Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Amira berdiri canggung di dapur, menata piring-piring sambil sesekali melirik ke arah ruang tengah. Dari kejauhan, ia bisa melihat Ibu Arif sedang menyisir rambut Maira yang duduk manis di karpet, sementara Ayah Arif membaca koran. Suasana rumah itu terasa hangat, tapi tetap menyimpan tekanan yang membuat jantung Amira berdegup lebih cepat.
"Amira," suara lembut Ibu Arif terdengar dari arah ruang tengah.
"Kalau sudah selesai, sini dulu . Duduk sebentar."
Amira segera mencuci tangannya dan berjalan menghampiri. Ia duduk di ujung sofa, menjaga jarak dengan sopan. Maira langsung berdiri dan duduk di pangkuannya, membuat suasana sedikit mencair.
Ibu Arif memperhatikan mereka dengan tatapan penuh makna.
"Kamu cepat sekali akrab sama Maira, ya. Dia anak yang pemalu kalau ketemu orang baru, biasanya susah dekat."
Amira membelai rambut Maira perlahan.
"Saya juga sempat khawatir Bu… Tapi Maira manis sekali. Dia pelan-pelan buka hati. Saya senang sekali bisa dekat dengannya."
Ayah Arif menurunkan korannya. Tatapannya tajam tapi tak menyeramkan.
"Amira, kami tahu pernikahanmu dengan Arif… tidak biasa. Tidak banyak waktu untuk saling mengenal. Tapi boleh Bapak tanya, apa yang kamu lihat dari Arif sampai bersedia menikah dengannya?"
Amira diam sejenak. Pertanyaan itu menohok, tapi bukan sesuatu yang ingin ia hindari. Ia memandang Maira, lalu mengangkat wajah menatap ayah Arif dengan tenang.
"Awalnya… saya bingung juga, Pak. Tapi semakin saya mengenal Arif, saya melihat sisi lain yang tidak banyak orang tahu. Ia bertanggung jawab, tenang, dan sangat sayang pada Maira. Itu membuat saya yakin. Bukan karena cinta, tapi karena niat baik."
Ibu Arif tersenyum tipis.
"Kadang, pernikahan yang baik memang bukan soal cinta di awal, tapi tentang niat dan usaha. Kami menghargai kejujuranmu, Mira."
Maira menyela, memeluk Amira dengan tangan kecilnya.
"Aku lapar…" gumamnya manja.
Semua tertawa kecil.
"Baiklah," ucap Amira sambil berdiri pelan, menggendong Maira.
"Kalau begitu, waktunya makan siang. Saya siapkan dulu, ya, Bu, Pak."
Mereka mengangguk. Di balik perasaan canggung itu, ada kehangatan yang mulai terbentuk—pelan tapi nyata. Amira tahu, perjuangannya baru dimulai, tapi hari itu… ia merasa satu langkah lebih dekat.
Meja makan telah tertata rapi. Masakan buatan Amira tersaji di tengah, sederhana tapi tampak menggugah selera—sayur asem, ayam goreng, sambal, dan kerupuk. Ibu Arif membantu menyusun piring, sementara Ayah Arif duduk lebih dulu, memandangi semuanya dengan tenang.
"Kamu yang masak sendiri semua ini?" tanya Ibu Arif sambil memandangnya penuh perhatian.
Amira tersenyum dan mengangguk pelan.
"Iya, Bu. Saya hanya coba masak yang biasa dimasak ibu saya di rumah. Maaf kalau rasanya belum tentu cocok di lidah Bapak dan Ibu."
Ayah Arif mencicipi suapan pertamanya, lalu mengangguk perlahan.
"Hmm, sayurnya pas. Sambalnya juga enak. Kamu terbiasa masak, ya?"
Amira mengangguk. "Dulu sering bantu ibu di rumah. Sekarang, belajar masak untuk keluarga sendiri."
Maira duduk di samping Amira, dengan piring kecil berisi nasi dan lauk favoritnya.
"Ayam goreng Amira enak…"
Ibu Arif tertawa kecil, matanya menatap Maira penuh kasih.
"Wah, kalau Maira sudah suka, berarti memang benar-benar enak."
