Pendekar Sinting adalah seorang pemuda berwajah tampan, bertubuh tegap dan kekar. Sipat nya baik terhadap sesama dan suka menolong orang yang kesusahan. Tingkah nya yang konyol dan gemar bergaul dengan siapapun itulah yang membuat dia sering berteman dengan bekas musuh atau lawan nya. Perjalanan nya mencari pembunuh keluarga nya itulah yang membuat sang pendekar berpetualang di rimba persilatan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikko Suwais, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEKALAHAN DARMAJI SATYA
TEPAT Jurus angin ribut itu melesat ke arah wetan dan menghantam ketiga orang itu dengan telak.
*Wushhhh!!* *Blegarrr....!!* Tubuh mereka bertiga beserta kuda yang ditunggangi hancur menjadi potongan daging manusia dan darah nya muncrat kemana-mana. Ledakan cukup keras itu menimbulkan angin kencang dan membuat hutan yang terbakar itu semakin berkobar. Darmaji Satya hanya diam terbengong melihat anak buah nya mati ditangan nya sendiri. Ia tak habis pikir dengan kecepatan gerak orang tua yang menjadi lawan nya itu. Tiba-tiba kepalanya tersentak ke depan karena ada yang menendang nya dari belakang.
*Begggg!* "Ughhhhh!!*
Pandangan mata Darmaji Satya buram sesaat dan kepalanya menjadi pusing tak bisa berpikir jernih. Pada saat itu Garong dan Sudrajat sedang menuju ke tempat ketua nya berada, Mereka ingin melaporkan tentang kematian Tayub yang mati jatuh ke dalam jurang. Tak disangka oleh mereka, Ketua mereka jatuh berlutut dihadapan seorang kakek tua renta.
"Siapa kau pak tua!?" Tanya Sudrajat.
"Ketua!?" Ucap Garong tertegun melihat Urat Cambuk Iblis berlutut dihadapan lawan nya.
"Bangsat kau, Heaaat...!!" Garong menyerang kakek tua itu dengan serangan pedang tanpa arah dan membabi buta. Serangan Garong bisa di hindari dengan mudah oleh kakek tua itu, Dan Garong lalu melepaskan jurus andalan nya yaitu bintang penyamun. Jurus tersebut berwarna kuning tua berbentuk bintang berekor, Melesat keluar dari dalam telapak tangan nya.
"Heaaah!! Jurus bintang penyamun!!" Sinar kuning berbentuk bintang itu melesat cepat ingin menembus tubuh tua itu, Namun orang tua itu tak tinggal diam. Ia menghadang sinar tenaga dalam itu dengan tongkat nya yang sejak tadi ia selipkan di pinggang nya. Tongkat itu terbuat dari kayu coklat yang keras dan tinggi nya sebatas pinggang nya. Orang tua itu memegang ujung tongkat lurus mengarah ke sinar yang ingin menghantam nya. Namun keanehan terjadi, Harus nya sinar itu menembus tubuh korban nya dan kemudian membusuk dengan cepat. Tapi kali ini tidak, Sinar itu memantul balik ketika akan menghantam ujung tongkat tersebut.
Sinar itu memantul kembali dan lebih besar dua kali lipat dari ukuran sebelumnya, Garong tak bisa berkutik ataupun menghindar. Sebab ia sejak tadi terpaku melihat jurus pamungkas nya itu mampu di taklukan oleh orang tua tersebut hanya dengan sebuah tongkat kayu.
*Jrubbbb!!* Sinar itu menembus tepat di jantung Garong dan berlubang besar. Sinar itu terus melesat dan melewati Sudrajat yang sejak tadi sedang membantu sang ketua untuk berdiri. Sudarajat tercengang sinar itu melesat menuju ke arah nya, Mungkin jika Sudrajat tak menghindar, Ia akan mengalami hal serupa seperti yang di alami Garong. Mata Garong mendelik tanpa suara atau pekik kesakitan, Kemudian tubuh nya ambruk tak bangun lagi untuk selamanya.
Garong telah mati oleh ilmu kebanggaan nya sendiri. Dada kiri nya bolong tembus ke punggung dan darah hitam kental mengucur deras dari mulut dan lubang di dada nya itu. Sudrajat yang berhasil menghindar dengan membawa ketua nya itu segera menjauh dari kakek sakti itu.
"Ayo kita pergi dari sini, Ketua!" Ucap Sudrajat berkata kepada ketua nya.
"Siapa namamu!?" Tanya Urat Cambuk Iblis tak bisa melihat karena mata nya mengalami kebutaan seperti yang di alami oleh Tayub.
"Aku Sudrajat, Ketua!"
"Kemana si Garong dan yang lain nya...???"
