu panitia internal.
Tak lama, datang seorang pria paruh baya berjas putih yang tersenyum hangat begitu melihat Arsen.
“Selamat pagi, Tuan Arsen. Saya dr. Sandi, koordinator dari RS Citra Karsa. Terima kasih atas kerja sama dan dukungan perusahaan Anda dalam kegiatan ini.”
Arsen menjabat tangan sang dokter. “Terima kasih kembali, Dokter. Kami senang bisa terlibat dalam kegiatan sosial seperti ini.”
Setelah berbincang sebentar, Arsen setuju untuk ikut mendonorkan darahnya. Ia tahu, sebagai pemimpin, ia harus memberi contoh. Ia pun menuju salah satu meja pemeriksaan awal, tempat ia harus dicek tekanan darah, denyut nadi, dan kadar hemoglobin sebelum bisa menyumbangkan darah.
Dokter muda yang memeriksa tampak profesional.
“Selamat pagi, Tuan. Saya akan memeriksa kondisi Anda terlebih dahulu sebelum melakukan pengambilan darah.”
“Silakan, Dokter.”
Pemeriksaan berlangsung cepat dan efisien. Setelah semuanya dinyatakan baik, Arsen duduk di kursi donor, dan sang dokter mulai menyuntikkan jarum ke lengan kirinya untuk mulai proses pengambilan darah.
“Sudah siap, Tuan? Tidak terlalu tegang, kan?” candanya sambil tersenyum ramah.
Arsen membalas senyum itu. “Tidak, Dok. Ini bukan pertama kalinya saya donor.”
Setelah proses pengambilan darah selesai, Arsen dipersilakan duduk di kursi istirahat sambil meminum minuman manis dan memakan biskuit yang disediakan.
Dokter tersebut mencatat hasil pemeriksaan dan jumlah darah yang diambil sembari mengamati Arsen dengan satu pertanyaan yang muncul di benaknya.
“Apakah Anda kenal seseorang bernama Anita?” serunya tiba-tiba.
Arsen terkejut. Matanya langsung menajam, memandang dokter muda itu dengan ekspresi heran. “Anita? Maksud Anda... Anita yang mana?”
Dokter itu tersenyum tipis, lalu berkata dengan tenang, “Anita, pemilik brand Anive Skincare.”
Sekelebat kekhawatiran muncul di wajah Arsen. Ia bangkit sedikit dari duduknya, meski tubuhnya masih sedikit lemas pasca donor.
“Itu istri saya,” jawab Arsen pelan namun tegas. “Bagaimana Anda mengenalnya?”
Pria berjas itu mengangguk begitu dugaannya ternyata tidak meleset, lalu tersenyum lebih lebar. “Saya Baim... sahabat lama Anita. Kami dulu sekolah di SMA yang sama.”
Arsen menatap pria itu lebih saksama. Wajahnya memang asing, tetapi terlihat tulus.
“Saya tidak ingat Anita pernah menyebut nama Anda sebelumnya,” ujar Arsen, masih penuh kehati-hatian.
“Wajar saja. Kami memang tidak terlalu sering berkomunikasi setelah lulus.” jelas Baim.
"Lantas bagaimana anda mengetahui jika Anita memiliki brand kecantikan?" tanya Arsen terheran.
"Oh... Itu karena kami tidak sengaja bertemu lagi. Anita berbicara banyak tentang usaha dan kehidupannya jika dia sudah menikah, dia juga menyebut nama suaminya dan begitu mendengar nama anda saya jadi mencocok-cocokan, tanpa disengaja ternyata memang benar, Arsen yang Anita ceritakan rupanya adalah anda"
Arsen mengangguk pelan. “Saya mengerti. Yah… dunia ini memang kecil.”
Baim tertawa kecil. “Benar sekali"
"Bagaimana kabarnya hari ini?"
"Dia sedang tidak sehat, malam tadi muntah-muntah karena mual dan mengeluh jika perutnya sakit, mungkin karena faktor kehamilan juga. Tapi pagi ini sudah lebih baik" jelas Arsen.
Baik menyimak kabar dari teman dekatnya itu, tentu dia juga merasa kasihan mendengar kondisi kesehatan ibu hamil tersebut.
"Kasihan sekali, semoga Anita lekas sembuh dan bisa beraktivitas dengan normal lagi, tolong sampaikan salam saya padanya”
Arsen tersenyum tipis. Namun dalam hatinya muncul secuil rasa penasaran dan curiga yang belum sepenuhnya lenyap.
“Saya akan sampaikan. Terima kasih atas bantuannya hari ini, Dokter Baim.”
“Senang bisa membantu. Semoga kita bisa bekerja sama lagi,” ucap Baim, sebelum berlalu untuk memeriksa peserta berikutnya.
apakah akan terus memaklumi sikap suaminya yg semau dia sendiri!! 🤨
dia hanya bisa sakitin Anita dan bakal respek ke Anita kalo bisa kasih keturunan.
padahal Anita wanita yang baik, meski berkarir pun ga pernah tuhhh lupa dengan kewajiban sebagai istri.
percayalah Arsen, belum tentu ada istri yang se Ter baik kayak Anita di luaran sana.
apalagi di bandingan Natasya dan adek loee, jauhhhh bangettt donk sen... tetep anitalah yg Ter Ter baik ...
kena mental gak yah sama ucapan baim "jangan tinggalkan anita lagi"...
biar terseret arus aja kau sekalian! 😤
biar Anita nanti dengan laki2 yg benar2 bisa mencintainya dan membahagiakan dia dengan sempurna dan tulus ikhlas...
gak Mudi an kaya kamu!! 🤨
Mudah tergoda juga!!
dan intinya kau Egois !!!!
Hanya memikirkan diri mu saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan pasangan mu!! 🤨😡
Biar Tau rasa kalau kau Jadi sama cewek manja macam itu!!! 😡🤨
atau.. skalian matre!!! biar habis harta mu yg kau kerja capek-capek!!!
dan yg paling penting, Cewek macam itu Gak akan bisa di andalkan!!! hanya bagus di Awal nya aja!!! karena itu cuma sekedar Pancingan aja bagi laki2 Plin plan kaya kamu 😝😏😏
dan di jebak pun pas banget lelaki pecundang. selamat kalian pasangan serasi, tapi ingatlah karma itu nyata.
Anita berhak bahagia tanpa di sisi Arsen.