Suasana makan siang berjalan hangat, diwarnai percakapan ringan. Sesekali Ibu Arif bertanya tentang keluarga Amira, tentang masa kecilnya, dan tentang kebiasaannya sehari-hari. Amira menjawab dengan tenang, sambil terus memperhatikan Maira agar makan dengan rapi.
Di sela-sela makan, Ayah Arif bertanya pelan,
"Mira, kamu bahagia di pernikahan ini?"
Amira sempat terdiam. Suasana hening sesaat. Tapi ia menatap Ayah Arif dengan tatapan jujur.
"Belum sepenuhnya, Pak… tapi saya sedang belajar. Saya percaya, kebahagiaan itu bisa tumbuh kalau kita saling berusaha."
Ibu Arif tersenyum—kali ini lebih tulus dan tenang.
"Itu jawaban yang dewasa, Mira. Kami senang Arif memilih perempuan seperti kamu."
Amira merasa hatinya menghangat. Ia tak menjawab, hanya menunduk sambil tersenyum. Makan siang itu bukan sekadar pertemuan keluarga biasa. Bagi Amira, itu adalah langkah pertama menuju penerimaan—dan mungkin, cinta yang perlahan mulai berakar.
Setelah makan siang selesai, Amira sibuk membereskan meja bersama Maira yang tak mau lepas dari sisinya. Di sudut ruang makan, Ibu Arif duduk sambil memandangi mereka. Tangannya menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin, tapi pikirannya melayang saat Livia tadi datang ke rumah ini.
“Bu… saya cuma khawatir. Amira itu bukan perempuan baik-baik. Tiba-tiba saja masuk ke hidup Mas Arif. Dia terlalu manis, terlalu ‘berusaha disukai’. Jangan-jangan ada maksud lain.”
Kata-kata Livia kala itu masih terngiang jelas. Tapi semakin Ibu Arif memperhatikan Amira hari ini, semakin ia yakin… Livia salah. Sangat salah.
Amira tidak sedang berpura-pura. Ia tidak menunjukkan diri sebagai wanita yang sempurna—justru ia datang dengan kerendahan hati, dengan kejujuran yang tak dibuat-buat. Senyumnya pada Maira, caranya menghormati orang tua, hingga ke masakan sederhana yang ia siapkan sendiri—semuanya tulus.
Ibu Arif menghela napas pelan, lalu memanggil lembut,
"Amira, sini dulu, Nak. Biar Maira bantu keringin piring, ya. Kamu duduk sebentar sama Ibu."
Amira tersenyum, mencuci tangannya lalu menghampiri. Ia duduk di sebelah ibu mertuanya, agak kikuk.
"Ya, Bu?"
Ibu Arif menggenggam tangan Amira dengan hangat.
"Ibu cuma mau bilang… kamu itu perempuan baik. Ibu bisa lihat. Jadi, jangan pernah merasa harus membuktikan apapun."
Amira terkejut, matanya sedikit berkaca.
"Saya… terima kasih, Bu. Saya takut Ibu belum percaya sama saya…"
Ibu Arif tersenyum lembut.
"Ibu sempat dengar hal-hal yang nggak enak tentang kamu dari orang luar. Tapi ibu ini bukan tipe yang gampang menilai orang dari cerita orang lain. Ibu percaya sama apa yang ibu lihat sendiri… dan apa yang ibu lihat hari ini—kamu tulus, Mira."
Amira menggigit bibirnya, menahan haru. Ia menunduk, mengangguk pelan.
"Saya bersyukur bisa diterima di keluarga ini, Bu. Saya janji akan jaga kepercayaan Ibu."
Ibu Arif mengusap bahunya pelan.
"Kamu bukan cuma menantu, Mira. Kamu sekarang anak Ibu juga."
Dan di momen itu, Amira merasa lebih dari sekadar diterima. Ia merasa dicintai. Mungkin, inilah awal sebenarnya dari rumah yang ia impikan—bukan karena pernikahan yang sempurna, tapi karena hubungan yang dibangun dengan ketulusan.
Setelah mengobrol dengan Amira, mereka kembali ke ruang tengah, sambil menonton dan mengobrol banyak hal disana. Disana Maira masih menempel dekat Amira, seakan-akan tidak ingin lepas dari Amira.
Melihat hal itu orang tua Arif yakin, bahwa menantunya benar-benar orang yang tulus.
**************************
Gaesss aku gak bikin terlalu banyak konflik yaaa,