"Mereka sudah mati semua dibantai oleh orang tua itu, Ketua!"
"Bajingan tua!! Mata ku pun di buat tak bisa melihat begini!!" Lalu Darmaji Satya berteriak,
"Tunggu pembalasanku jahanam tua!!" Lalu Sudrajat segera menaikkan ketua nya di kuda dan kemudian dirinya naik ke punggung kuda. Mereka menuruni bukit hutan itu dan pergi melarikan diri menuju arah kampung yang sebelumnya mereka lewati.
Kakek tua itu hanya diam saja menatap kepergian lawan nya dan enggan untuk mengejar nya. Kini ia berjalan mendekati Rangga yang ia sembunyikan di atas sebuah pohon beringin yang rindang. Rangga di bawa turun dan melepaskan totokan di leher nya,
*Teb* "Auhhh!" Ucap Rangga mengaduh sakit dan hampir jatuh lemas.
"Kita dimana kek!?" Tanya Rangga sedikit linglung dan segera digendong oleh orang tua itu.
"Kita akan pulang ke rumah kakek bocah bagus." Ucap kakek tua itu menggendong Rangga sambil berjalan menyusuri lereng gunung wakas.
"Kemana orang-orang jelek tadi itu, Kek!? Apakah mereka semuanya ikut mati juga atau telah melarikan diri!?" Tanya Rangga penasaran.
"Seperti nya begitu, Nak." Hanya itu saja jawaban si kakek, singkat dan padat. Rangga masih teringat sebelum ia pingsan terkena totokan kakek itu, Ia sempat mendengar obrolan Darmaji Satya dengan kakek itu. Rangga mencoba mengingat nya namun sulit mengatakannya karena ia sedikit ngantuk dan kelelahan.
"Sebenarnya kakek siapa? Mengapa kakek sangat peduli terhadap ku?" Tanya Rangga ingin tahu siapa kakek yang menolong nya itu.
"Nama kakek Resi Jayabaya, Mulai sekarang kau sudah kakek anggap sebagai cucu kakek."
"Terimakasih kakek." Ujar Rangga sedih menitikan air mata. Suasana senja sore hari mulai nampak gelap. Memang sebentar lagi hujan akan turun kembali dihutan gunung wakas yang kebakaran itu. Rangga dan kakek tua itu sudah berada di sebuah perbatasan gunung wakas dan sungai besar. Kakek itu melesat bagai terbang melintasi sungai lebar berair kuning. Namun sebetul nya kakek itu sejak tadi membawa tiga lembar daun muda untuk dipakai pijakan ketika melintasi sungai tersebut.
Rangga merasa takjub dengan apa yang dilakukan oleh kakek itu ketika melintasi sungai.
"Kakek sakti sekali bisa terbang melintasi sungai ini." Ucap nya lugu. Ujar nya lagi,
"Apa aku nanti bisa melakukan hal itu seperti kakek?"
"Hohoho nanti kakek akan mengajari mu cah bagus."
"Kapan kek?"
"Nanti jika kita sudah sampai dipondok kakek."
"Apakah kakek mau mengajari ku memakai pedang?" Kakek tua itu berhenti ketika tiba diseberang hutan menuju pantai. Ia menoleh sebentar dan bertanya kepada Rangga.
"Untuk apa kau ingin belajar menggunakan pedang, Nak?"
"Untuk membalaskan kematian keluarga ku, Kek. Rasanya hatiku sangat kacau dan gelisah jika teringat orang yang membantai keluargaku. Padahal ayah orang yang baik, Begitu juga ibu dan kedua kakak ku!"
"Hmmm,,,,, Yah begitulah takdir manusia. Kodrat manusia dari lahir sudah ditentukan oleh yang maha kuasa. Nasib, Jodoh, Maut kita tak bisa mengaturnya karena itu sudah ketentuan takdir yang tak bisa di ganggu gugat. Begitu juga dengan kejadian yang menimpa keluarga mu, Rangga. Tak ada manusia yang menginginkan hal tersebut terjadi terhadap dirinya sendiri. Begitu juga karma bagi orang yang membantai keluarga mu suatu saat nanti akan terbalaskan. Entah itu melalui tangan orang lain atau melalui tangan mu sendiri kelak dikemudian hari." Rangga memahami wejangan dari orang tua itu dan ia hanya menarik napas sesak saja di dada nya.
Kakek tua itu kini sudah sampai dipondok nya yang berada di dekat pantai segara anak, Jarak nya lumayan jauh dari gunung wakas. Mungkin jika berjalan biasa bisa memakan waktu sehari semalam, Berhubung kakek tua itu orang sakti perjalanan jauh pun bisa jadi singkat.